WANHEARTNEWS.COM - Pemimpin organisasi Khilafatul Muslimin Abdul Qodir Hasan Baraja ditangkap polisi di Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung, Selasa pagi (7/6/2022).
Polisi menangkap Abdul Qadir Hasan Baraja sepekan setelah konvoi anggota organisasi itu mendapat sorotan masyarakat.
Polisi menuduh Baraja menyebarkan provokasi, kebencian, dan kabar bohong untuk menjelekkan pemerintah.
Padahal anggota jaringan Khilafatul Muslimin sudah rutin menggelar konvoi sejak empat tahun lalu.
Yayasan dengan nama yang sama pun mendapat izin dari Kementerian Hukum dan HAM sejak 2014.
Bahkan sayap pendidikan mereka di 18 wilayah sudah menerapkan kurikulum berbasis khilafah sejak 2006.
Abdul Qadir Hasan Baraja tak berkutik ketika mobil berisi anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya menghentikan laju sepeda motor yang ditumpanginya, Selasa, 7 Juni 2022. Pemimpin Khilafatul Muslimin itu digelandang ke mobil dalam perjalanan pulang setelah salat subuh di Masjid Al Khilafah, Jalan W.R. Supratman, Kelurahan Kupang Teba, Kecamatan Teluk Betung Utara, Kota Bandar Lampung.
Pagi itu, Hasan Baraja dibonceng Maher, anggota Khilafatul Muslimin. Dari Maher pula kabar penangkapan itu diterima pemimpin Khilafatul Muslimin wilayah Bandar Lampung, Abu Bakar. "Jika berada di Lampung, (Baraja) memang selalu menjadi imam di masjid," kata Abu Bakar kepada Tempo, Selasa lalu (7/6/2022).
Di Jakarta, kabar penangkapan Hasan Baraja menyebar pada pagi yang sama. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Endra Zulpan, mengungkapkan penangkapan itu dilakukan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Rombongan polisi dan Hasan Baraja tiba di markas Polda Metro Jaya pada sore harinya, disusul woro-woro penetapan tersangka pria berusia 79 tahun tersebut dalam sejumlah dugaan pelanggaran pasal tindak pidana.
Dalam sepekan terakhir, Khilafatul Muslimin menjadi buah bibir setelah menggelar konvoi sepeda motor di DKI Jakarta dan beberapa daerah sembari mengkampanyekan kebangkitan khilafah pada akhir Mei lalu.
Senin lalu, sehari sebelum penangkapan Hasan Baraja, Kepolisian Daerah Jawa Tengah lebih dulu menangkap tiga pengurus Khilafatul Muslimin Brebes, yakni Ghozali Ipnu Taman, Dasmad bin Surjan, dan Adha Sikumbang.
Abu Bakar pun mempertanyakan penangkapan Hasan Baraja tersebut. "Ikut saja tidak di konvoi itu, tapi ikut ditangkap," kata dia.
Menurut Komisaris Besar Endra Zulpan, Hasan Baraja ditangkap bukan semata-mata karena konvoi Khilafatul Muslimin. Kegiatan kelompok ini, kata Endra, tak bisa dipisahkan dari provokasi, ujaran kebencian, serta berita bohong yang kerap disebarkan dengan tujuan menjelekkan pemerintahan yang sah. Hasan menjadi tersangka lantaran diduga ingin mengganti ideologi Pancasila.
Penyidik Polda Metro Jaya menjerat Hasan Baraja dengan pasal berlapis. Hasan, misalnya, ditengarai melanggar Pasal 59 ayat 4 juncto Pasal 82A ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017. UU tersebut menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 sebagai undang-undang. Perpu tersebut mengubah sebagian isi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Pasal 59 ayat 4 pada intinya melarang ormas menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang identik dengan gerakan separatis atau organisasi terlarang. Pasal ini juga melarang ormas menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Pasal 82A ayat 2 menentukan ancaman hukuman terhadap pelanggaran tersebut berupa pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Hasan Baraja juga dijerat dengan Pasal 14 ayat 1-2 serta Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal-pasal inilah yang digunakan kepolisian untuk menangkap Hasan dengan tuduhan menyebarkan berita bohong.
Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan mengatakan Khilafatul Muslimin menawarkan ideologi khilafah sebagai solusi pengganti Pancasila. Ideologi khilafah diklaim dapat menyejahterakan masyarakat.
"Ini bertentangan dengan UUD 1945. Dalam alinea keempat sudah jelas dikatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara yang merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa," kata Endra.
Abu Bakar menampik tudingan polisi. Sejak berdiri pada 1997, kata dia, Khilafatul Muslimin tak pernah mempertentangkan ideologi Pancasila.
