OLEH: TRI WIBOWO SANTOSO*
SOLUSI dalam mengatasi persoalan bangsa hari ini bukan saja mengganti para menteri yang memiliki kinerja buruk. Reshuffle kabinet bila tujuannya hanya bagi-bagi kekuasaan demi melanggengkan kepemimpinan, maka niscaya komitmen dalam mensejahterakan rakyat ibarat jauh panggang dari api.
Sebagai presiden, Joko Widodo diibaratkan nakhoda yang tengah mengemudikan perahu besar bernama Indonesia dengan banyak penumpang dari berbagai latar belakang berbeda, tapi memiliki satu tujuan, yakni Pulau Harapan.
Pemimpin yang karib disapa Jokowi itu tak bekerja sendiri. Ia dibantu banyak awak. Ada anak buah kapal, bagian kamar mesin, cleaning service, keamanan, koki yang meracik makan dan minum penumpang, dan sebagainya.
Namun, lacur tak dapat ditampik para penumpang bila para crew kapal tak memiliki pengalaman dan keahlian dalam menjalankan tugas. Terlebih lagi, awak kapal itu ternyata diketahui memiliki banyak kepentingan.
Misalnya, bagian kamar mesin yang ternyata memiliki track record buruk dalam menyelundupkan solar sebagai bahan bakar kapal guna mendapatkan cuan demi kepentingan pribadi. Bagian keamanan yang berkonspirasi dengan pencuri. Kemudian, koki yang kurang mempersiapkan bahan makanan dan minuman bagi para penumpang.
Perjalanan masih panjang, logistik-pun kian menipis, dan para penumpang tak menyadari hal itu. Nah, itulah sebenarnya ilustrasi yang terjadi sekarang ini di Indonesia.
Ya, ancaman krisis pangan. Indikatornya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, luas panen padi pada 2021 yang mencapai sekitar 10,41 juta ha ternyata mengalami penurunan sebanyak 245,47 ribu ha atau 2,30 persen bila dibandingkan luas panen padi di 2020 yang sebesar 10,66 juta ha.
Produksi padi tahun 2021 sebanyak 54,42 juta ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan produksi padi tahun 2020 sebesar 54,65 juta ton GKG. Artinya ada penurunan 233,91 ribu ton atau 0,43 persen.
Sementara, produksi beras tahun 2021 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,3juta ton, mengalami penurunan sebanyak 140,73 ribu ton atau 0,45 persen dibandingkan produksi beras di tahun 2020 yang sebesar 31,50 juta ton.
Lalu, merujuk pada prediksi Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), produksi beras global tahun 2022/2023 akan susut 2,0 juta ton menjadi 702,7 juta ton. Diantaranya dipicu rendahnya stok awal di India.
Stok akhir beras di dunia diperkirakan susut 2,8 juta ton menjadi 183,4 juta ton pada 2022/2023. Angka itu anjlok 4,6 juta ton dari posisi rekor tahun 2020/2021.
Nakhoda yang Tuli
Indonesia pernah diterpa badai besar yang bernama pandemic Covid-19 pada Maret 2020. Dampaknya, aktivitas masyarakat terbatas, ekonomi semakin menurun. Namun, justru ekonom senior Rizal Ramli melihat hal itu sebagai kesempatan untuk membangkitkan perekonomian.
Maklum, mantan Anggota Tim Panel Ekonomi PBB bersama peraih Nobel itu sejak kecil memiliki prinsip hidup bahwa di setiap kesusahan selalu ada peluang.
Medio Juli 2020, Rizal Ramli pernah menyarankan pemerintah untuk fokus menggenjot sektor pertanian selama pandemic Covid-19 dengan memberikan subsidi pupuk dan benih bagi para petani ketimbang memikirkan nasib Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang anggarannya mencapai lebih dari Rp 460 triliun.
Karena, dengan bertani resiko tertular virus asal Wuhan, China sangat kecil, lantaran pekerjaan itu dilakukan di alam terbuka dan selalu terkena terik matahari yang tentunya imunitas meningkat. Setelah badai itu berlalu, dipastikan ketahanan pangan bisa stabil. Bahkan, pertumbuhan ekonomi bisa tinggi. Sumbernya dari ekspor bahan pangan yang berlimpah ruah.
Meskipun ada anggapan bahwa tidak semua komoditi pertanian cocok untuk ditanam di Indonesia, Rizal Ramli tetap tak memercayai argumentasi itu selama hal tersebut bisa dibuktikan secara ilmiah.
"Selama ini kita dicecoki ada tanaman yang tidak cocok ditanam di Indonesia. Israel itu negara gurun, tapi jadi penghasil buah di timur tengah," ujar dia.
Oleh karena itu, Rizal Ramli menyarankan pemerintah untuk meningkatkan riset di bidang Agriculture, Agronomy, dan Agribusiness dengan melibatkan kampus yang memiliki fakultas pertanian seperti IPB dan Unpad.
Sikap optimis Menko Ekuin era pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini berdasarkan fakta di beberapa Negara yang berhasil meningkatkan produksi pertanian. Misalnya, di Taiwan, walau lahan pertaniannya kecil, produktivitasnya ternyata cukup tinggi. Karena, pemerintahnya selalu memerhatikan petani dengan memberikan subsidi pupuk, bibit, hingga mengatur pricing supaya petani tak rugi.
Sayangnya, Rizal Ramli kapasitasnya sekarang ini hanyalah penumpang kapal. Setiap sarannya agar perahu tak karam dan bisa berlabuh di Pulau Harapan seolah tak didengar Sang Nakhoda. Atau kah Sang Pengemudi memang tak mampu mengoperasikan bahtera yang membawa lebih dari 270 juta penumpang?
Apakah karena adanya “Nakhoda” lain yang memang sengaja memengaruhi Jokowi untuk tidak melintasi rute Nawacita agar kita sampai di tempat tujuan? Mungkinkah adanya factor para awak kapal yang masing-masing memiliki kepentingan terselubung? Atau memang ada konspirasi antara-Nakhoda dan perompak yang sengaja menyesatkan arah tujuan kita?
*(Penulis adalah Direktur Eksekutif Indo Parameter)