OLEH: HERDI SAHRASAD
APAKAH substansi gerakan reformasi dan demokratisasi yang dicetuskan oleh pergolakan dan demonstrasi mahasiswa dalam Revolusi Mei 1998? Jawabnya adalah terwujudnya negara hukum (Rechtsstaat) yakni sebuah "negara konstitusional" yang membatasi kekuasaan pemerintah dengan hukum secara tegas dan tandas.
Tentunya negara hukum dengan lembaga-lembaga dan aparatnya yang bersih dan berwibawa, pemberantasan korupsi kolusi nepotisme (KKN) tanpa pandang bulu, tegaknya keadilan dan kesetaraan, pemulihan ekonomi dan stabilitas politik-keamanan, good governance dan HAM (hak asasi manusia), terjaminnya pelestarian lingkungan hidup, dan integrasi nasional yang kokoh dan kenyal.
Semua itu sangat signifikan untuk mengakhiri oligarki yang mencengkeram bangsa kita, sebuah bangsa yang terus diperdaya krisis ekonomi dan krisis multidimensi yang sumber utamanya adalah krisis akhlak/moral, ditambah oligarkisme, korupsi-kolusi-nepotisme dan neoliberalisme-neokolonialisme internal. Itu semua karena bangsa kita gagal mewujudkan Negara Hukum (Rechtsstaat) sejak awal reformasi.
Saya ingat, pandangan Profesor Daniel S. Lev (almarhum, Indonesianis University of Washington, AS) yang menegaskan bahwa negara hukum merupakan sine qua non bagi Indonesia pasca Orde Baru. Daniel Lev menyebut bahwa Negara Hukum sungguh sine qua non karena, tanpa proses hukum yang efektif, tidak mungkin diharapkan perbaikan ekonomi, politik, kehidupan sosial-dan keadilan. Ternyata, cara pemerintah Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998) selama 40 tahun merupakan bencana untuk negara dan masyarakat Indonesia.
Dan Lev mengungkapkan, selama 40 tahun sejak tahun 1959, elite dan pimpinan politik menikmati keleluasan bertindak menurut kemauan sendiri tanpa dikurangi tindakan oleh pengadilan, kejaksaan, polisi, pers, atau organisasi dalam masyarakat. Dan Lev menilai, semua lembaga hukum negara ditundukkan pada pimpinan politik dan dilindungi dari kritik, Asal Bapak Senang-ABS atau memenuhi kepentingan atasan politik. Dan Lev menegaskan bahwa ada negara hukum yang cukup bagus pada zaman parlementer sebelum tahun 1959.
Dan Lev mencatat bahwa pada zaman Demokrasi Terpimpin dan lebih lagi pada zaman Orba, negara hukum di Indonesia dikesampingkan oleh negara kekerasan berdasarkan kekuatan militer, yang menghilangkan keseimbangan antara negara dan masyarakat dan memanfaatkan kalangan pimpinan.
Maka, sesungguhnya sejak 1998 sampai 2022 ini, tidak ada pembaruan kelembagaan hukum dan tidak ada Negara Hukum melainkan Negara Kekuasaan, karena elite politik tidak menginginkannya, tidak mampu mewujudkannya atau tidak mampu menjalankannya. Kalaupun ada KPK yang dibentuk, peran dan fungsinya diamputasi atau dibatasi.
Tak mengherankan kalau kini Indonesia terjerembab ke dalam state power imbroglio lantaran lembaga-lembaga negara dan institusi hukum dan politik yang ada, tidak berfungsi, tidak efektif dan tak efisien,, kinerja mereka buruk dan sarat korupsi-kolusi-nepotisme, sehingga kehilangan kepercayaan dan menjadi sinisme masyarakat luas.
Harus kita akui, beberapa rezim pasca tumbangnya Soeharto (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY, Jokowi ) tidak berhasil dalam mewujudkan Negara Hukum yang kuat dan demokratis. Semua nampak setali tiga uang, mengalami kegagalan atau bernasib serupa.
Demokrasi kuat (strong democracy) sering diartikan sebagai demokrasi yang tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi dan inklusif, adanya rule of law/supremasi hukum, adanya civil society/kelas menengah yang luas dan relatif sejahtera, kelompok-kelompok yang mandiri/otonom, dan budaya politik yang toleran, bersedia berdialog dan berkonsensus untuk kepentingan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan oligarki.
Dalam pandangan Juan Linz dan Alfred Stepan, demokrasi kuat memerlukan penunjang utama yakni negara hukum yang berdaulat, sebab tanpa negara hukum dan berdaulat, tidak akan ada demokrasi. Dan salah satu komponen negara hukum yang berdaulat adalah suatu pemerintah yang berfungsi, viable, yang mampu mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi.
Karena itu mutlak diperlukan suasana di mana pemerintah mampu menjalankan good governance yakni kerjasama dinamis dan sehat antara aparatur pemerintah termasuk birokrasi, civil society dan kekuatan-kekuatan bisnis/ekonomi.
