NGAJI KITAB KUNING, MASIH RELEVANKAH?
Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat
Sudah kembali ngetren lagi dewasa ini ngaji itu kudu pakai kitab. Biar ada rujukannya, ada literasinya.
Sudah bukan zamannya ngaji kok hanya sekedar JI-PING alias ngaji nguping. Cuma dengerin doang, tidak punya kitab yang dibaca.
Dibilang kitab bukan sembarang kitab, tapi kitab klasik alias kitab kuning. Kitab berbahasa Arab susunan para ulama klasik dan original.
Memang dahulu kertasnya berwarna kuning, sehingga sering disebut : Kitab Kuning. Tapi itu dulu, zaman negeri kita masih banyak kumpeni.
Sekarang kitabnya sudah keren penampakannya. Kalau dipajang di lemari ruang tamu, bisa menjatuhkan mental para tetamu. Setidaknya bikin jiper calon mertua.
Padahal maksudnya kitab asli karya para ulama yang sesungguhnya, pakar ilmu di bidangnya masing-masing. Ilmu yang dijamin kualitas dan mutunya, bukan abal-abal dan bukan kaleng-kaleng.
* * *
Namun di balik semua itu, ngomong-ngomong ini sudah tahun 2022. Sementara kitab-kitab itu produk tahun jebot semua.
Kalau ngaji tafsir, biasanya kitab paling andalannya Ibnu Katsir. Judulnya resminya adalah Tafsir Al-Quran Al-Azhim.
Ibnu Katsirnya sendiri sosok ulama zaman dulu banget. Wafatnya saja tahun 774 Hijriyah. Ada jarak 7 abad dengan zaman kita hidup hari ini.
Ngaji hadits umumnya yang jadi andalan adalah Kitab Riyadhusshalin. Saking populernya kitab ini, sampai di setiap rumah tangga muslim pada punya. Setidaknya ini kita yang paling banyak dibaca orang di berbagai majelis ilmu.
Penyusunnya yaitu Al Imam An-Nawawi wafat tahun 676 Hijriyah. Jaraknya dengan kita nyaris 8 abad lamanya. Semakin jauh ke belakang.
Sementara kitab fiqih dasar yang paling banyak dibaca dalam majelis ilmu sebutlah Kitab Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib.
Asal tahu saja bahwa Al-Qadhi Abu Syuja' sebagai penyusunnya wafat tahun 593 Hijriyah.
Makin jauh lagi jaraknya ke kita.
Dan belum lengkap rasanya kalau pengajian belum baca kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Imam Al-Ghazali.
Saking terkenalnya beliau dengan kitab Ihya'-nya, boleh dibilang ini adalah kitab sejuta umat. Semua pengajian pasti pakai kitab yang satu ini.
Dan tahukah anda, kapan masa hidup Al-Ghazali? Ya, beliau wafat tahun 550 Hijriyah. Bayangkan, kita ngaji kitab yang penyusunnya hidup 9-10 abad yang lalu.
Lebih mundur ke belakang lagi ke belakang masih ada Shahih Bukhari (w. 256 H) dan Shahih Muslim (w. 261 H). Bahkan ada yang nekat mau ngaji kitab asli karya Al-Imam Asy-Syafi'i, seperti Al-Umm atau Ar-Risalah.
Padahal beliau wafatnya tahun 204 Hijriyah. Itu artinya tentang 12 abad yang lalu.
* * *
Mengaji kitab yang disusun ratusan tahun yang lalu pastinya mengangkat persoalan-persoalan yang muncul di masa itu. Dan tidak mungkin membahas persoalan kekinian.
Bayangkan kitab hidup zaman sekarang, tapi pedoman hidup dan petunjuknya masih pakai versi sepuluh abad yang lalu.
Tanpa mengurangi takzhim kita kepada para ulama klasik dan sangat kita muliakan itu, namun karena ada rentang jarak masa kehidupan yang beda abad, kira-kira masih relevan kah kita hari ini mengandalkan karya abad-abad lampau?
Kalau masih relevan, bagaimana dengan perubahan zaman berabad-abad lamanya. Bukan kah peradaban manusia berkembang, urf bergeser, akar-akar tradisi berubah, teknologi berinovasi, dan zaman sudah terbalik-balik 180 derajat?
Atau kah kitab kuning ini harus dievaluasi lagi pada bagian tertentunya, biar masih tetap relevan dengan update kekinian?
Kalau iya, pertanyaan terakhir : Lantas siapa kah yang berhak untuk melakukan kajian ulang dan revisi serta penyesuaian-penyesuaian itu?
Tertarik membahas tema ini?
Yuk ikuti Kajian Malam Kamis (KMK) malam ini. Tema cantik di atas akan kitab bedah bersama.
Hadir langsung silahkan ke Rumah Fiqih Indonesia, jalan Karet Pedurenan no. 53 Setiabudi Jaksel.
Atau . . .
Saksikan streaming online via di YouTube di YouTube.com/rumahfiqihindonesia.
Bisa juga kalau mau lebih interaktif masuk ke link zoom : rumahfiqih.com/zoom