Oleh: Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen
Jakarta - Proyek dahsyat Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sampai hari ini nasibnya masih belum jelas kapan pembangunannya akan selesai dan beroperasi. Kondisi proyek KCJB ini masih berjalan, tetapi tertatih-tatih yang disebabkan oleh cost invade atau penambahan biaya yang terus meningkat dan timbulnya beberapa permasalahan konstruksi (beberapa tiang pancang kembali harus dibongkar karena patut diduga ada kesalahan konstruksi) dan sistem flagging yang menggunakan teknologi selular.
Proyek KCJB di Januari 2022 sudah mencapai hampir 80%, namun saat ini dikhawatirkan terhenti karena munculnya dua permasalahan di atas. Padahal pemerintah menargetkan akhir 2022 sudah dapat dilakukan uji coba dan pada pertengahan 2023 sudah bisa beroperasi; ini sesuai laporan manajemen ke Presiden saat berkunjung ke lapangan pada 17 Januari 2022. Dengan dua persoalan di atas dan beberapa persoalan minor lainnya, saya pesimistis KCJB dapat beroperasi di pertengahan 2023. Apalagi cost overwhelm yang dibebankan kepada APBN terus meningkat.
Proyek KCJB merupakan bagian dari RPJM 2020 - 2024 dan sudah beberapa kali dilakukan perubahan dengan tujuan supaya bisa cepat selesai karena sudah mundur lama dari jadwal semula. Perubahan yang dilakukan antara lain Perubahan Peraturan Presiden (Perpres) dari Perpres No. 107 tahun 2015 berubah menjadi Perpres No. 93 tahun 2021. Perubahan utama pada pembiayaan yang selanjutnya akan menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), seperti cost overwhelm. Sebelumnya KCJB merupakan proyek business to business.
Kedua, ada perubahan penugasan. Penugasan pimpinan konsorsium berubah dari PT Wijaya Karya (Persero) kepada PT Kereta Api (Persero). Kemudian trayek operasi juga berubah dari Stasiun Halim PK Jakarta - Kerawang - Walini - Padalarang - Tegal Luar Bandung menjadi Halim PK Jakarta - Kerawang - Padalarang saja. Perubahan-perubahan ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan pengoperasian KCJB, namun sepertinya tidak. Lalu kemudian bagaimana nasib KCJB? Mari kita diskusikan singkat di tulisan kali ini.
Masalah kritikal nan kusut
Persoalan konstruksi memang tipikal masalah di proyek infrastruktur dengan metoda cepat, cepat, cepat karena banyak "pakem" ilmu konstruksi dan lingkungan yang patut diduga dilanggar oleh kontraktor demi target penyelesaian proyek. Namun dampaknya sangat mengerikan, dimana kualitas pekerjaannya buruk dan menimbulkan masalah baru serta tambahan anggaran untuk perbaikan. Secara korporasi juga buruk karena kerugian dan hutang kontraktor penerima penugasan terus membesar dan menjadi beban negara.
Pada kasus KCJB, persoalan yang sekarang dihadapi dan berdampak pada peningkatan cost invade adalah masalah miringnya beberapa pilar (dock) di beberapa lokasi dengan jumlah cukup signifikan setelah sebelumnya juga viral di media sosial pada awal Desember 2021 lalu; sebuah pilar di lokasi DK 46 yang dibongkar menimpa eskavator sebagai akibat pengabaian SOP. Saat ini play on words ada beberapa wharf atau pilar di lokasi berbeda soiling dan harus kembali dibongkar. Dalam kasus miringnya pilar ini selain pekerjaan completing tertunda, dipastikan juga berdampak kembali pada cost overwhelm yang ujung-ujungnya kembali menjadi beban APBN.
Kasus lain yang juga dipastikan dapat menghambat expositions completing KCJB adalah masalah flagging atau persinyalan. Sistem flagging KCJB menggunakan sistem elektronik berbasis GSM seluler. Dari pembahasan dengan Kementerian Kominfo, Kementerian BUMN, Operator Seluler, KAI, dan KCIC frekuensi seluler yang akan dipakai tetap berada di pita frekuensi 900 MHz di kapling yang dikuasai Telkomsel. Di frekuensi ini Telkomsel mempunyai 15 MHz sedangkan kebutuhan KCJB hanya 4 MHz. Namun. Meskipun hanya 4 MHz, namun penggunaannya dapat mengganggu pelanggan Telkomsel di pita frekuensi tersebut.
Dari sisi telekomunikasi ada persoalan lain, yaitu di sepanjang jalur KCJB banyak digunakan penguat signal (repeater) unlawful (dapat di beli di toko on the web) oleh masyarakat yang kemungkinan dapat mengganggu perjalanan KCJB. Secara hukum penggunaan penguat signal seluler dilarang, namun Kementerian Kominfo sebagai controller sampai hari ini belum sanggup menertibkannya. Lemahnya Badan Monitoring Kementerian Kominfo patut diduga menjadi penyebab menjamurnya penggunaan penguat sinyal selama ini.
Kesepakatan antara KCJB, Telkomsel, Kementerian BUMN, dan KAI sudah dicapai beberapa minggu lalu, namun belum ada kesepakatan dengan Kementerian Kominfo, mengingat kesepakatan tersebut menyangkut berkurangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi yang akan diterima Kementerian Kominfo. Hingga tulisan ini dibuat belum ada kemajuan lagi.
Jika terkait dengan pengurangan target penerimaan PNBP tentu harus dibicarakan dengan Kementerian Keuangan yang tentunya dalam situasi keuangan saat ini akan sangat sulit untuk disetujui. Artinya masa depan KCJB masih gelap. Kapan selesai pembangunannya, kapan dapat beroperasi dan kapan modular kembali hanya Tuhan yang tahu.
Langkah Pemerintah
Kesepakatan sementara PT Telkomsel akan menyerahkan kembali 4 MHz dari 15 MHz yang dikuasai Telkomsel ke pemerintah untuk digunakan oleh KCJB dan oleh pemerintah 4 MHz yang dikuasai Telkomsel akan dikembalikan ke pemerintah lalu akan diberi izin telekomunikasi khusus (telsus), sesuai dengan Peraturan Menteri Kominfo No. 1 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
Kalau 4 MHz tersebut tidak dikembalikan ke pemerintah, maka ke depan dikhawatirkan dapat mengganggu bisnis Telkomsel, khususnya dalam pembayaran BHP Telekomunikasi. Masalahnya pemisahan sebagian pita frekuensi (4 MHz) belum ada peraturannya, sehingga harus segera dibuatkan Peraturan Menteri Kominfo. Bagi Kementerian Kominfo juga bermasalah karena dengan telsus akan mengurangi penerimaan PNBP dari BHP Telekomunikasi dari Telkomsel.
Jika terjadi penurunan penerimaan BHP Telekomunikasi , Kementerian Kominfo akan bermasalah dengan Kementerian Keuangan yang juga tidak mudah diselesaikan dalam waktu dekat. Saran terakhir, negara (kemungkinan Kementerian BUMN) dapat memberikan penugasan kepada PT Telkomsel melalui PT Telkom supaya persoalan penggunaan frekuensi seluler di kanal 900 MHz ini dapat selesai dan KCJB dapat beroperasi, meskipun harus didukung oleh super Public Service Obligation (PSO) dari APBN ke PT KAI serta belum jelasnya kapan modular pembangunan KCJB ini akan kembali.