WANHEARTNEWS.COM - Inflasi Eropa saat ini melonjak naik mencapai 7,5 persen pada Maret 2022. Ini merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya yaitu 5,9 persen. Data tersebut menurut catatan kantor statistic Eropa Eurostat yang di rilis pada hari Jumat (1/4/22).
Melansir dari CNBC, Sabtu (2/4/2022), melonjaknya inflasi Eropa dikarenakan dampak dari perang antara Rusia dan Ukraina yang membawa ketidakpastian dalam ekonomi. Terutama pada harga energi Eropa yang lebih tinggi dan mendorong terjadinya inflasi.
Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde sudah mengatakan awal pekan ini bahwa ada tiga faktor utama kemungkinan yang membawa inflasi merangkak lebih tinggi ke depan diantaranya seiring dengan harga energi yang diperkirakan akan tetap lebih tinggi, kemacetan manufaktur global, dan harga barang pangan.
“ Harga energi diperkirakan akan tetap lebih tinggi lebih lama, tekanan pada inflasi makanan kemungkinan akan meningkat, dan kemacetan manufaktur global kemungkinan akan bertahan di sektor-sektor tertentu,” ucap Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde.
Dengan demikian, situasi ini membuat daya beli rumah tangga menjadi lebih pesimis. Mereka juga bahkan akan mengurangi pengeluaran.
“ Pengeluaran yang lebih rendah dapat bisa menyebabkan ekonomi terpuruk. Karena bisnis akan menjual lebih sedikit, memiliki lebih sedikit ruang untuk membayar karyawan dan cenderung tidak berinvestasi,” jelasnya.
Selain itu, Senior Ekonom Eropa Jack Allen Reynolds mengungkapkan dengan inflasi di eropa yang meningkat lebih tinggi di atas perkiraan European Central Bank (ECB) kemungkinan hal ini akan tetap tinggi sampai akhir tahun ini.
" Kami telah memperkirakan tiga kali kenaikan suku bunga 25 basis poin untuk tahun ini,” kata Senior Ekonom Eropa Jack Allen Reynolds.
Di sisi lain juga, data dari Analis di Berenberg memperkirakan kenaikan suku bunga pertama pada kuartal keempat tahun 2022 diikuti oleh tiga lainnya pada tahun 2023.
Ekonom di Berenberg, Salomon Fiedler menyampaikan ECB memiliki lebih banyak waktu dari pada Fed Amerika Serikat untuk mengurangi stimulus moneternya. Tetapi karena kebijakan transisi hijau yang mahal dan kebijakan fiskal yang agak ekspansif kemungkinan akan melihat tren inflasi naik lagi.
"ECB pada akhirnya perlu bereaksi juga,” ucap Ekonom di Berenberg, Salomon Fiedler.[]
Sumber: akurat