Wajibkah Ketua MK Anwar Usman Mundur Setelah Menikah dengan Adik Presiden Jokowi?
Oleh: Yusril Ihza Mahendra
Pendahuluan
Saya berulangkali ditanya wartawan maupun anggota masyarakat mengenai wajib tidaknya Anwar Usman, hakim dan Ketua MK mundur dari jabatannya setelah resmi menikah dengan Hajjah Idayati, adik kandung Joko Widodo alias Jokowi, yang kini menjabat Presiden Republik Indonesia pada 26 Mei yang lalu. Saya mulanya enggan menjawab pertanyaan tersebut dan membiarkan wacana itu berkembang, untuk kemudian, jika perlu, barulah memberikan tanggapan, ketika wacana itu sudah agak dingin, sehingga kita bisa berfikir dengan lebih jernih melihat persoalan yang terjadi.
Setelah mengamati dengan seksama alasan pihak-pihak yang meminta Anwar Usman mundur itu, saya menyimak bahwa argumen yang digunakan adalah norma Pasal 17 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Ketua Majelis, hakim anggota, jaksa atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat”.
Ketentuan-ketentuan yang sama sebagaimana juga diatur dalam ayat sebelumnya, Pasal 17 ayat (3) yang pada intinya secara imperatif memerintahkan agar hakim mengundurkan diri dari persidangan, artinya dalam menangani suatu perkara, apabila antara hakim itu mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang diadili dalam perkara itu. Jika tidak mundur dalam menangani perkara itu, maka “pihak yang diadili” mempunyai “hak ingkar” untuk mengajukan keberatan perkaranya ikut diadili oleh hakim tersebut [Pasal 17 ayat (1)].
Nah, dalam hal Ketua Pengadilan yang menangani suatu perkara, tetapi dia tidak duduk dalam majelis hakim yang menangani perkara itu, apakah dia wajib mundur sebagai Ketua Pengadilan?
Dalam semua pengadilan pastilah akan ada beberapa majelis untuk menangani perkara. Karena itu, jika hal yang dimaksud oleh Pasal 17 ayat (3) dan (4) itu terjadi, maka Ketua Pengadilan yang kebetulan menjadi Ketua atau anggota majelis yang menangani perkara, memang wajib mundur dari majelis itu atas perintah undang-undang. Tetapi tidak ada perintah undang-undang yang menyatakan dia harus mundur dari jabatannya sebagai Ketua Pengadilan. Majelis hakim yang menangani suatu perkara sepenuhnya independen. Dalam mengadili dan memutus perkara, majelis tidak dapat diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh Ketua Pengadilan.
Majelis Hakim MK
MK memang beda dengan pengadilan manapun di negara kita ini karena majelisnya hanya 1 saja. Hakim MK hanya sembilan orang yang secara otomatis membentuk satu Majelis Hakim MK. Persidangan majelis dipimpin oleh Ketua MK, atau jika dia berhalangan, maka otomatis akan dipimpin oleh Wakil Ketua MK. Menurut Pasal 28 ayat (1) UU MK, sidang majelis hakim MK adalah sah (kuorum) jika dihadiri oleh sembilan atau sedikitnya tujuh orang hakim MK. Putusan diambil dengan musyawarah atau dengan suara terbanyak.
Pertanyaannya apakah norma Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berlaku juga bagi MK?
Jawabannya ya, norma itu juga berlaku bagi MK. Ketua atau hakim MK wajib mundur dari majelis yang menangani perkara apabila “pihak yang diadili” dalam perkara itu adalah keluarganya, termasuk keluarga semendanya sampai derajat ketiga. Norma yang sama dengan norma Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU No 48 Tahun 2009 itu juga diatur bahkan diperluas dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Dalam Ketentuan Kedua Kode Etik Hakim MK yang dimuat dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 dinyatakan yang memuat lima poin norma etik yang intinya mewajibkan hakim MK untuk tidak berpihak dalam menangani perkara, maka hakim MK dalam menerapkan lima point norma etik itu “harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tidak berpihak” karena dua alasan yaitu: (1) Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau (2) Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan. Jadi rumusan norma Kode Etik MK jauh lebih luas dari sekedar hubungan keluarga atau semenda sampai derajat ketika sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU No. 48 Tahun 2009.
Meskipun demikian, rumusan norma Kode Etik Hakim MK itu memberikan batas-batas bahwa hakim tersebut tidak perlu mundur dalam menangani perkara apabila dia tetap dapat menunjukkan sikapnya yang tidak berpihak, meskipun ada “anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan”.
Jadi kalau dalam UU Kekuasaan Kehakiman hakim wajib mundur karena pihak yang diadili adalah keluarga atau keluarga semenda sampai derajat ketiga ada kepentingan atau tidak, dalam Kode Etik Hakim MK diperluas menjadi ada “anggota keluarganya” tanpa batas sampai derajat ketiga, sepanjang saudaranya itu “berkepentingan terhadap putusan”.
