OLEH: ADIAN NAPITUPULU*
TERIMA kasih untuk Fahri Hamzah yang telah memberi pesan pada generasinya. Saya tidak tahu pesan itu untuk semua yang segenerasi atau hanya untuk saya dan Budiman saja, karena foto yang ada dalam twit-nya (7 Mei 2022 pkl 20.44 WIB ) hanya foto saya dan Budiman bukan foto orang banyak.
Saya melihat pesan itu seperti mempertanyakan komitmen perjuangan, komitmen kerakyatan pada saya dan Budiman setelah 24 tahun reformasi. Jika demikian, izinkan saya menjawab itu dengan sedikit berbagi cerita pada Fahri.
Saya ingat ketika saya dan kawan-kawan tersisa yang masih di jalan tahun 1999, Fahri sudah menjadi Staff Ahli di MPR. Berikutnya tahun 2004 Fahri dilantik menjadi anggota DPR sementara saya dan kawan kawan masih dipukuli dan ditangkapi.
2008, kantor pengacara saya di-police line. Saya dikejar hingga jadi "gelandangan" berkeliling dari kota-kota, lalu jadi pengumpul trolly di berbagai pusat belanja negara orang.
2010, saya dipukuli hingga babak belur oleh belasan polisi di pengadilan Jakarta Pusat. Fahri, kita beda pilihan, beda jalan dan yang saya pilih adalah jalan yang sulit, menyakitkan dan tidak menyenangkan, walau demikian toh saya tidak pernah usil mengkritik dan mempertanyakan pilihan politik masing-masing orang, termasuk mengkritik Fahri saat itu sedang menikmati kursinya sebagai anggota DPR RI.
13 Maret 2007, DPR RI memutuskan agar penyidikan kasus Trisakti dan Semanggi tidak diteruskan. Saat itu bukankah Fahri yang mengaku aktivis 98 itu juga sudah menjadi anggota DPR dan berada di Komisi III, komisi terkait Hukum dan HAM.
Saya kecewa tapi juga tak menghakimi Fahri walau sebagai pimpinan komisi III tentunya, Fahri bisa berusaha melawan penghentian penyidikan itu bukan?
2014, saya baru terpilih menjadi anggota DPR sementara Fahri kembali terpilih yang ke-3 kalinya. Saat menuju pemilihan pimpinan DPR, Fahri bersama sebagian anggota DPR mengubah UU MD3 agar partai pendukung capres yang kalah bisa menguasai seluruh pimpinan DPR saat itu.
Upaya itu berhasil dan membuat Fahri menjadi salah satu pimpinan DPR. Sekali lagi saya kecewa, bagaimana mungkin Fahri yang mengaku aktivis 98 bisa menggunakan cara-cara yang bagi saya tidak mencerminkan cara berdemokrasi yang sehat, dewasa dan sportif. Untuk kesekian kalinya saya mengelus dada melihat realitas politik di DPR.
Agustus 2015, Fahri mengatakan bahwa "anggota DPR rada-rada bloon" pernyataan itu bukan saja menghina para anggota DPR, tapi juga menghina partai yang menyeleksi calon bahkan lebih jauh menghina rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang memilih nama nama itu di bilik suara.
Kembali saya kecewa pada Fahri yang mencela proses demokrasi yang sudah memberi dia kesempatan menjadi anggota DPR 3 periode. Aneh, bagaimana mungkin ada orang yang bisa mencaci maki prosesnya, tapi hasil dari proses itu justru dia nikmati belasan tahun.
Selanjutnya, saya tidak bicara tentang kerja formal DPR, yaitu membuat UU, menyusun dan menetapkan anggaran negara lalu mengawasi eksekutif terkait pelaksanaan UU dan penggunaan anggaran itu.
Saya ingin menyampaikan pada Fahri bahwa sumpah jabatan DPR juga memperjuangkan aspirasi rakyat dan aspirasi tersebut tidak diperjuangkan sekedar dalam kalimat UU maupun angka dalam APBN melainkan menggunakan kewenangan dan jejaring politik anggota DPR untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat yang dianiaya dan ditidakadillkan.
Dalam hal perjuangan kerakyatan itu, bolehkah saya bertanya di mana Fahri ketika saya dan rakyat sejak 2015 memperjuangkan agar berhektare-hektare tanah Cendana di Kabupaten Bogor bisa dibagikan menjadi milik rakyat.
Di mana Fahri ketika saya dan sebagian rakyat Bogor, Cianjur, Sumedang, Bandung, Majalengka, dan Cirebon, hingga Semarang memperjuangkan hak atas tanahnya yang dilintasi jalur SUTET?
Bolehkah saya bertanya pada Fahri, di mana dia saat saya dan Dani Amrul Ichdan (Direksi Mind Id) bersama masyarakat Pongkor berjuang sesuai harapan Presiden Jokowi agar ribuan rakyat bisa membentuk koperasi tambang dan menambang emas di Lahan Antam di Pongkor?
