OLEH: SALAMUDDIN DAENG
DALAM dua dekade terakhir, produksi migas nasional turun secara terus-menerus, konsisten memburuk, produksi konsisten turun. Tidak ada satu pihak yang dapat memberi jalan keluar.
Semua pengurus hanya bisa menonton dan tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara kebutuhan minyak nasional jelas meningkat. Solusinya satu kata, impor.
Padahal biang kerok turunnya produksi migas tampak nyata di depan mata pemerintah. Apa itu? UU nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. UU ini berdampak buruk terhadap masalah kelembagaan yang serius, pengaturan yang tidak pasti dan ketidak nyamanan seluruh usaha di sektor hulu migas.
Lebih gawat lagi, UU Migas menyerahkan urusan produksi migas mulai pembuatan regulasi, melakukan pengawasan hingga memungut uang dari pelaku usaha kepada suatu lembaga yang bernama Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas.
Pertanyaannya, apa masuk akal menyerahkan urusan sebesar ini kepada satuan kerja?
Dari namanya saja sudah tidak relevan, isinya juga tidak kompeten mengurus masalah sebesar ini. Lembaga ini buatan Presiden SBY. Sebagai usaha mensiasati dibubarkan Badan Hulu (BP) Migas oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga pensiasatan ini langgeng keberadaannya hingga saat ini.
UU migas itu sudah rusak dan berantakan. Sulit diharapkan sebagai sumber regulasi yang dapat menjadi pegangan. Bayangkan sejak diundangkan pada tanggal 23 November 2001, UU Migas telah mengalami 4 kali pengujian di Mahkamah Konstitusi karena terdapat pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, serta terdapat satu perkara yang ditolak MK dikarenakan persoalan legal standing.
Dalam 3 (tiga) kali judicial review ada 16 pasal dari UU tersebut yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003/ tentang Minyak dan Gas Bumi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang pembubaran BP Migas.
Secara garis besar materi yang dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait persoalan kelembagaan dan persoalan kontrak.
Dalam persoalan kelembagaan, kekuasaan pemerintah menjadi terbagi-bagi dan tidak efektif, tidak jarang terjadi tumpang-tindih kewenangan antarlembaga.
Jika revisi UU migas No. 22 Tahun 2001 tak kunjung selesai akan berdampak pada nilail country risk menjadi tinggi dan memengaruhi nilai investasi seperti pemberian nilai IRR (Internal Rate of Return) dan adanya penyalahgunaan izin wilayah kerja serta pengembangan lapangan migas.
Langkah strategis yang perlu diambil pemerintah terkait UU migas, yaitu segera menyelesaikan revisi UU migas yang komprehensif, khususnya yang menyangkut kelembagaan dan kontrak kerja.
Meskipun UU Migas yang sudah rusak ini ada di depan mata DPR, namun lembaga legislatif ini enggan melakukan revisi atau perubahan UU migas, tak seperti UU pemilu atau UU lain yang selalu dikebut.
Tampaknya ada yang menikmati ketidakpastian dan kerusakan dalam pengaturan di sektor migas. Salah satu nikmat itu adalah impor migas, karena produksi nasional yang dapat dipastikan turun dengan UU ini.
Namun publik hanya tau bahwa Presiden Jokowi gagal menaikkan produksi migas nasional, di era pemerintahan Jokowi produksi migas terus merosot. Sekarang mungkin tinggal 600 ribu barel sehari, lebih dari separuh kebutuhan nasional dipasok impor.
Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk atasi masalah? Tidak ada! Sri Mulyani tidak menegur SKK migas atau lebih jauh tidak meminta Presiden Jokowi membubarkan SKK Migas dengan alasan penerimaan negara dari migas yang sangat krusial karena terus merosot.
Kalaupun DPR ngeyel, karena banyak pemain di sana, bukankan Presiden Jokowi keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), beres.
SKK Migas dibubarkan, alasannya negara sudah genting akibat UU migas yang rusak. Komando sektor migas penuh ditangan Pemerintah, satu komando di migas. Piye Mas?
(Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)