Sangat sulit mengetahui apalagi mengukur sampai sejauh mana dalam perkara yang ditangani MK ada anggota keluarga hakim MK yang “berkepentingan terhadap putusan”. Sampai sejauh ini dalam perkara-perkara sengketa Pilkada dan bahkan sengketa Pilpres memang belum pernah terdengar adanya masalah sehubungan dengan penerapan norma Kode Etik MK yang amat luas bagai laut tak bertepi itu. Dalam hukum biasanya diterima sebuah prinsip: makin luas cakupan suatu pengaturan, makin dia tidak dapat mengatur apa-apa. Sepanjang sejarah MK juga belum pernah terjadi adanya hakim MK mundur dari majelis yang menangani perkara Pilkada misalnya, karena ada anggota keluarganya di kampung yang “berkepentingan” dengan putusan perkara Pilkada tsb.
Kekeluargaan Semenda Anwar Usman dengan Jokowi
Sekarang kita kembali kepada tuntutan kepada Ketua MK Anwar Usman untuk mengundurkan diri dari jabatan hakim dan sekaligus Ketua MK setelah resmi menikah dengan Hajjah Idayati, adik Presiden Jokowi, yang sejak ijab-qabul tanggal 26 Mei yang lalu otomatis menciptakan hubungan keluarga semenda antara keduanya. Namun terciptanya hubungan keluarga semenda itu tidak dapat dijadikan alasan untuk meminta, apalagi mendesak Anwar Usman untuk mundur dari jabatan sebagai hakim dan Ketua MK. Tidak ada dasar hukum maupun dasar etik apapun yang dapat digunakan untuk meminta atau mendesaknya.
Bagaimana halnya jika Anwar Usman ikut menangani suatu perkara di MK di mana “pihak yang diadili” sebagaimana disebutkan oleh Pasal 17 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 adalah keluarga atau keluarga semendanya sampai derajat ketiga? Secara umum dapat dikatakan demikian. Siapapun yang menjadi pihak yang diadili oleh MK yang menenuhi kriteria itu, maka Anwar Usman wajib mundur dari majelis yang mengadili perkaranya. Ini tidak khusus berlaku bagi Anwar Usman, tetapi berlaku pula pada hakim-hakim MK yang lain. Begitupun hakim-hakim MK yang lain jika berhadapan dengan kasus yang sama.
Namun persoalannya, dalam hal apa saja Anwar Usman wajib mundur dari majelis jika dikaitkan dengan yurisdiksi atau kewenangan MK dalam hubungan dengan Jokowi yang kini menjadi keluarga semendanya? Pertanyaan yang sama juga dapat diajukan: Apakah dalam semua perkara yang menjadi kewenangan MK, adakah “pihak yang diadili” sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009?
Perkara-perkara yang menjadi yurisdiksi MK itu menurut Pasal 24C UUD 1945 adalah: (1) menguji UU terhadap UUD 45, (2) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (5) memutus apakah beralasan hukum atau tidak pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar UUD 45 dalam proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam konteks hubungan antara Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Jokowi, jika dikaitkan dengan kewajiban hakim MK mundur dari majelis yang menangani perkara karena “pihak yang diadili” adalah saudara semenda, dalam perkara apakah Anwar Usman wajib mundur dari majelis? Coba kita analisis satu demi satu sebagai berikut:
(1) Dalam perkara pengujian UU di MK, apakah Presiden Jokowi menjadi “pihak yang diadili” sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009? Pada pendapat saya tidak. Tidak ada pihak manapun yang diadili MK dalam perkara pengujian UU. “Pihak yang diadili” kalau bisa dikatakan demikian, justru adalah UU itu sendiri apakah normanya bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Dalam perkara pengujian UU, yang ada hanya Pemohon, sedangkan Termohonnya tidak ada. Penggugat tidak ada, Tergugat juga tidak ada. Apalagi Terdakwa. Samasekali tidak ada. Jadi Jokowi, baik pribadi maupun Presiden, bukanlah pihak yang diadili dalam perkara pengujian UU.
UU yang diuji itu juga belum tentu dibuat oleh Presiden Jokowi. Bisa saja UU itu dibuat oleh Presiden Sukarno, Suharto, Gus Dur dan seterusnya. Bahkan bisa juga UU itu dibuat oleh Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda zaman kolonial dahulu) seumpama KUHP dan KUHPerdata. Dalam menguji UU, MK bisa meminta keterangan Presiden dan DPR atau pihak lain atas permohonan pengujian UU tsb. Bisa juga tidak. MK berwenang memutus sendiri permohonan itu tanpa meminta Presiden untuk memberi keterangan.
Amar putusan MK terkait pengujian UU juga tidak memerintahkan Presiden untuk melaksanakan sesuatu seperti dalam putusan pidana, perdata atau TUN. Kalau demikian untuk apa Anwar Usman mundur dari majelis ketika MK memeriksa perkara pengujian UU ketika Jokowi sedang menjadi Presiden? Saya tidak melihat urgensi dan alasan hukum apapun untuk meminta Anwar Usman mundur dari majelis dalam mengadili perkara pengujian UU ini.
