OLEH: FARID GABAN
LAMA saya mengenal Ade Armando, yakni sejak kami bekerja di Harian Republika 30 tahun lalu. Dia salah satu tim riset (Litbang) redaksi ketika saya menjadi redaktur eksekutif di harian itu.
Setelah Reformasi, kami juga sempat bekerja bersama dan bergiliran menjadi pemimpin redaksi di Majalah Madina (milik Yayasan Paramadina/Nurcholish Madjid).
Berbeda dengan saya yang sebagian besar karir menjadi jurnalis, Ade adalah akademisi (dosen) dan salah satu aktivis gerakan pemikiran Islam.
Di Litbang redaksi Republika, Ade satu tim dengan Ihsan Ali Fauzi, Nurul Agustina, Hamid Basyaib, Eep Syaefullah Fatah, dan AE Priyono (almarhum), para intelektual muda Muslim menonjol pada masa itu. Di luar Republika, mereka tergabung dalam Majelis Sinergi Kalam (Masika), kelompok "ICMI Muda". (ICMI - Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang terlibat dalam kajian Islam kontemporer.
Itu jauh sebelum Ulil Abshar Abdalla membangun Jaringan Islam Liberal (JIL). Dulu Ulil berseberangan dengan Ade maupun saya. Saya masih ingat Ulil berdemonstrasi di depan kantor Republika, mengecam pemberitaan yang dinilainya menyudutkan Gus Dur (Abdurrahman Wahid).
Ulil adalah intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) yang tak kalah kesohor dibanding Ade dan Masika. Pada masa akhir Orde Baru, Ulil lebih condong ke oposisi/Megawati Soekarnoputri, sementara Ade (dan saya) bekerja di koran yang disebut sebagai antek Soeharto/Habibie.
Jadi, Ade Armando bukan tokoh JIL. Baik dulu maupun sekarang, pandangan agama Ade secara umum bahkan cenderung konservatif ketimbang liberal. Dia sangat alim, shalatnya lebih rajin dari saya.
Tapi, mengapa belakangan ini Ade seolah muncul sebagai "pemikir liberal" terdepan yang menjadi sasaran kebencian kelompok konservatif; sementara Ulil sebaliknya justru terkesan mengalami moderasi, asyik membahas kajian sufisme Islam?
Dalam beberapa tahun terakhir, Ade memang sering muncul dengan pernyataan kontroversial soal Islam: "Al Qur'an bisa dilantunkan dengan gaya rap", "Tuhan bukan orang Arab" atau "Qur'an mengajarkan shalat 3 kali, bukan 5 kali, sehari".
Pernyataan-pernyataan itulah yang menempatkan Ade sebagai musuh berat kelompok Muslim konservatif. Mereka menuduh Ade telah "menista Islam".
Meski tak sependapat dengan sebagian besar pandangannya tentang agama, menurut saya, Ade tidak layak disebut "menista/menghina Islam". Dia hanya punya pendapat/penafsiran tentang Islam yang berbeda dari Muslim kebanyakan.
Hal yang sama berlaku untuk pernyataan-pernyataan tokoh JIL yang jauh lebih liberal. Mereka punya tafsir berbeda. Dan berbeda tidak layak disebut menista.
Perbedaan penafsiran tentang Islam sudah ada sejak dahulu kala dan akan terus ada. Karena itu pula, menurut saya, perbedaan tafsir agama tidak perlu dipikirkan/didiskusikan terlampau serius. Cukup diterima sebagai perbedaan secara rileks.
Saya tidak menolak tentang kemungkinan dialog antar-mazhab/pemikiran serta upaya menyamakan persepsi. Tapi, menurut saya, itu sebaiknya dilakukan dalam forum yang lebih terbatas.
Bukan untuk mengamini sikap elitis. Menurut saya, diskusi tentang agama, yang seringkali sensitif, perlu dibekali pengetahuan yang memadai. Ade Armando, seperti juga saya, tidak menguasai Bahasa Arab. Apalagi soal tarikh (sejarah) atau jurisprudensi Islam. Saya sendiri akan cenderung menahan diri untuk mendiskusikan ini di ruang publik.
Tuntutan pengetahuan yang cukup itu juga berlaku bagi saudara-saudara Muslim lain yang ingin menyanggah/menghujat Ade Armando dan JIL. Tak cukup hanya dengar dari ustadz anu atau ini.
Dalam debat agama, otoritas Ulil Abshar Abdalla masih mending dibanding Ade dan saya. Ulil pintar Bahasa Arab dan dia membaca kitab-kitab kuning tradisi NU. Tapi, bahkan Ulil pun sekarang nampak menyadari betapa diskusi agama ala JIL dulu, yang bergaya polemik kontroversial di ruang publik, tidaklah produktif.
Apalagi ketika tergelincir ke dalam sinisme dan nada melecehkan pihak lain. Alih-alih menciptakan kesalingpahaman dan toleransi, itu justru memicu spiral konflik yang makin tajam. Dalam situasi seperti itu, masing-masing pihak akan diseret ke pandangan-pandangan yang makin ekstrim, dengan konsekuensi luas.
Pandangan-pandangan substansial Ulil sebenarnya tetap sama. Tapi, kini dia memakai metode, tema dan tone yang lebih soft (bukan combative) sehingga menemukan audiens lebih luas, bahkan dari kalangan yang dulu tak menyukainya.
Saya salah satunya. Dulu kami sering bertengkar berkaitan sikap JIL, tapi beberapa tahun lalu saya menghadiri pengajian Ihya yang diselenggarakan Ulil di Wonosobo, dan dia mampir ke rumah kami.
Saya tidak tahu persis mengapa sebaliknya Ade Armando belakangan lebih "cari musuh" dibanding Ulil dalam isu agama. Tapi, saya menduga ini lebih berkaitan dengan politik.
Permusuhan yang makin tajam antara Ade cs dengan kelompok Islam konservatif tak bisa dipisahkan dari polarisasi politik cebong vs kadrun. Ade pendukung Ahok dalam pertempuran kursi gubernur vs Anies Baswedan. Dia juga pembela paling gigih Joko Widodo dalam persaingannya dengan Prabowo Subianto. Ade pendukung setia kebijakan-kebijakan publik Pemerintahan Jokowi.
Polarisasi politik yang superficial itu tetap bertahan meski Anies dulu juga pendukung Jokowi, dan meski Prabowo kini sudah bergabung dalam Pemerintahan Jokowi. Polarisasi politik itu terus bertahan dan terus dipelihara, ironisnya termasuk oleh orang-orang terdekat Ade Armando sendiri.
Menurut saya, kita tak mungkin membangun toleransi di dalam Islam maupun antar pemeluk agama, jika kita membabi-buta mendukung satu pihak, bahkan jika yang didukung adalah slogan kebhinnekaan.
Saran saya kepada Ade Armando sekarang sama dengan saran saya terhadap Ulil dan JIL di masa lalu:
Menahan diri mendiskusikan agama di ruang publik yang kontroversinya justru bersifat memecah-belah dan mengalihkan perhatian kita dari problem-problem bangsa yang urgent.
Mengambil agama, khususnya Islam, sebagai teologi-inspiratif yang membebaskan: membela orang-orang yang tertindas, tersingkir dan terdzalimi dari kalangan agama manapun, di Jakarta, di Wadas, di Sangihe, di Papua. Bukan membela rezim/pemerintahan yang menindas, baik SBY maupun Jokowi.