R A D I K A L
Oleh: Bambang PK
Ketika kerja di Sydney-Australia dulu, hanya ada dua orang muslim di perusahaan, saya dan seorang teman muslim asal Fiji. Dalam banyak hal kami berdua sangat berbeda. Jika ramadhan tiba, saya menjalankan puasa, teman muslim Fiji tidak. Tidak kuat katanya. Saya tidak minum alkohol, teman muslim Fiji kadang minum, meskipun sedikit. Biar tidak canggung bergaul alasannya.
Setiap bulan Desember, seperti kantor-kantor di Sydney pada umumnya, selalu diadakan Chrismast Party, pesta hari Natal. Saya tidak pernah hadir, teman Fiji selalu hadir. Rekan kerja sekantor kami yang bukan muslim, sangat heran melihat perbedaan besar ini. Kok bisa sesama muslim tapi beda tingkah laku. Itulah sebabnya teman-teman sekerja, dengan nada bercanda menjuluki saya "muslim anti sosial", sedang teman Fiji mereka juluki "muslim gaul". Jika meminjam istilah yang sedang populer, saya dilabeli "muslim radikal", sementara teman Fiji dapat julukan manis "muslim moderat". Jadilah kami dihadap-hadapkan kubu saling berseberangan, meskipun hubungan kami sangat baik.
Ketika perusahaan agak guncang, terjadi pengurangan karyawan. Saya pikir termasuk yang akan diberhentikan, sebab dianggap karyawan "radikal". Ternyata yang terkena sasaran PHK teman muslim Fiji. Sedih kehilangan teman muslim, jadilah saya muslim satu-satunya di kantor.
Ternyata, pertimbangan pengurangan karyawan perusahaan, sepenuhnya profesional. Dasar penilaian adalah prestasi kinerja, bukan masalah agama, apalagi perbedaan pandangan terhadap suatu hal. Sangat realistis dan obyektif.
Pada skala lebih luas, di Indonesia saat ini, sesama muslim dibenturkan. Muslim kritis terhadap kebijakan pemerintah dianggap radikal, muslim pro rejim dianggap moderat. Parahnya, tidak ada sikap obyektif profesional. Ketika dianggap radikal, mereka akan dicekal, dibabat habis-habisan. Tidak diperlukan argumentasi masuk akal.
Seorang Profesor, Guru Besar Fakultas Hukum di salah satu Universitas ternama Jawa Tengah, dicopot seluruh jabatan strukturalnya, hanya karena dianggap radikal, berseberangan pandangan dengan rektor penguasa. Tidak ada lagi pertimbangan obyektif-profesional, hanya berdasar suka atau tidak. Jika di lingkungan kampus, tempat para intelektual berkumpul, telah terjadi penindasan semena-mena, terhadap insan berbeda pandangan, apalagi yang bisa diharapkan keadilan di luar sana?
Sesungguhnya sesama muslim tidak harus berbenturan, karena berbeda pandangan. Saya sangat terkesan dengan pandangan bijak seorang ustadz, ketika diundang diskusi dalam salah satu acara TV nasional. Beliau menyampaikan: "Kita tidak diperintahkan menjadi muslim yang radikal, sebagaimana juga kita tidak diperintahkan menjadi muslim moderat. Yang pasti, kita diperintahkan untuk menjadi muslim yang bertaqwa kepada Allah Swt, dengan sebenar-benarnya taqwa."
9 April 2022