Koneksi Politik Bisnis GOTO
Oleh: Agustinus Edy Kristianto
BISNIS START UP adalah topik yang aktual dan relevan untuk dibahas sekarang.
Apakah "bakar uang" adalah model yang tepat dan prospektif? Nyatanya, belakangan kita membaca fenomena maraknya PHK di perusahaan start up dan ramalan mengenai model bisnisnya yang menjelang mati suri.
Kompas (6/6/2022) menulis judul "Start Up Kini Dituntut Tumbuh Rasional". Rasional artinya tumbuh mengikuti laba. Seperti pada umumnya perusahaan yang keuntungannya diperoleh dari pembagian dividen dan capital gain (selisih peningkatan nilai saham)---yang tentu sebagusnya berbasis pada fundamental perusahaan yang kuat.
Kita semestinya makin waspada terhadap istilah-istilah seperti "valuasi", "sinergi", "ekosistem", "nilai tambah" atau sejenisnya yang kerap diucapkan para pihak yang ingin menjustifikasi investasi Rp6,3 triliun Telkomsel di GOTO---dengan berbagai motif.
Jika Anda tertarik mengikuti lebih jauh mengenai paradoks istilah-istilah itu secara akuntansi, bisa ikuti status teman saya Yanuar Rizky. Pada status terakhir, ia mempertanyakan dan menguliti asumsi-asumsi yang dipakai oleh PT Ernst & Young Indonesia selaku penilai harga wajar saham GOTO, yang bisa menjelaskan keheranan orang tentang bagaimana valuasi GOTO digelembungkan, pun mengapa duit Rp6,3 triliun hanya dihargai 3% saham di perusahaan yang terus menerus rugi dan tidak bisa menjamin profitabilitas di masa depan.
Bagi saya, hulu persoalan adalah Presiden Jokowi. Ketika kampanye 2019, ia mengusung unicorn (perusahaan start up dengan valuasi di atas US$1 miliar) dan menempatkan Gojek dan Tokopedia sebagai dua dari empat unicorn yang ia banggakan (dua lainnya Traveloka dan Bukalapak---yang pendirinya kini menjabat Direktur Telkom). Ketika IPO GOTO pada 11 April 2022, ia secara khusus mengucapkan selamat dan membanggakan adanya program saham gotong royong GOTO untuk mitra.
Jika ia pernah membanggakan sesuatu maka ia juga yang seharusnya terdepan merespons ketika apa yang ia banggakan itu menjadi sorotan publik karena dugaan skandal. Sebab, itu sama dengan melempar kotoran ke wajahnya sendiri.
👉Saya ulangi terus inti perkara Rp6,3 triliun Telkomsel-GOTO, yakni betapa telanjang hubungan afiliasi dan potensi benturan kepentingan dalam kasus ini.
Hubungan afiliasi pertama berdasarkan hubungan kekeluargaan antara Menteri BUMN Erick Thohir dan Garibaldi (Boy) Thohir, kakaknya, sebagai Komisaris Utama dan pemegang saham GOTO.
Hubungan afiliasi kedua adalah kesamaan posisi anggota dewan komisaris, dalam hal ini Wishnutama Kusubandio, sebagai Komisaris Utama Telkomsel sekaligus Komisaris GOTO.
Sementara itu benturan kepentingan dibuktikan dengan dugaan kuat adanya pihak-pihak yang diuntungkan/memperoleh manfaat dari Rp6,3 triliun itu, yakni para pemegang saham lama GOTO yang mendapat pembayaran atas buyback saham sebesar Rp1,7 triliun, selain dugaan keuntungan yang diperoleh Boy Thohir atas kepemilikan 1 miliar lembar saham GOTO yang berasal dari pengalihan saham treasuri.
❗❓Tapi, kenapa Jokowi diam melihat skandal yang melibatkan pembantunya itu? Mengapa OJK dan penegak hukum negeri ini tidak ada yang memeriksa? Mengapa kita dituntut percaya begitu saja klaim Telkom (seperti dalam jawabannya ke bursa) bahwa tidak ada transaksi afiliasi dan benturan kepentingan dalam investasi itu?
Negara telah dan akan membayar mahal atas segala 'pembiaran' tersebut. Ongkos runtuhnya teladan moral dan etika pemimpin/pejabat adalah yang paling mahal. Taruhannya adalah generasi mendatang yang akan mempelajari sejarah bahwa hukum tidak berlaku sama bagi setiap warga negara; bisnis terbaik adalah bisnis yang dibangun di atas koneksi politik; reputasi dibentuk tanpa perlu jujur dan kerja keras melainkan cukup dengan teknik manipulasi persepsi via storytelling, media buying, dan buzzer; pasar modal tidak terbentuk melalui mekanisme jual-beli yang wajar melainkan dikuasai bandar-bandar tertentu---yang beberapa di antaranya terbukti melibatkan uang BUMN/dana publik (kasus Jiwasraya dsb).
❌Menurut saya, jantung bisnis GOTO adalah koneksi politik. Bisnis layanan on-demand, marketplace, dan fintech adalah instrumen semata.