"Di mananya yang bertentangan? Pancasila kan masih Tuhan Yang Maha Esa," kata dia. "Kami tidak pernah menentang Pancasila."
Penangkapan Tak Berkaitan dengan Terorisme
Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, Komisaris Besar Aswin Siregar, menyatakan penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja tidak berhubungan dengan tindak pidana terorisme. Kendati begitu, kata Aswin, Densus 88 Antiteror tetap akan mengikuti proses penyelidikannya. “Kami tetap memonitor," ujarnya.
Menurut Aswin, Densus 88 sebelumnya memberikan informasi kepada Polda Metro Jaya tentang adanya bekas anggota Khilafatul Muslimin yang pernah ditangkap dalam tindak pidana terorisme pada 2019. Saat itu, penangkapan dilakukan terhadap anggota Khilafatul Muslimin yang pindah ke jaringan teroris Jamaah Islamiyah dan merencanakan pengeboman. "Jadi, rekam jejak anggota mereka ada yang pindah ke organisasi teroris," kata Aswin.
Kemunculan Khilafatul Muslimin dalam konvoi pada akhir Mei lalu tak hanya menarik perhatian publik, tapi juga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Meski belum mengarah ke terorisme, gerakan Khilafatul Muslimin dinilai perlu diwaspadai. Pangkal kecurigaan ini tidak hanya berupa penangkapan bekas anggota Khilafatul Muslimin, tapi juga rekam jejak Hasan Baraja yang kelam lantaran pernah menjadi residivis terorisme.
Pemimpin Khilafatul Muslimin wilayah Jakarta Raya, Muhammad Abudan, menyatakan pasrah setelah Hasan Baraja ditangkap.
"Kalau polisi sudah menuduh, ya, sudah selesai. Kita cuma rakyat biasa yang tidak punya kewenangan apa pun. Jadi, bantahan kami sekuat apa pun, ya, percuma saja," ujarnya ketika disinggung tentang rencana pendampingan hukum terhadap Hasan Baraja.
Namun, Abudan mempertanyakan penangkapan sejumlah pengurus Khilafatul Muslimin yang dipicu oleh konvoi.
Sebab, kegiatan motor syiar—begitu mereka menyebut kegiatan parade sepeda motor di beberapa daerah itu—rutin digelar empat bulan sekali sejak akhir 2017.
"Kenapa baru sekarang kami ditindak?" ujarnya. Abudan mencurigai ada pihak yang sengaja berniat menyudutkan Khilafatul Muslimin.
Dasar Penangkapan Dianggap Mengada-ada
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir, menilai polisi terlalu tergesa-gesa menyimpulkan tindak pidana terhadap Hasan Baraja.
Berdasarkan fakta kejadian, kata Muzakir, Khilafatul Muslimin hanya menggelar konvoi dengan bendera tauhid dan poster bertulisan khilafah.
"Itu hal yang umum. Tidak ada pasal hukum yang melarang melakukan hal seperti itu," ujarnya.
Muzakir juga menilai polisi tak tepat menuding Khilafatul Muslimin hendak berbuat makar. Sebab, sejauh ini tidak ada aktivitas Khilafatul Muslimin yang mengarah ke rencana menggulingkan pemerintah, presiden, ataupun ideologi Pancasila.
"Kalau dibilang (menyebarkan) berita bohong, apa yang diberitakan bohong oleh mereka?" kata Muzakir mempertanyakan pasal yang dipakai polisi untuk menangkap pentolan Khilafatul Muslimin.
"Jika bertentangan dengan Pancasila, di mana letak pertentangannya?" ujarnya.
Menurut dia, polisi semestinya berpikir jernih dan tak asal-asalan menganggap perbuatan menyampaikan pandangan sebagai tindakan kriminal.
"Jangan pandangan soal khilafah langsung dikriminalkan," ucapnya.
Selama sepekan terakhir, Tempo dua kali menyambangi Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah (PPUI) di Pekayon, Bekasi, yang merupakan sayap pendidikan Khilafatul Muslimin.
Seluruh pengurus pesantren yang juga anggota Khilafatul Muslimin ini kompak menampik tudingan bahwa kelompoknya merencanakan pembentukan negara Islam. Mereka juga ogah disebut anti-Pancasila, meski menolak demokrasi.
Hasil penelusuran Tempo menunjukkan bahwa Khilafatul Muslimin mengembangkan kurikulum pendidikan berbasis khilafah sejak 2006. Bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Khilafatul Muslimin, yang juga didirikan Abdul Qadir Hasan Baraja, sayap pendidikan ini beroperasi di 18 kota dan kabupaten. Kementerian Agama menyatakan satuan pendidikan Khilafatul Muslimin tak terdaftar, baik di kantor pusat maupun daerah.
(Sumber: Koran TEMPO, 8 Juni 2022)