Makna Berkemas Jokowi-Iriana
Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Adalah Gibran Rakabuming Raka Walikota Solo yang membenarkan bahwa ayah bundanya sudah mulai mengemasi isi kediaman Istananya dan mencicil mengirim menggunakan kurir ke Sumber Banjarsari Solo kampung halamannya. Menurut Gibran hal yang wajar untuk mulai berkemas karena ayahnya akan habis masa jabatannya sebagai Presiden. Padahal masa jabatan itu masih dua setengah tahun lagi.
Berkemas dini ini tentu tidak lazim dan dapat menyiratkan makna dan kemungkinan antara lain:
Pertama, sesuai alasan yang dikemukakan Gibran bahwa Jokowi akan selesai masa jabatan dan tidak menambah untuk periode ketiga. Jadi normal saja berbenah dua setengah tahun lebih awal. Bisa saja untuk menunjukkan kesederhanaan bahwa sampai akhir periode hanya menyisakan dua stel baju. Putih dan kaos ala Musk he he
Kedua, tipu-tipu saja seolah menunjukkan tekad untuk tidak akan memperpanjang jabatan, akan tetapi terhadap gerakan dukungan tiga periode tetap dibiarkan bahkan dibuka peluang. Tuh kan saya sudah tidak mau tiga periode, sudah berkemas sejak jauh-jauh hari, tetapi aspirasi rakyat harus didengar, ini negara demokrasi.
Ketiga, memang sudah merasakan berat untuk menyelesaikan jabatan 2,5 tahun lagi itu. Hasil renungan atau tekanan ia harus berhenti di satu tahun ke depan. Kesepakatan oligarki, Presiden dan Wakil Presiden berhenti di tengah jalan. Kemudian menyiapkan lebih dini dan matang figur kepanjangan tangan.
Keempat, nasehat dukun. Meski tidak rasional akan tetapi jika diyakini pasti akan dituruti. Perilaku aneh dan tidak lazim untuk berkemas dua setengah tahun sebelum jabatan berakhir menandakan bahwa spiritualitas dapat mengabaikan pandangan dan kritik.
Kelima, konstelasi global membuat kehilangan kepercayaan diri. Kepulangan dari Amerika tidak membawa oleh-oleh yang dapat membuat sumringah rakyat Indonesia. Bahkan terlalu banyak olok-olok atas Presiden. Investasi masih dalam tahap janji.
Desakan untuk mundur cukup kuat. Jokowi dianggap gagal menunaikan amanat untuk menyelesaikan problema bangsa dan negara. Bahkan dinilai justru menjadi sumber dari masalah itu sendiri. Hampir sulit menyebut prestasi signifikan dari kepemimpinannya.
Isu perpanjangan periode berhadapan dengan antitesa berhenti sebelum akhir periode. Membengkak hutang luar negeri sulit dihindari, korupsi disana sini, ancaman krisis ekonomi, rendah daya beli dampak pandemi, serta teriakan serak mengemis investasi. Megawati menjauh dari Jokowi, berantakan partai koalisi, serta oligarki yang berkonfigurasi. Semua memperkuat desakan agar Jokowi segera mengundurkan diri.
Berkemas dini dan bersiap untuk kembali adalah tanda-tanda kemenangan dari kekuatan antitesa itu. Jokowi cukup sampai sini.
“Yo omahe Solo, yo mulih neng Solo, no”.
Betul Mas Gibran, lebih cepat lebih baik “luwih cepet luwih apik”.
(*)