WANHEARTNEWS.COM - Partai NasDem dinilai ingin menjadi aktor pengubah permainan (game changer) saat Pilpres 2024, kata Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona.
Buktinya, ia mengusulkan 3 nama untuk menjadi Calon Presiden Republik Indonesia Periode 2024-2029 dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem di Jakarta pada Jumat (17/6) silam.
Ketiga nama itu, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Andika Perkasa, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Langkah itu langsung dianggap sebagai cara NasDem memainkan kartu truf-nya sebagai partai antitesis dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dari sepengamatannya, gonjang-ganjing yang muncul sejauh ini memperlihatkan NasDem selalu berdiri pada posisi yang berbeda dari PDIP, baik dari aspek memandang pun dari sisi pilihan politik.
NasDem dan PDIP, kata dia, merupakan mitra koalisi yang dekat tapi jauh. Ibarat minyak dan air yang sulit sepaham.
"Saat di Istana Negara ketika jamuan makan bersama Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu, bahasa tubuh Surya Paloh (Ketua Umum Partai NasDem) dan Megawati (Ketua Umum PDIP) tidaklah akrab," katanya.
Selanjutnya, Bataona menilai kalimat Surya Paloh dalam rakernas menegaskan bahwa jangan ada partai yang merasa sangat berkuasa, menang sendiri, dan sombong, adalah pesan verbal yang bermakna jelas bahwa posisi mereka sebagai partai antitesis.
Di sisi lain, ujar dia, saat NasDem sedang membuat kegiatan rakernas, PDIP juga mengumpulkan semua kepala daerah di Lenteng Agung Jakarta untuk mengikuti sekolah partai termasuk Ganjar Pranowo.
Secara psikologis, ujarnya, ini merupakan upaya adu kekuatan, saling tekan, dan sekaligus unjuk soliditas, sehingga hampir semua pernyataan Surya Paloh di forum rakernas langsung dibantah Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.
"Publik tentu cerdas membaca ini sebagai rivalitas dua sahabat koalisi pemerintah yang memang sejak Pemilu 2019 sudah saling berkompetisi. Sudah seperti air dan minyak," katanya.
Sumber: era