OLEH: DJONO W OESMAN
BUTA huruf Indonesia 1980 (hasil sensus 1980) 31,2 persen. Di kampungku Surabaya, orang buta huruf pun, di saku baju terselip pulpen. Biar keren. Setiap diledeki, ditangkis: "Kalau nunggu baca, terus kapan aku bawa pulpen?"
Tulisan ini bukan tentang buta huruf. Itu kuno. Melainkan RKUHP yang akan disahkan Juli 2022. Khususnya di pasal 273 dan 354. Yang kini diprotes banyak orang.
Pasal 273:
"Setiap orang, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang, mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum, atau tempat umum, yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat. Dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun, atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta)."
Pasal 354:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum. Dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun, atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50 juta)."
"Tidak demokratis," kata Ketua Umum PP GMKI, Jefri Gultom dalam keterangannya, Sabtu,18 Juni 2022.
"Demokrasi berjalan mundur," kata Ketua YLBHI, M. Isnur di keterangan, Sabtu 18 Juni 2022.
Detilnya, Jefri Gultom: "Beberapa pasal di dalam RKUHP tidak sejalan dengan semangat reformasi di Indonesia. Karena mengancam demokrasi serta persatuan kesatuan bangsa Indonesia."
Dilanjut: "Dalil mengganggu kepentingan umum memiliki makna sangat luas, aktivis mahasiswa sangat rentan dikriminalisasi jika tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah atau pejabat tertentu yang menjadi sasaran kritik."
Akhirnya: "Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Niat baik Presiden Jokowi memperbaharui KUHP justru dirusak oleh pasal yang anti-demokrasi."
Detilnya, M. Isnur: "Kemunduran. Masak, pidana bagi demonstrasi yang tanpa izin. Sebab banyak demonstrasi yang dilakukan spontan sebagai bentuk aksi."
Dilanjut: "Kalau kasus penggusuran, kadang masyarakat tidak tahu kapan akan digusur. Lalu bagaimana mengurus izin demonya?"
Akhirnya: "Frase 'yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara', juga multitafsir. Kerap aparat memakai alasan kemacetan jalan untuk menindak demonstran."
Terkait pasal 273, semula demo tanpa izin tidak dipenjara. Itu diatur di UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Bunyinya begini:
"Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dibubarkan, apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11."
Legislator enteng, bilang: "Bubarkan." Saat mereka terjaga tidur, dari kursi rapat dewan. Tak pernah bisa merasakan Polisi Anti Huru Hara memainkan strategi di lapangan demo, menghindari hujan batu, tapi wajib maju.
Terkait pasal 354, semula tidak diatur. Menghina lembaga negara, bahkan menghina pribadi Presiden RI pun, tidak ada masalah. Tidak dipenjara. Di Amerika saja, boleh.
Inti protes RKUHP adalah: “Ngapain sih… soal demo dan menghina lembaga negara dihukum? Indonesia 'kan negara demokratis. Kalau dilarang, Indonesia mundur, donk?"
Kritik di atas dilontarkan banyak pihak. Bernada sama.
Sekarang rakyat Indonesia bukan buta huruf lagi, loh... Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) per akhir 2021, angka buta huruf 1,56 persen dari populasi (usia 15 tahun ke atas). Atau 5.463.000 orang buta huruf.
"Rakyat kita sudah pintar. Jangan dibodohi," kata banyak politikus. Bernada membumbung. Rakyatnya mesam-mesem. Seneng.
Simaklah ini: Hasil sensus penduduk 2020, diumumkan BPS, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia, pria: 8,7 tahun. Wanita 8,5 tahun. Atau, rata-rata rakyat kita putus sekolah di kelas tiga setara SMP. Belum lulus SMP.
Statistik itu menunjukkan, rakyat kita tidak terlalu bodoh. Tidak terlalu pintar.
Tapi, topik demo 'kan beragam. Saat RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) didemo habis-habisan. Padahal, itu ringkasan dari 1.228 pasal. Setebal bantal. Cepat, sudah disahkan DPR RI, Selasa, 24 Mei 2022.
Soal utang luar negeri. Ngeri... Sampai membodoh-bodohkan Presiden RI, yang intinya: “Ngapain kita utang luar negeri? Nanti anak-cucu kita kasihan, harus bayar."
Memang, belum ada riset di suatu lapangan demo: Berapa persen dari ribuan demonstan itu, yang paham topik demo? Belum pernah disurvei, berapa rata-rata lama sekolah mereka?
Karena belum diriset, maka balik lagi ke data BPS, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia. Puyeng kepala, buat pelaku demo pahami topik demo. Ketinggian topik. Berarti...
Wajar, pemerintah mengkhawatirkan demo anarkis. Demo merusak fasilitas umum. Demo mengarah ke penjarahan toko-toko sembako, dan mesin ATM bank.
Sebab, pemerintah juga memahami, belum bisa mengatasi mayoritas rakyat yang hidup miskin. Dalam kemiskinan, sulit makan dan gembira berebut kaos kampanye partai politik, maka isi brankas ATM adalah mimpi indah.
