WANHEARTNEWS.COM - Singapura hanya sebuah negara dengan julukan Little Red Dot karena hanya ditandai sebagai titik merah di peta dunia dan peta Asia. Sehingga seharusnya tidak bertingkah aneh dan bahkan menantang dengan melakukan penolakan kedatangan warga negara Indonesia, seperti dialami oleh Ustaz Abdul Somad (UAS).
Hal itu disampaikan langsung oleh pengamat hukum dan politik Mujahid 212, Damai Hari Lubis, yang menganggapi penjelasan pihak Singapura yang justru membuat rakyat Indonesia semakin marah.
"Singapura yang kerap diistilahkan sebagai negara little red dot, atau titik kecil di kawasan peta dunia, seharusnya tidak berpola yang aneh-aneh atau mirip menantang," ujar Damai kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (20/5).
Karena, menurut Damai, bagaimanapun UAS sebagai warga negara Indonesia harus dilindungi. Sehingga, jika Singapura menganggap Indonesia sebagai sahabat, seharusnya juga melindungi WNI.
"Bukan sekadar melihat tayangan komputer Imigrasi, UAS memiliki kepribadian ekstrem. Imigrasi Singapura semestinya segera hubungi Imigrasi atau Dirjen Imigrasi RI atau Dubes Indonesia terkait hal ikhwal cekal UAS," tutur Damai.
Menurut Damai, Singapura telah merusak sejarah hubungan dengan Indonesia ke depannya usai menolak dan mendeportasi rombongan UAS dari Pelabuhan Tanah Merah, Singapura pada Senin (16/5).
"Mengingat faktor suksesi kepemimpinan, maka kebijakan seorang kepala negara pergantian kepemimpinan 2024 seringkali berubah pula kebijakan-kebijakan politik dalam negerinya dan seiring dengan hal itu tentunya akan mempengaruhi kebijakan politik luar negerinya," terang Damai.
Selain itu, Damai menyarankan agar rakyat Indonesia juga mesti objektif dalam menilai kesalahan atau kekeliruan petugas Imigrasi Singapura yang tidak terlepas daripada pelaksanaan sistem hukum yang nyata di pemerintahan era saat ini, yakni seringkali dualisme dan overlapping.
"Salah satunya hal deportasi terhadap UAS. Secara hukum WNI mesti wajib dilindungi hak-haknya di luar negeri sesuai UU 37/1999. Namun nyatanya pemerintah abaikan bahkan turut serta terlibat dalam 'menganiaya' pemilik hak-hak tersebut," jelas Damai.
"Dan perlu digarisbawahi, deportasi UAS adalah hubungan yang tidak sederhana sekadar UAS sebagai orang yang datang bertamu ke rumah seseorang, namun pemilik rumah menolaknya. Atau karena suka menyebut-nyebut kata kafir. Tidak sesimpel itu, segala sesuatunya mesti mengacu kepastian hukum yang merujuk legal standing atau asas legalitas," sambung Damai.
Terlebih, lanjut Damai, deportasi adalah peristiwa hukum yang amat prinsip di dalam hubungan antarnegara. Sehingga, menyangkut martabat bangsa antara negara atau bangsa Indonesia dengan negara atau bangsa-bangsa yang ada di dunia agar tidak tercederai.
"Maka data empirik menunjukan segala protes oleh publik terkait kasus UAS, berujung hilang ditelan bumi. Justru hingar bingar protes masyarakat adalah bagai isu yang sengaja diharapkan oleh pihak-pihak tertentu, kemunculannya atau tanggapan booming publik sebagai selimut yang dapat menutupi gejolak politik terhadap sebuah atau beberapa peristiwa domestik yang sedang atau akan terjadi alih isu," tutur Damai.
Ini, tegas Damai, adalah prediksi menyusul bermunculan statemen ngawur yang justru korupsi logika. Malah dari Dubes Indonesia dan beberapa politisi atau mantan menteri seenaknya berspekulasi hukum dengan statement 'pemilik rumah dan kata kafir' mereka tidak mengacu pada sistem konstitusi NKRI.
"Namun masyarakat sebagai salah satu alat kontrol sosial tentu mau tidak mau terbawa arus alih isu, publik bereaksi dengan berbagai komentar terhadap peristiwa ini terlebih terkena pada diri salah seorang tokoh ulama besar di tanah air," ucap Damai menutup.
Sumber: RMOL