Mungkin Ini Sebab Mengapa Orang Jogja Miskin Tapi Bahagia.
Jogja memang istimewa. Salah satu istimewanya adalah sebuah anomali, antara angka kemiskinan dan indeks kebahagiaan.
Seperti banyak diberitakan, prosentase angka kemiskinan Jogja, konon tertinggi se-Pulau Jawa. Namun demikian soal angka kebahagiaan, Jogja tertinggi se-Indonesia. Kok bisa?!
Secara pribadi aku juga selalu bertanya-tanya, mengapa kondisi tersebut kok bisa terjadi.
Nah, sebagai seorang warga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang penghobi jajanan Pasar Kotagede aku kemarin merasa menemukan jawaban itu. Tentu pandangan pribadi ya. Dan bukan pandanga politisi, yang konon punya misi suci untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Cieee, ciee!!
Jadi begini. Kemarin sore, sebagaimana hari-hari yang lain, aku mencari makanan untuk berbuka puasa. Kebetulan, kemarin sore yang ikut belanja anak bungsuku, Sabia.
Nah, pas kami belanja jajanan pasar, Sabia tiba-tiba bertanya:
"Ini onde-onde ya bi?".
"Bukan" sahutku. Persis seperti guru matematika yang viral di tiktok itu.
"Terus, apa dong?" tanya Sabia.
"Ini namanya... mmm..." aku belum juga bisa menjawab.
"Kere dede!" tiba-tiba ibu penjual menyahut, membantuku menjawab pertanyaan Sabia.
"Iya, itu kere dede. Temennya Sugih dede" kelakarku yang disambut tawa ibu penjual jajan pasar itu. (kere = miskin. sugih = kaya)
***
Orang Jogja itu unik. Mereka sadar diri, bahwa memang tidak semua orang ditaqdirkan menjadi kaya. Meski hampir semua orang punya keinginan untuk kaya.
Karenanya yang lebih penting dari sekedar kaya atau bukan adalah bagaimana kita mensikapi keadaan itu. Apakah nggersula, sambat alias mengeluh. Atau mensikapi dengan cara yang lebih konstruktif.
Nah, sepertinya orang Jogja telah sekian lama terbiasa menghadapi kondisi miskin dengan tetap bahagia. Ya bagaimana lagi, kalau memang ditaqdirkan menjalani peran sebagai orang miskin? Mau mengeluh seperti apa juga tetap miskin. Mending disikapi dengan positif.
Lalu apa hubungannya dengan jajan pasar?
Perhatikan, bagaimana orang Jogja memberi nama makanan dengan "kere dede". Orang miskin yang berjemur. Itu pertanda mereka sangat akrab dengan kosakata kemiskinan. Namun tetap bisa membahagiakan, karena diekspresikan dalam nama makanan. Karena makanan ya enak dimakan. Bisa bikin kenyang dan bisa bikin bahagia.
Selain kere dede, ada lagi "sate kere" (satenya orang miskin). Sate yang terbuat dari gajih, bukan daging. Kadang dikombinasi dengan tempe gembus. Ada juga jeroan yang dimasak menjadi gulai, saat tidak mampu membeli dan menikmati daging.
Kosakata kemiskinan yang disematkan pada makanan adalah ekspresi sikap positif. Dalam dimensi agama mungkin bisa dikatakan sebagai bentuk qonaah dan kesyukuran.
Sebuah keyakinan bahwa Allah SWT sebenarnya tidak menciptakan kemiskinan, kecuali hamba-Nya sendiri yang menghendaki miskin.
Sebagaimana firman Allah pada surat An Najm ayat 48. "Dan sesungguhnya Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan".
Yang ada adalah kaya atau cukup. Bukan kaya dan miskin. Kalau tidak menjadi orang kaya, maka jadilah orang yang merasa cukup. Demikian kira-kira spirit ayat tersebut.
Dan, warga Jogja telah menjadikannya sebagai budaya. Biar miskin (secara angka statistik) namun tetap bisa cukup dan selalu merasa bahagia. Besar kemungkinan karena pengaruh Kasultanan Mataram Islam yang berlanjut hingga Kasultanan Ngayogyakarta hingga saat ini.
Yang turut mengkondisikan budaya itu adalah sikap dan ekspresi orang-orang kaya Jogja yang cenderung tidak suka menampakkan kekayaannya. Bahkan mayoritas malah lebih suka tampil sumaker, sugih macak kere, kaya yang berpenampilan sederhana. Sehingga di Jogja, orang yang kebetulan bukan kaya, tetap merasa nyaman-nyaman saja.
Tapi itu sekedar opiniku. Sementara buat para pejabat dan para politisi, teruslah berjuang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Jangan menjadikan budaya ini sebagai pembenaran.
Karena kalau miskin saja warga Jogja bisa bahagia, apalagi kalau kaya. Apalagi Jogja punya dana keistimewaan yang trilyunan rupiah mendarat setiap tahun. Leres nopo leres?
(By Setiya Jogja)