Soal anarkis, William C. Anderson dan Zoé Samudzi dalam buku mereka: "As Black as Resistance: Finding the Conditions for Liberation" (2018) mengatakan: Jangan percaya dalih pemerintah, bahwa demo cenderung anarkis. Itu bohong.
Buku best seller di Amerika itu mengajari pendemo, begini:
“Fokuskan kemarahan dan frustrasimu pada orang-orang yang berkuasa, yang melakukan pembunuhan dan penindasan. Jangan percaya semua omong kosong tentang anarkis. Terutama jika Anda bahkan tidak tahu, apa sebenarnya anarkisme.”
Kalimat terakhirnya itu tidak enak. Sengak-menohok. Jadi, apa itu anarkisme?
Anderson & Samudzi: "Anarkisme adalah radikal. Ideologi politik kiri revolusioner yang menganjurkan penghapusan pemerintah dan semua sistem kekuasaan yang tidak setara lainnya. Demi masyarakat yang terorganisir di sekitar demokrasi langsung dan asosiasi sukarela."
Stop dulu. Ideologi kiri di Indonesia: PKI. Di Amerika: Pendukung kesetaraan sosial dan egalitarianisme. Berlawanan dengan sistem hierarki sosial sayap kanan (Norberto Bobbio, Left and Right: The Significance of a Political Distinction, University of Chicago Press, 1997).
Lanjut, buku Anderson & Samudzi mengungkap prinsip-prinsip anarkisme. Ada lima:
1) Saling membantu. Berbentuk pendekatan timbal balik untuk kepedulian masyarakat, menganjurkan orang berbagi sumber daya.
2) Tindakan langsung. Demo lapangan, protes politik untuk mencapai tujuan.
3) Horizontalisme. Sistem organisasi non-hierarki, yakni keputusan dibuat dengan konsensus.
4) Hapus kemapanan. Advokasi penghapusan institusi seperti penjara, polisi dan militer, yang mereka anggap secara inheren menindas.
5) Per definisi. Anti-kapitalis, anti-rasis, penentang semua bentuk kefanatikan dan penindasan. Baik dari institusi terhadap individu, maupun antar individu.
Isi buku itu ketinggian buat aktivis, pendemo kita. Tepatnya, ada pluralisme pemahaman. Kata 'anarkis' dari bahasa Yunani 'anarchos', artinya perindu kebebasan. Pada awal abad ke-18 diserap Bahasa Inggris: Anarchy. Artinya sama dengan Yunani.
Ya, tentunya ketinggian buat kita. Asal katanya pun dari sono. Kita cuma niru.
Belum lagi, rata-rata lama sekolah penduduk Amerika (Mean Years of Schooling - MYS) 14,02 di tahun 2020 (data: Kumpulan indikator pembangunan World Bank). Artinya, rata-rata pendidikan warga sana setara Diploma Dua (D-2).
Maka, pendemo Indonesia tidak sebanding dengan Amerika. Tidak aci, jika dibandingkan. Ketinggian sana.
Hanya sebagai komparasi, sebab asal kata "demokrasi" yang diteriakkan aktivis kita, asalnya dari sana. Juga kata "anarki", yang dikhawatirkan pemerintah kita, asalnya juga dari sana.
Sehingga tidak adil, jika kita ogah dibandingkan dengan Amerika, tapi kita mau mengadopsi gerakan sosial itu, dari sana. Tidak adil pula, jika kita ingin kebebasan berbicara-berpendapat, tapi kita benci Amerika, sang inspirator kebebasan itu sendiri.
Persoalannya, tarif penyedia pendemo di Jakarta paling murah Rp35 juta untuk menyediakan 100 orang pendemo. Topik apa pun. Tarif including ikat kepala dan bus pengangkut pendemo (dalam kota). Tidak termasuk nasi bungkus dan seplastik teh tawar untuk masing-masing pendemo.
Dari perspektif pendemo, dapat nasi bungkus dan duit cepek, sudah lumayan. Dibanding kuli bangunan honor harian Rp125 ribu, tapi angkat berat, juga jarang-jarang ada.
Dalam kondisi masyarakat miskin harta, miskin ilmu, maka demonstrasi sudah terlepas dari ruhnya, demokratisasi.
Karena kata "demokratisasi" artinya transisi dari rezim politik otoriter menuju demokratis. Dan, ini dipahami dengan benar sarjana FISIP jurusan Ilmu Politik, S-1. Yang, malah di atas rata-rata lama pendidikan Amerika, D-2.
Sekarang kita berpikir tipis-tipisan saja. Tipis-praktis. Demo membuka lapangan kerja baru. Bagi para pelaku lapangan.
Sebaliknya, dari sudut pandang pengerah demo, sekarang-lah kesempatan memanfaatkan sumber daya demo. Sebelum tingkat pendidikan (dan kesejahteraan) rakyat naik. Suatu saat kelak.
Kejamnya dunia...
Seumpama kita mikir ideal, pendemo mesti paham topik demo, akibatnya pendemo malah berontak. Balik lagi ke pembuka tulisan ini. Pendemo bakal mendemo saya, begini:
“Kalo nunggu sekolah tinggi, trus kapan giliran aku demo? Orang, kok gak boleh demo.”
(Penulis adalah wartawan senior)