WANHEARTNEWS.COM - GUS DUR, meski sudah jauh memiliki batas kepantasan untuk dipanggil kiai, namun tetap saja dipanggil 'Gus'.
Sebab, Gus Dur sendiri yang memang merasa lebih senang dipanggil dengan sebutan itu.
Dikisahkan Yahya Cholil Staquf, (kini Ketua Umum PBNU), suatu kali salah seorang pengasuh Ponsok Pesantren Lirboyo, Kediri, menanyakan langsung kepada Gus Dur tentang hal tersebut. Apa jawaban Gus Dur?
“Saya sih lebih senang dipanggil ‘Gus’! Sebutan ‘kiai’ terlalu berat buat saya. Kiai itu kan harus kuat tirakat: makan sedikit, tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit… Nggak kuat saya…. Enakan jadi gus saja: dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong…”
Di kalangan masyakarat pesantren, gelar 'kiai' pada mulanya disematkan kepada sesiapa yang diakui keunggulan ilmunya dan diyakini kematangan ruhaninya serta mengasuh pondok pesantren.
Bahkan, pada 1930-an pernah diadakan bahtsul masail di antara para ulama Indonesia yang bermukim di Makkah pada waktu itu.
Pokok bahasannya: “Bolehkah memanggil atau memberi gelar ‘kiai’ kepada orang tidak berhak?”
Jawabannya: “Tidak boleh”! Tapi penetapan hasil bahtsul masail di Makkah itu tidak lama pengaruhnya. Makin lama, kriteria ke-kiai-an cenderung makin longgar.
Misal di kampung-kampung, orang yang dituakan asalkan sudah bisa memimpin tahlil, dipanggillah ia kiai.
Semua muballigh dipanggil kiai, tak peduli kalaupun profesi utamanya yang asli adalah penyanyi atau pelawak.
Bahkan, ada yang dipanggil kiai hanya karena “kepaten bapak” (ditinggal mati bapaknya).
Contohnya saya sendiri. Begitu ayah saya meninggal, sekelompok orang langsung memanggil saya “kiai”, tanpa “fit and proper test” sama sekali!
Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama, orang yang walaupun bukan ahli agama tapi bisa menjabat Ketua Tanfidziyah dalam waktu cukup lama, bisa lantas dipanggil kiai.
Tak heran jika sering dijumpai mantan Ketua Tanfidziyah di berbagai tingkatan yang sesudah habis masa baktinya kemudian masuk jajaran Syuriyah, bahkan menjadi Rais!
Ya disebut dengan panggilan 'kiai' memang menyenangkan, walaupun dirimu sendiri menyadari belum maqam-mu.
Apalagi, kalau kemudian orang-orang berebut menciumi tanganmu bolik-balik.
Hanya yang sungguh-sungguh orang baik saja yang merasa jengah karenanya.
Barangkali hanya ada satu orang yang walaupun sudah menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU sekaligus pengurus MUI pusat tapi justru sakit hati kalau dipanggil dengan embel-embel kiai. Yaitu: Pak Slamet (Drs. H. Slamet Efendi Yusuf).
Adapun yang sekadar enggan saja tapi tidak sampai sakit hati juga ada. Yakni: Gus Dur.
Menurut Gus Mus, panggilan 'gus' itu aslinya diperuntukkan bagi putera kiai yang belum pantas disebut kiai.
Tapi Gus Dur yang sudah jauh melebihi batas kepantasan pun tetap saja dipanggil dengan 'Gus'
Dalam cuitan Gus Mus pada Minggu, 25 Agustus 2013, melalui akun @gusmusgusmu menyiarkan serangkaian twit yang menarik.
“Sering kita TIDAK (bisa) MEMBEDAKAN sesuatu yg BERBEDA dan tidak jarang kita MEMBEDAKAN sesuatu yang (sebenarnya) SAMA,” demikian Gus Mus membuka TL-nya.
Kemudian, Gus Mus memberikan contoh-contoh, “USTADZ dan DA’I tidak sama.
Malah USTADZ dengan GURU itu semakna… USTADZ dan KIAI itu berbeda sebagaimana KIAI dan ULAMA itu tidak sama…”, dan seterusnya… –silahkan telusuri sendiri akun twitter beliau.
Dalam berbagai kesempatan, Gus Mus juga kerap membeberkan hasil penelitian beliau menyangkut kategorisasi kiai, “Ada kiai rekomendasi masyarakat, seperti Kiai Mimoen Zubair; ada kiai rekomendasi Pemerintah, yakni MUI”, beliau merinci, “ada kiai rekomendasi media massa, contohnya saya sendiri; ada kiai dukungan dunia maya…; ada kiai artis…”
Tulisan ini disadur dari Nu.or.id