Semua itu menjadi sulit dicapai oleh pemerintahan demokrasi selama 20 tahun terakhir ini. Laporan Freedom House, The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Democracy Report 2019-2021 menunjukkan merosotnya demokrasi dan pengurangan signifikan kebebasan sipil, pluralism dan fungsi pemerintahan.
Pada era Jokowi saat ini, koalisi pemerintahannya yang dirundung korupsi dan rapuh, masih harus berhadapan dengan kompleksitas persoalan : krisis ekonomi, krisis kepercayaan, naiknya harga-harga kebutuhan pokok, kemiskinan massal rakyat, pengangguran yang mencapai lebih 40 juta orang, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kecenderungan sentrifugalisme di beberapa daerah, lawlessness karena belum tegaknya hukum, yang kesemuanya itu membuat situasi tidak kondusif bagi tercapainya demokrasi yang kuat
Dalam soal penegakan hukum 20 tahun terakhir ini, proses pengadilan bagi para pelaku pelanggaran HAM berat, belum berjalan baik. Bahkan ada kesan pemerintahan koalisi Jokowi tidak mampu untuk menuntaskan begitu banyak perkara pelanggaran HAM dan korupsi.
Pemerintahan koalisi Jokowi yang rapuh untuk sementara masih berkutat pada usahanya untuk mempertahankan kelangsungan kekuasaannya dengan mengunakan para buzzerRp dan influencerRp.
Dalam menegakkan hukum yang berhubungan dengan pelanggaran HAM, korupsi dan ujaran kebencian, rezim Jokowi tampak tebang pilih, lemah dan gamang ketika didesak public untuk menindak para buzzerRp dan elite politik yang menjadi bagian dari kubunya.
Sebaliknya, rezim ini getol memenjarakan para aktivis yang kritis dan vocal atau menekan kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil yang diduga ingin revolusi damai. Juga dalam pemberantasan KKN kelas kakap, rezim Jokowi masih lemah dan tidak fair, tidak transparan dan tidak accountable.
Akibatnya, meminjam perspektif Dan Lev, kekuatan Oligarki yang anti reformasi kelembagaan hukum, juga para hakim, jaksa, dan polisi dan advokat yang sudah lama berkelompok dengan mafia peradilan – malah makin nyaman, aman dan berani. Sementara investor luar negeri wait and see atau malah kabur.
Semua itu membuat masyarakat makin jengkel, sinis dan mengidap krisis kepercayaan. Disisi lain, kekuatan oligarki dan jaringannya ditengarai melakukan politik tiga D (detect, defect, destroy) terhadap mahasiswa dan civil society yang ingin melakukan pembaharuan, revolusi damai atau reformasi jilid dua demi menyelamatkan Negara dan bangsa dari krisis multidimensi dan kehancuran.
Karena tidak terwujudnya Negara Hukum, maka tata kelola negara kita makin rusak, penuh korupsi-kolusi-nepotisme, sarat penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, tanpa lembaga-lembaga negara yang dapat dipercayai, termasuk, pengadilan, kejaksaan, dan polisi yang makin tidak dipercaya masyarakat.
Akibatnya, rakyat sangat pesimis, kecewa atau apatis terhadap hasil reformasi 1998 di era Jokowi, sebagaimana di era SBY, karena pola pikir negara era reformasi tetap menganut gaya rezim lama (Orde Baru, Demokrasi Terpimpin) dan software kerjanya pemerintah pun hanya reaktif dan repetitive terhadap persoalan substansial, sementara reformasi kian kehilangan arah dan tujuan lantaran sejak semula tidak pernah dijabarkan secara jelas, isinya apa dan bagaimana melaksanakan reformasi.
Kalangan eksekutif, legislative dan yudikatif tidak pernah mengagendakan penjabaran tentang isi reformasi, sementara parpol-parpol tidak memiliki platform reformasi dan gagal memaknai reformasi.
Kegagalan reformasi atau krisis reformasi telah mengganggu dan mendistorsi demokrasi, bahkan demokrasi makin merosot, berubah jadi demokrasi kriminal akibat politik uang sehingga timbul kemunduran, krisis multi dimensi serta potensi gejolak sosial dan potensi people power yang membahayakan eksistensi negara kita sendiri.
Untuk menjawab masalah dan tantangan ini, rezim Jokowi harusnya menentukan skala prioritas dan mencari modus vivendi untuk mewujudkan negara hukum yang sesungguh-sungguhnya, agar pelaksanaan good governance, supremasi hukum, pembangunan ekonomi-politik dan demokrasi sosial dapat dilaksanakan dengan baik dan berkelanjutan
Hanya dengan mewujudkan Negara Hukum, bukan Negara kekuasaan, maka kita bisa mencapai demokrasi yang kuat serta menegakkan bangsa dan negara yang berdaulat, beradab dan bermartabat.
(Penulis adalah Dosen Sekolah Pasca-Sarjana Universitas Paramadina)