Membangun Karakter Negarawan, Menjaga Kepercayaan Mahkamah Konstitusi
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. (Advokat, Ketua Umum KPAU)
"Kalau kami tidak mendapatkan keadilan dalam prosesnya, bagaimana mungkin kami mendapatkan keadilan dari putusannya?"
[Sidang Pengujian Perppu Ormas, Kamis, 12/10/2017]
Pada 5 (lima) tahun yang lalu, penulis bertindak sebagai kuasa hukum Pemohon Penguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat terhadap Undang-Undang Dasar 1945, mengkritik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat terkait tata cara dalam memimpin persidangan yang digelar pada Kamis (12/10/2017).
Saat itu Arief Hidayat begitu arogan menyela, menginterupsi bahkan membatasi waktu bagi Para Pemohon untuk menyampaikan poin-poin permohonannya dihadapan sidang Majelis MK. Sementara, ketika pihak terkait dari Pemerintah yang diwakili Mendagri Tjahyo Kumolo (Didampingi Menkumham Yasona Laoly) begitu leluasa berdeklamasi membacakan keseluruhan redaksi tanggapan dari Pemerintah sampai tuntas tanpa interupsi, selaan atau pembatasan waktu.
Saat itulah, penulis mengajukam interupsi dan menyampaikan kritik dengan menyatakan:
"Kalau kami tidak mendapatkan keadilan dalam prosesnya, bagaimana mungkin kami mendapatkan keadilan dari putusannya?"
Ya, bukan hanya penulis melainkan seluruh pemohon dalam perkara tersebut merasa diperlakukan tidak adil. Kami tidak diberikan alokasi waktu yang seimbang seperti alokasi waktu yang diberikan kepada pemerintah, sehingga kami tidak dapat secara tuntas menyampaikan poin-poin krusial sebagai landasan posita dalam permohonan.
Akhirnya, sulit bagi kami sebagai kuasa hukum dari masyarakat pencari keadilan, akan mendapatkan keputusan yang adil, dari proses beracara yang tidak adil. Terlihat kontras, Arief Hidayat memihak kepada pemerintah selaku Pihak terkait.
Tindakan seperti ini, jelas-jelas mendelegitimasi reputasi dan integritas lembaga MK sebagai garda konstitusi. Tempat pertama dan terakhir bagi masyarakat untuk mencari keadilan dalam membela dan mendapatkan hak-hak konstitusionalnya.
Anwar Usman
Hari ini, Lembaga MK kembali diuji melalui sikap, komunikasi dan tindakan Saudara Anwar Usman selaku Ketua MK yang tidak mau mundur dari Hakim MK atau setidaknya dari jabatannya sebagai Ketua MK karena telah menikahi Idawati, adik dari Presiden Jokowi. Konflik kepentingan (Conflict of Interest) dari pernikahan ini akan menjadikan lembaga yudikatif tidak independen. Terbuka ruang dan peluang intervensi kekuasaan Eksekutif terhadap lembaga Yudikatif.
Sayangnya, Anwar Usman gagal memberikan narasi kebangsaan sebagai basis argumentasi dirinya untuk bertahan menduduki jabatan Ketua MK. Anwar, tidak menunjukan sikap Negarawan dalam urusan ini.
Anwar, malah menjadi politisi tulen dengan berbagai apologi yang dibangunnya. Dari soal tidak ada dosa mencinta dan saling mencintai, dirinya ganteng dan menduda sehingga punya hak untuk menikahi siapapun yang dikehendaki, soal takdir cintanya, soal tidak tahu Idayati Adik Presiden Jokowi, Idawati lebih cantik dari Desy Ratnasari, dan sederet omongan aneh lainnya.
Sebenarnya semua argumentasi (baca : dalih) yang disampaikan Anwar ini bukanlah narasi seorang Negarawan. Melainkan narasi politisi yang berfikir hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Soal adanya konflik kepentingan, potensi indiltrasi kekuasaan, intimidasi eksekutif terhadap lembaga Yudikatif, hilangnya imparsial dan independensi MK, rusaknya citra, marwah dan wibawa MK tidak pernah dibahas dan diberikan argumentasi. Anwar hanya berfikir tentang dirinya, cintanya, dan pernikhannya. Anwar melupakan kepentingan bangsa dan negarannya yang jauh lebih besar dari itu semua.
Memang benar tidak ada norma hukum yang dilanggar, Anwar boleh menikahi Idayarti adiknya Presiden Jokowi dan Anwar tetap tidak dilarang menjadi hakim MK. Namun, logika Negarawan tak hanya memperhatikan aspek hukum melainkan juga memperhatikan aspek etis dan moral.
Sebenarnya, Anwar boleh saja tetap mempertahankan cintanya, cinta kepada Idayati yang klaimnya lebih cantik dari Desy Ratnasari (omongan yang tak pantas keluar dari seorang hakim MK di ruang publik). Syaratnya, dia mengundurkan diri dari MK. Dengan mengundurkan diri, maka hilanglah unsur konflik kepentingan antara eksekutif dan Yudikatif.
Faktanya, konflik itu ada. Dan Anwar tidak bisa memimpin istrinya Idayati agar wibawa Anwar selaku ketua MK terjaga.
Anwar, seperti kerbau dicokok hidungnya ikut Idayati menemui salah satu kandidat calon di Pilkada Bogor. Apa urusannya Anwar ikut terlibat dalam agenda tersebut ?
Apakah mungkin ada desain Pilkada curang dengan batas ambang selisih kemenangan melebihi 2 %, sehingga nantinya kecurangan ini akan dilegitimasi sebagai kemenangan yang sah di Majelis MK saat terjadi gugatan Pilkada ?
Argumen tidak akan ada tiga periode, tidak ada tunda Pemilu juga bukan jaminan tidak ada konflik kepentingan. Bagaimana, seandainya Jokowi mendukung Ganjar tapi tidak mendapatkan dikungan partai yang cukup, kemudian Jokowi mengintervensi lembaga yudikatif dengan meminta MK (melalui Anwar) agar mengabulkan gugatan PT 0 % sehingga Ganjar dapat melenggang ikut Pilpres dari partai apapun, tanpa terkendala PT 20 %?
Sebaiknya Anwar mundur. Atau kalau mau tetap di posisinya, ceraikan Idayati adiknya Jokowi. Tidak boleh ada hakim MK yang dikendalikan istri.
Umar Bin Khatab RA pernah memerintahkan salah satu puteranya untuk menceraikan istrinya karena Umar melihat anaknya terlalu dikendalikan istrinya, lupa pada kewajibannya sebagai hamba Allah SWT.
Kalau Anwar tidak mundur dari MK, maka penulis ingin menyampaikan sebuah pesan kepada Lembaga MK:
"Kalau masyarakat tidak percaya pada hakimnya, bagaimana mungkin masyarakat akan percaya pada putusannya?"
Mari bersama, selamatkan kepercayaan masyarakat kepada MK. Mari dukung, Anwar Usman mundur dari hakim MK.
(*)