WANHEARTNEWS.COM - Kasus penolakan Ustadz Abdul Somad untuk masuk ke negara Singapura menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Berbagai pihak turut angkat bicara memberikan pendapat atas kasus terebut, tak terkecuali kementerian dalam negeri Singapura.
Mereka mengungkapkan salah satu alasan kuat dibalik penlokan tersebut karena ustadz yang akrab disapa UAS menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi, yang tidak dapat diterima di masyarakat multi ras dan multi agama Singapura.
Melihat hal tersebut, mantan ketua DPR Fahri Hamzah memberikan komentar bahwa telah berkembang Islamophobia di kawasan ASEAN. Hal inilah yang menyebabkan penolakan.
"Ada persoalan lain yang nampak dari kasus UAS ini, yaitu berkembangnya Islamophobia tidak saja di beberapa negara tetangga tetapi juga termasuk di dalam negeri," tulisnya dalam akun Twitter @fahrihamzah.
"Islamophobia dan berbagai macam kebencian kepada sesama adalah penyakit ummat manusia kita hari ini," tambahnya di akum Twitter yang diunggah pada Rabu, 18 mei 2022.
Pendiri partai Gelora itu memaklumi jika sebagian negara tetangga merasa khawatir dengan berkembangnya islam radikal ini. Hal ini wajar mengingat PBB juga tengah melancarkan kampanye global melawan Islamophobia.
"Itulah sebabnya PBB menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari Internasional melawan Islamophobia," katanya.
"PBB telah mulai melancarkan kampanye global untuk melawan penyakit sosial ini. Kasus UAS ini dapat menjadi pelajaran awal di kawasan ASEAN. Paling tidak di dlm negeri sendiri," tambahnya.
Meski begitu, Fahri tidak sepenuhnya membenarkan perilaku Pemerintah Singapora menolak ustadz Abdul Somad. Pasalnya negara ASEAN lainnya tidak keberatan dengan kehadiran UAS untuk mengisi berbagai ceramah.
"Jika selama ini Seorang WNI diterima di negara tetangga, bahkan untuk berceramah, seperti dalam kasus UAS berceramah di Brunei dan Malaysia artinya persoalan politik dalam negeri negara yg menolaknya perlu dijelaskan karena itu harus menjadi pandangan bersama negara ASEAN," katanya.
Lebih lanjut, Fahri mengingatkan bahwa perlakuan ini telah melanggan kesepakatan yang terjadi diantara negara ASEAN.
Terlebih tujuan UAS ke Singapora bukanlah untuk mengisi ceramah atau menyebarkan agama melainkan berwisata.
"Menolak perjalanan pribadi seorang biksu Myanmar atau pendeta Singapura atau Ustadz Indonesia bukanlah sebuah tindak keimigrasian yang beradab," katanya.
"Apalagi jika perjalanan itu murni perjalanan wisata dgn perempuan dan anak bayi dibawah 1 tahun. Ini melanggar nilai-nilai dasar ASEAN." imbuhnya.
Dalam prinsip keimigrasian modern, Fahri Hamzah melanjutkan bahwa tugas penjaga perbatasan imigrasi hanya memastikan kelengkapan dokumen. Mereka tidak memeriksa ceramah atau pandangan politik orang apalagi yang disampaikan di majelis majelis keilmuan.
Fahri menambahkan pelintas batas sangat bergantung kepada penerimaan politik negara tujuan yg sangat subjektif dan tidak bisa menerapkan prinsip-prinsip umum tentang HAM tentang perjalanan dari satu titik ke titik lain.
Itulah sebabnya kelengkapan administrasi bukan segalanya. Oleh karena itu, jika ada negara di ASEAN khususnya yang telah menyepakati perjalanan tanpa visa harus mengumumkan kepada semua negara tetangganya daftar orang yang mereka tolak masuk karena alasan politik.
Hal ini untuk menghindari adanya insiden penolakan oleh petugas imigrasi setempat. "Di alam demokrasi, melintas negara adalah HAM. Statuta ASEAN juga mengatur itu. Makanya gak perlu visa," katanya.
"Negara tidak perlu menjelaskan kenapa seseorang diterima karena itu HAK. Tapi negara wajib menjelaskan kenapa seseorang ditolak. (bagi yg setuju prinsip demokrasi dan HAM)," ujar Fahri Hamzah.***
Sumber: hops