➤Koneksi politik yang membuat Telkomsel berinvestasi Rp6,3 triliun.
➤Koneksi politik yang membuat pendirinya menjadi Mendikbud.
➤Koneksi politik yang membuat Komisarisnya (Wishnutama) sempat menjadi Menparekraf kemudian Komut Telkomsel.
➤Koneksi politik yang membuat BEI mengubah aturan pencatatan saham di Papan Utama yang mengharuskan catatan laba bersih setahun terakhir dan aturan free-float.
➤Koneksi politik yang membuat GOTO bisa 'mempekerjakan' orang dalam status mitra dan bukan karyawan sesuai UU Ketenagakerjaan.
➤Koneksi politik yang membuat ia bisa beroperasi selayaknya perusahaan transportasi dan ekspedisi meskipun badan hukumnya adalah perusahaan aplikasi, manajemen, dan konsultasi.
➤Koneksi politik yang membuatnya tidak diminta oleh negara untuk membuka informasi dan data pribadi yang telah dikumpulkan.
➤Koneksi politik yang---kelak---akan membuat aturan pembatasan kepemilikan asing sebesar 85% dan syarat tertentu pengendalian domestik di bisnis fintech service (e-money, e-wallet, payment gateway) berubah, sebab pembatasan itu akan mempengaruhi daya tarik platform yang mempengaruhi material perusahaan. Koneksi politik jugalah yang bisa mempercepat keluarnya persetujuan operasional fintech dari Bank Indonesia bagi Gopay (PT Dompet Anak Bangsa).
Tidak sebanding dengan apa yang dibanggakan Jokowi tentang Program Saham Gotong Royong GOTO. Namanya Gotong Royong tapi sebenarnya saham itu dikelola entitas yang namanya Salam Satu Aspal Limited, yang domisilinya di Kepulauan Cayman. Dia yang melakukan penawaran umum melalui pemberian 919.543.700 saham kepada 600.000 mitra pengemudi, sejak delapan bulan setelah IPO (lock-up) secara bertahap sampai 2023. Totalnya Rp298,3 miliar dengan asumsi harga Rp324/saham. Bagi saja. Per pengemudi rata-rata Rp497 ribu.
Kita tak lihat besar-kecilnya saham pengemudi tapi lihat investasi BUMN Rp6,3 triliun dan segala kemudahan yang diperoleh akibat koneksi politik tadi. Bandingkan dengan rencana GOTO ke depan untuk menghimpun dana dari investor baru setidaknya setiap tahun sekali maksimal 10% dari modal disetornya melalui right issue atau private placement. Terdekat adalah rencana penawaran internasional sebanyak 118 miliar lembar (setidaknya Rp30-an triliun lebih).
GOTO telah mendeklarasikan segala risiko akibat---yang saya sebut koneksi politik tadi, bahkan termasuk posisi rangkap Wishnutama sebagai Komisaris GOTO dan Komut Telkomsel---dalam prospektus. Investor yang dituntut teliti dan cermat sebelum menjatuhkan keputusan investasi. Para investor itu antara lain 8,6 juta investor ritel, menurut data KSEI April 2022. Terdiri dari mayoritas lulusan SMA sebanyak 60,57% dengan aset sebesar Rp160,69 triliun berupa saham dan Rp38,08 triliun berupa reksa dana; lulusan S-1 sebanyak 29,42% dengan aset saham sebesar Rp427,5 triliun dan reksa dana Rp106,4 triliun.
Tapi, dari semua itu, hanya satu yang tidak diungkap oleh GOTO dan dibantah habis-habisan oleh Telkom. Dan itu fatal: Menteri BUMN adalah adik Komisaris Utama dan Pemegang Saham GOTO! Di situlah titik nol kilometer skandal ini. Dari situlah cerita tentang koneksi politik tadi bergemuruh.
Rp6,3 triliun bisa mendanai setidaknya 88 start up semacam Goola milik Gibran dan Kaesang yang disuntik Rp71 miliar oleh venture capital pada 2019. Bisa juga lebih bermanfaat untuk mendanai 6.300 talenta digital lokal murni hingga pelosok nusantara, jika satu start up disokong rata-rata Rp1 miliar (2,7 kali lipat dari jumlah start up Indonesia yang pernah disebut Jokowi yaitu 2.319). Kita bisa betul-betul bangga bahwa itulah anak bangsa yang sesungguhnya, sebab GOTO sesungguhnya tetap dan akan terus dimiliki asing sebagai pengendali (81% pemegang saham GOTO dari jumlah modal disetor penuh adalah asing)
Halo, Presiden Joko Widodo. Apa kita bisa bergotong royong untuk mewujudkan hukum yang adil bagi setiap warga negara? Apakah karena seseorang itu menteri dan bekas ketua tim kampanye Anda, ia dan keluarganya lantas kebal hukum? Apakah layak Rp6,3 triliun uang BUMN dipertaruhkan di tangan venture capitalist lewat perusahaan yang model bisnisnya "bakar uang"? Apakah aturan tentang nepotisme, afiliasi, dan benturan kepentingan tidak berlaku lagi di negara ini?
Salam.
(Agustinus E K)