WANHEARTNEWS.COM - Belum lama ini, publik sempat dihebohkan dengan menu makanan dari olahan daging babi dengan bumbu khas Padang.
Menu makanan itu disediakan oleh salah satu pemilik usaha nasi Padang rumahan yang berlokasi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Terungkapnya usaha kuliner Nasi Padang babi ini pun menuai kritik dan kecaman dari berbagai pihak.
Pasalnya, kuliner berbahan dasar babi dengan menggunakan bahasa Minang itu dinilai tidak sesuai dengan filososi masyarakat minang, yang identik dengan Islam.
Masih hangat kasus soal Nasi Padang Babi, baru-baru ini muncul kasus serupa sebuah usaha kuliner yang menyediakan menu makanan dari bahan dasar yang sama, yaitu daging babi.
Seperti kasus sebelumnya, pemilik usaha kuliner ini juga menggunakan embel-embel daerah dalam penamaan atau brand untuk makanannya, yaitu Nasi Uduk Aceh.
Informasi soal menu kuliner berbahan dasar daging babi yang diberi nama Nasi Uduk Aceh ini pertama sekali diungkapkan oleh Muhammad Raji Firdana, seorang pegiat usaha kuliner Aceh di Jakarta.
Dalam sebuah unggahan di akun Instagramnya, @rajifirdana, Sabtu (11/6/2022), Raji mengungkapkan, bahwa dirinya secara tidak sengaja menemukan menu kuliner nonhalal yang membawa nama Aceh tersebut ketika hendak mencari sarapan bersama keluarganya.
"Sambil buru2 langsung ke lokasi pasar muara karang, pas sampe di lokasi, kita ga curiga sama sekali karena brand yang dimunculin kan 'Nasi Uduk Aceh'," tulisnya.
Namun saat ia masuk dan hendak memesan makanan, ia pun mulai curiga ketika melihat warna daging dendeng yang disediakan berbeda dengan yang biasa digunakan di menu makanan Aceh.
"Kita tanya awalnya ga dijawab, malah pelanggan disitu yang jawab. Rupanya bener aja, dendeng yang dijual rupanya ga halal, dan berbahan dasar babi." ungkapnya.
Saat dikonfirmasi Serambinews.com melalui pesan WhatsApp, Minggu (12/6/2022), Raji membenarkan terkait informasi yang dia sampaikan dalam unggahannya tersebut.
Dikatakan Raji, kejadian itu terjadi sekitar 1-2 bulan lalu, saat ia mengunjungi tempat kuliner tersebut bersama keluarganya.
Adapun lokasi usaha kuliner yang menjual makanan nonhalal dengan membawa nama Aceh itu, Kata Raji, berlokasi di Pasar Muara Karang, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Pengusaha muda sekaligus owner Koetaradja & The Keude Kupi, warung kopi aceh berkonsep kafe yang berada di kawasan elite di Jakarta Pusat ini menyebutkan, Nasi Uduk Aceh dengan daging babi itu juga dipromosikan di akun Instagram mereka.
Namun kini, unggahan menu yang menawarkan lauk pauk berbahan dasar daging babi telah telah banyak dihapus oleh pemiliknya.
"Sekarang beberapa postingan mereka di instagram , yg berhubungan dengan 'babi' sudah banyak dihapus," ujar Raji saat dihubungi Serambinews.com, Minggu (12/6/2022).
"Sebelumnya 298 post. Sekarang tersisa 241," sambungnya.
Saat dikunjungi Serambinews.com, benar jumlah postingan yang tertera di akun Instagram pemilik usaha kuliner yang menjual Nasi Uduk Aceh dendeng babi tersebut berjumlah 241.
Lebih lanjut Raji mengatakan, dirinya belum mengetahui pasti apakah pemilik usaha kuliner yang menjual makanan berbahan dasar babi dengan membawa nama Aceh tersebut juga berasal dari Aceh atau bukan.
Dirinya sendiri sebenarnya tidak mempersoalkan terkait makanan dari olahan babi atau semacamnya.
Dia berpendapat, semua orang termasuk pemilik usaha memiliki HAK, dan HAK setiap orang itu dilindungi.
Namun, menurutnya kurang arif jika pemilik usaha tersebut menyandingkan nama Aceh sebagai branding menu makanan olahan daging babi yang mereka jual.
Pasalnya, makanan-makanan khas Aceh tidak perlu diragukan lagi kehalalannya, karena identik dengan syariat Islam.
Selain itu, daerah Aceh juga memiliki Undang-Undang khusus terkait Syariat Islam.
Sehingga menyandingkan nama Aceh sebagai brand makanan nonhalal, menurutnya telah menyinggung masyarakat di provinsi paling ujung Sumatera ini.
"Sekali lagi, saya lahir dan besar juga di lingkungan nonmuslim.
Jadi saya tidak mempermasalahkan usaha makanan non halalnya.
Tetapi menempatkan nama Aceh yang identik dengan keislaman dan kehalalannya kemudian disandingkan dengan makanan nonhalal, saya pikir kurang bisa diterima.
Khususnya oleh masyarakat Aceh," tutur pria asal Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara tersebut.
"Saya menduga pasti banyak yang seakan-akan seperti 'tertipu' dengan branding terebut," lanjutnya.
Raji juga menambahkan, bahwa dirinya belum mengambil langkah hukum apapun terhadap pemilik usaha bersangkutan.
Saat ini, ia dan beberapa komunitas serta tokoh-tokoh Aceh yang ada di Jakarta masih mendiskusikan permasalahan tersebut.
"Saya lagi diskusi dengan beberapa komunitas Aceh dan beberapa tokoh Aceh di Jakarta, untuk selanjutnya memutuskan akan mengambil langkah apa," pungkasnya.
Sumber: tribunnews