SEDIKIT KOMPARASI
Oleh: Tarli Nugroho (Peneliti Institute for Policy Studies)
Kita butuh komparasi semacam ini untuk menilai bagaimana sebenarnya kinerja ekonomi tiap rezim kekuasaan sejak 1967 hingga sekarang. Ada tiga indikator yang digunakan dalam tabel ini, yaitu PDB per kapita, ruang fiskal (dalam US$ dan Rp), serta gini ratio. Perhatikan angka nilai growth dan masa jabatan.
Di akhir kekuasaan Presiden SBY (2014), gini ratio memang tinggi. Namun, pertumbuhan GDP per kapita dan ruang fiskal selama 10 tahun ia berkuasa peningkatannya juga sangat tinggi, di atas 200 persen. Artinya, memang ada ketimpangan, tetapi perekonomian semua orang ikut tumbuh.
Sementara itu, gini ratio Indonesia pada tahun 2021, tahun ketujuh pemerintahan Presiden Joko Widodo, adalah 0,381. Meski turun, namun angka ketimpangan ini masih tergolong tinggi. Di sisi lain, selama tujuh tahun PDB per kapita dan ruang fiskal hanya tumbuh sebesar 25 persen dan 29 persen saja (dalam Rupiah). Artinya, ada ketimpangan yang tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Pertanyaannya: ekonominya siapa yang terus tumbuh di tengah kinerja ekonomi yang jeblok ini? (Anda pasti tahu jawabannya)
Jadi, secara umum memang jangan pernah membandingkan kinerja pemerintahan sekarang ini dengan era Presiden Soeharto atau Presiden SBY, kejauhan.
Sebab, jika dibandingkan dengan kinerja pemerintahan di masa krisis sekalipun, yaitu era Habibie, Gus Dur, dan juga Megawati, kinerja pemerintahan sekarang ini masih jauh lebih rendah.
Inilah kenapa kalau ditanya soal kinerja pemerintahan sekarang ini suka sekali menyodorkan panjang ruas jalan tol atau jumlah bandara sebagai apologi. Ya, jumlah ruas jalan tol memang naik signifikan. Tetapi, seberapa besar utilisasinya? Belum lagi jika kita mempertanyakan: bagaimana kondisi jalan nasional strategis, jalan provinsi, jalan kabupaten, serta jalan arteri dalam tujuh tahun terakhir ini?! Ada perbaikankah?!
(fb penulis)