OLEH: DIAN FITRIANI*
INDONESIA sebagai negara hukum, tentu tidak lepas dalam dinamika kehidupan bernegara dengan kegiatan produksi undang-undang, dari bongkar pasang lewat amandemen sampai judisial review merupakan aktivitas legal dalam sistem hukum Republik Indonesia.
Terlepas itu karena menganggu kepentingan segelintir pihak ataupun karena kegagalan produk hukum, pun tanpa terkecuali hukum pesanan dari para pemain belakang gelanggang politik, sebutlah mereka para pemilik modal.
Demikianlah gambaran atmosfer proses produksi hingga difusi hukum di tengah masyarakat Indonesia.
Kenyataan adanya anomali produksi hukum sebetulnya sudah bukan menjadi sisi gelap negara hukum ini berdiri, akan tetapi sudah menjadi rahasia umum negeri ini. Anehnya, meski narasi ini terus berkembang namun tidak membuat negara lantas berbenah diri, baik itu para DPR selaku fungsi legislasi yakni pembuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana ataupun yudikatif sebagai badan penegakkan hukum di sistem tata negara Indonesia raya ini.
Seharusnya kenyataan akan adanya kebobrokan bukan saja hanya menjadi momok menyeramkan dalam mimpi panjang negeri ini, melainkan juga sebagai aib besar yang menjijikkan yang dimiliki negara hukum. Kesadaran ini seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai ujaran tong kosong seolah yang berbicara musti dia yang kontra ataupun yang tidak terlibat dalam anomali produksi hukum di Indonesia padahal nyatanya ini hanya upaya cuci tangan agar terlihat bersih dan kontra terhadap perbuatan tersebut. Sebutlah salah satu penjabat yang belum lama ini bicara dan berupaya membongkar kenyataan kerusakan sistem hukum di negeri ini.
Menko Polhukam Mahfud Md menyebut undang-undang di Indonesia sudah korup sejak tahap pembuatan.
Pernyataan itu disampaikan Mahfud saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah ke-48 yang digelar secara virtual di kanal YouTube Muhammadiyah Channel, Kamis (21/4). Mahfud awalnya menanggapi pernyataan Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut.
"Kalau Kiai Anwar Abbas mengatakan UU semuanya bagus, tapi implementasinya tidak adil, impelementasinya rusak. Saya pastikan UU itu bukan hanya implementasinya, membuatnya pun sudah korup. Saya mantan Ketua MK. Ratusan UU dibatalkan karena dibentuk secara koruptif, bukan implementasi koruptif," kata Mahfud.
Bila menelisik lebih dalam terhadap pernyataan tersebut, tentu ini menjadi hal yang janggal, sebab yang berbicara bukan saja sebagai korban lantas membeberkan kebenaran, namun juga sebagai pelaku dari penegak hukum, siapakah yang dapat mengaminkan pernyataan beliau tentu adalah korban dari produk hukum yang rusak, bukan pelaku. Bila seseorang bicara tentang kerusakan yang terjadi padahal sebetulnya adalah tanggung jawab dia, kemudian merupakan ladang kerja dia, tanpa berfikir panjang khalayak akan menilai tindakan tersebut hanyalah upaya melarikan diri dari kegagalannya atau cuci tangan dari kekotoran perbuatan tangannya.
Contoh kasus lain sebutlah dalam suatu kantor perusahaan, ia menyaksikan kecurangan yang terjadi pada sistem kerja keuangan, ada pencucian uang yang terjadi. Bila ia seorang rekan kerja dari pelaku, ia hanya diberi pilihan, mengadu atau membantu. Tapi, apabila ia adalah seorang bos dalam suatu perusahaan, pilihan ia hanyalah satu sebagai seorang pemimpin yakni memberikan sanksi tegas dalam rangka mengatasi kasus tersebut.
Namun jika ternyata ia adalah seorang pelaku? Apa yang dapat ia lakukan? Apakah curhat tentang adanya kasus pencucian uang di kantornya dan berakting sebagai korban? Ataukah mengadu sebagaimana yang dilakukan oleh orang tak berdaya yang melihat adanya penyimpangan didepan matanya sedang ia tiada kuasa?
Tentu saja sebagai pelaku yang baik, ia akan tutup mulut. Akan tetapi, pelaku di negeri ini tak hanya menjadi pelaku yang baik secara standarisasi perbuatan menyimpang, sebutlah jika ada. Akan tetapi para pelaku kejahatan di Indonesia pun juga menjadi pelaku yang cerdik, Mengapa? Mereka tak hanya tutup mulut, tapi juga mengadu, bertindak sebagai korban hingga pahlawan. Luar biasa bukan?