Di mana Fahri ketika saya dan masyarakat Konawe Utara memperjuangkan 400 HA lahan Antam agar bisa dikelola oleh Perusahaan Daerah Kabupaten Konawe Utara?
Di mana Fahri ketika saya memperjuangkan 170-an orang masyarakat Seram Bagian Barat yang telah lulus CPNS 10 tahun lalu, tapi tidak pernah diangkat sebagai ASN?
Oh ya, Fahri, walau tidak memuaskan 100 persen dan dengan segala kekurangannya, tapi 5 masalah itu saat ini sudah dimenangkan rakyat.
Kenapa Fahri tidak ada bersama saya saat menjenguk ribuan aktivis dan mahasiswa untuk memastikan tidak ada kekerasan dalam pemeriksaan terhadap mereka yang ditahan di Polda Oktober 2020 karena menolak UU Cipta kerja?
Ke mana Fahri ketika saya dan beberapa alumni Trisakti, di antaranya Maman Abdurachman, Hendro, dan Iwan berjuang meyakinkan banyak orang untuk membantu rumah dan modal kerja pada 4 keluarga korban Trisakti?
Kenapa justru yang menyiapkan 4 rumah untuk keluarga korban penembakan Trisakti bukan Fahri yang konon aktivis 98. tapi Erick Thohir yang mungkin tidak ada di jalan tahun 98.
Kenapa yang membantu modal kerja senilai Rp 750 juta per keluarga bukan Fahri, tapi Agus Gumiwang yang mungkin juga tidak berjuang bersama mahasiswa Trisakti yang ditembak mati 24 tahun lalu.
Di mana Fahri saat ratusan pekerja taman dan kebersihan DPR gajinya tidak dibayar hingga sehari sebelum Idulfitri.
Bukankah saat itu tahun 2017, Fahri salah satu pimpinan DPR. Kenapa sebagai pimpinan DPR Fahri membiarkan hal itu terjadi, sehingga saya harus seharian berkeliling meminjam uang sana sini dan mengagunkan BPKB agar gaji ratusan pekerja itu bisa dibayar DPR sehari jelang Hari Raya Idulfitri.
Saya tidak melihat Fahri menemani saya saat beradu otot leher di kesekjenan DPR agar Pamdal DPR tidak dipotong Rp 500.000 per bulan untuk sertifikasi pengamanan.
Apakah Fahri sebagai pimpinan DPR tidak tahu kalau upah Pamdal dipotong Rp 500.000 itu sama saja mengubur mimpi sekolah anak-anak Pamdal itu? Bukankah sebagai pimpinan DPR Fahri bisa mencegah pemotongan itu?
Di mana Fahri ketika tahun 2014, saya harus ke Lembaga Pemasyarakatan Sulawesi Tengah lalu kembali ke Jakarta untuk meyakinkan Presiden Jokowi agar membebaskan Eva Susanti Bande, salah satu aktivis 98 yang tahun 2013 divonis 4 tahun penjara karena memperjuangkan petani sawit di Sulteng?
Di mana Fahri ketika saya dan aktivis 98 lainnya bolak-balik berkali-kali meyakinkan Presiden Jokowi agar menggunakan kewenangannya untuk membebaskan puluhan tahanan politik Papua?
Banyak dan teramat banyak cerita yang bisa saya sampaikan. Maaf jika itu semua harus saya uraikan, bukan bermaksud memegahkan dan menyombongkan diri, tapi pesan kritik yang seolah mempertanyakan komitmen itu perlu saya jawab.
Melalui jawaban ini saya mencoba mengingatkan Fahri untuk tidak saling menghakimi dan mempertanyakan pilihan jalan dan pilihan perjuangan masing masing. Saya hanya ingin mengingatkan Fahri bahwa ada waktu di mana kita bicara, tapi ada juga banyak waktu di mana bekerja tanpa suara. Karena seringkali satu perbuatan lebih berarti dari sejuta ucapan.
Akhir kata, saya mau mengingatkan Fahri bahwa hari ini tepat 24 tahun lalu, 4 kawan kita dari Trisakti sedang meregang nyawa, tubuh mereka berlumur darah, menahan sakit lalu meninggal karena di tembak.
Dan di atas gugurnya mereka maka berikutnya lahirlah kebebasan yang kita rasakan hari ini. Lahirlah partai partai politik, lahirlah serikat serikat buruh, lahirlah kebebasan media, lahirlah presiden, gubernur, bupati dan anggota DPR/D yang dipilih langsung oleh rakyat. Lahirlah Mahkamah Konsitusi, KPK, lahirlah pemisahan Polri dan TNI, dan banyak lagi.
*(Penulis adalah Sekjen PENA ’98)