Pertanyaannya adalah, UU korup salah siapa? Barangkali menteri yang kemarin berbicara soal kasus penyimpangan produksi hukum tahu siapa pelakunya, tentu saja sebagai seorang yang memiliki kewenangan, sebutlah dulu pernah menjadi MK (Mahkamah Konstitusi) ataupun sekarang menjadi menteri. Mengapa tak sejak dulu mengusut tuntas kasus tersebut? Mengapa hanya bicara di mimbar dengan memaparkan fakta gelap? Bila perbuatan tersebut yang hanya dapat dilakukan tentu saja tak perlu Mentri, mahasiswa pun juga bisa.
Namun tidak pada satu kasus UU Korup dan pernyataan Pak Mahfud perihal tersebut, logika ngaco yang diadopsi oleh pemimpin negeri ini pun juga dipertontonkan oleh Menteri Perdagangan Indonesia.
Berbicara betapa panasnya emak-emak dihadapkan dengan masalah kelangkaan minyak mengalahkan panasnya minyak goreng di wajan dengan kompor berapi besar, demikian metafora yang sekiranya dapat digambarkan betapa keadaan sangat pelik menimpa negeri ini dalam lima bulan terakhir, dari minyak mahal, langka hingga pencabutan HET (Harga Eceran Tertinggi).
Dalam suatu kesempatan, Mendag pernah menyatakan bahwa dirinya tidak berkuasa atas permainan harga pasar. Bahkan menyebut dirinya tak mampu dalam menghadapi gerak gerik mafia minyak yang melatarbelakangi peristiwa kelangkaan minyak yang terjadi belakangan ini.
Anehnya, tak menunggu pernyataannya hilang dari benak masyarakat, heboh bahwa ternyata dirinya bahkan terduga terlibat dalam peristiwa kelangkaan minyak tersebut. Bagaimana tidak, bawahannya justru menjadi pelaku dari mafia minyak.
Kejagung telah menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana sebagai tersangka dugaan korupsi ekspor minyak goreng. Ini kenyataan yang tentu saja menguras logika, sederhana memang, bila bukan pelaku ia pun akan geram dengan kerusakan yang ada. Namun jika ia adalah pelaku, yang dilakukan bukan saja berakting menjadi tak berdaya bahkan tak mustahil menjadi korban atas kejahatan yang sebenarnya ia perbuat. Bukan tidak mungkin diakhir dia lah yang diangkat menjadi pahlawan.
Pertanyaannya lagi-lagi adalah, UU korup salah siapa? Tentu sama dengan pertanyaan siapa pelaku mafia minyak? Tentu pertanyaan akan sama dengan siapa pelaku impor pangan? Seperti kemarin ramai pak presiden berbicara soal stop impor. Maka jawabannya adalah singkat, pelaku adalah yang tak berbuat apa-apa saat ia tahu kerusakan yang terjadi bahkan tahu betul siapa pelakunya.
Hari ini yang kita lihat bukan saja fakta kejahatan seseorang ataupun sekelompok orang, akan tetapi kerusakan logika hingga sistem yang digunakan, sistem produksi hukum misalnya.
Di awal penulis menjelaskan bahwa amandemen, judisial review hingga mungkin hal yang paling ekstrem dalam negara ini adalah pembubaran KPK, itu masih tetap sesuai prosedur hukum negara ini.
Kesimpulannya? Tentu saja sistemnya. Dinamika yang terjadi adalah dampak dari kerusakan sistem, hari ini kita disibukan dengan wacana tiga periode, didukung oleh salah satu ketum partai, juga menterinya, bahkan menyebut bahwa amandemen undang-undang dilegalkan yang disinyalir sebagai penegasan bahwa wacana tersebut bukanlah sebuah dosa, mungkin esok lusa kita dihadapkan dengan presiden seumur hidup, boleh jadi tahun depan kita dihadapkan dengan membunuh diperbolehkan misal, merampok dilegalkan bahkan korupsi sudah tak lagi dihukum bahkan dibela dan diperjuangkan.
Tapi memang beginilah adanya, kenyataan kerusakan sistem bukan saja berpotensi melahirkan masalah baru, akan tetapi merusak akal sehat.
Lihat yang terjadi pada hari ini, jika sekelas penguasa saja hanya bisa ngedumel soal fakta yang bobrok, bagaimana rakyat? Masa iya, netizen komentar saja dikoreksi, mahasiswa demo saja dituntut solusi, bahkan emak-emak ngantri minyak saja malah dikritik penguasa.
Lalu bagaimana dengan kita yang berdiam diri? Apakah juga akan dituntut untuk pindah ke Mars? Karena menganggu stabilitas penguasa.
Sungguh miris, kerusakan sistem tak pernah menyudahi permasalahan yang terjadi.
*(Penulis adalah mahasiswi Kesejahteraan Sosial UMJ)