(2) Perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara, katakanlah sengketa kewenangan antara Presiden dengan DPR di masa Jokowi menjadi Presiden. Dalam perkara ini siapa yang diadili? Apakah Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman mengadili Jokowi? Pada hemat saya tidak, karena dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara, pihak yang diadili adalah lembaga negara, bukan pribadi pejabatnya. Karena itu tidak ada kewajiban untuk mendesak Anwar Usman mundur dari majelis. Perkara sengketa kewenangan antar lembaga ini sebenarnya perkara langka yang dalam sejarah MK belum pernah substansinya benar-benar diadili oleh MK.
(3) Perkara pembubaran partai politik. Perkara ini juga belum pernah terjadi dalam sejarah MK. Andai ada perkara ini di masa Jokowi menjadi Presiden, maka siapa yang menjadi “pihak yang diadili”? Pihak yang diadili adalah partai politik yang mau dibubarkan itu. Jokowi samasekali bukan pihak yang diadili. Andai perkara ini ada, maka tidak cukup alasan juga untuk mendesak Anwar Usman mundur dari majelis.
(4) Memutus perselisihan hasil pemilihan umum atau secara lebih spesifik adalah memutus perkara perselisihan Pilpres yang Jokowi menjadi pesertanya. Perkara ini juga mustahil akan terjadi tanpa amandemen konstitusi yang memungkinkan Jokowi maju kembali sebagai Capres pada tahun 2024 yg akan datang. Tetapi andaikata hal itu terjadi, Jokowi berkesempatan kembali maju sebagai Capres untuk ketiga kalinya, dan terjadi perselisihan hasil Pilpres, maka Anwar Usman memang wajib mundur dari majelis yang mengadili perkara itu. Sebab, meskipun yang diadili adalah perselisihan dan Termohonnya adalah KPU sebagai penyelenggara Pilpres, bukannya Jokowi, namun “saudaranya (termasuk saudara semenda) dari anggota majelis hakim yang menangani perkara itu “berkepentingan dengan putusan” perkara tersebut.
Terkait dengan sengketa hasil Pemilu ini adalah perkara Pilkada yang sementara ini masih ditangani MK, sebelum adanya UU baru yang membentuk pengadilan khusus pilkada. Dalam perkara Pilkada, mungkin saja anak Jokowi ikut dalam Pilkada Serentak Tahun 2024 nanti, sehingga jika terjadi sengketa, maka Anwar Usman juga harus mundur dari majelis yang memeriksa sengketa Pilkada yang melibatkan anak Jokowi tersebut. Anak Jokowi dengan sendirinya adalah juga keluarga semenda dari Anwar Usman.
(5) Memutus perkara proses pemakzulan Presiden yang dijabat oleh Jokowi. Hal seperti ini bisa saja terjadi dalam kurun waktu sekitar 2,5 tahun ke depan sampai berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi tanggal 20 Oktober 2024. Kalau hal ini terjadi, maka Anwar Usman memang layak mundur dari majelis karena Jokowi sendiri menjadi “pihak yang diadili” menurut norma Pasal Pasal 17 UU No 48 Tahun 2009. Sebagai pihak yang diadili, maka Jokowi sebagai saudara semenda Anwar Usman itu berkepentingan dengan keputusan majelis.
Berdasarkan uraian di atas, dari lima kewenangan mengadili yang ada pada MK dikaitkan dengan perkembangan sejarah dan situasi masa kini ketika tercipta persaudaraan semenda antara Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Jokowi sejak 26 Mei 2022, hal yang paling mungkin menyebabkan Anwar Usman wajib mundur dari majelis adalah dalam perkara proses pemakzulan Presiden, seandainya DPR berpendapat bahwa Presiden Jokowi telah melanggar norma Pasal 7A UUD 45 yakni pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden.
Sepanjang sejarahnya, MK belum pernah menangani perkara proses pemakzulan. Namun andaikata terjadi di masa Anwar Usman menjadi Ketua MK dan Jokowi menjadi Presiden, maka mutatis mutandis dengan analisis angka 4 di atas, Anwar Usman memang layak untuk mundur dari majelis yang menangani perkara itu. Tetapi dia, sekali lagi, tidak wajib mundur dari jabatannya sebagai hakim dan sekaligus Ketua MK. Selanjutnya MK akan bersidang dengan tujuh hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara itu dengan Wakil Ketua MK bertindak sebagai Ketua Majelis.
Penutup
Dari uraian panjang lebar di atas, terciptanya hubungan persaudaraan semenda antara Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Jokowi sejak 26 Mei 2022, telah menimbulkan kontroversi yakni permintaan dan desakan agar Anwar Usman mundur dari jabatannya sebagai Ketua MK. Permintaan dan desakan tersebut setelah dianalisis, ternyata tidak ada landasan hukum dan etiknya.
Norma etik terkait dengan prilaku hakim MK telah dirumuskan secara tertulis dalam Peraturan MK tahun 2006. Karena itu landasan etiknya adalah sesuatu yang obyektif dan bukan subyektif menurut selera orang-orang yang setiap saat bisa mengatakan sesuatu etis atau tidak etis menurut kemauannya sendiri. Biasanya dibalik jargon etis dan tidak etis itu terselip sebuah kepentingan, baik terang-terangan maupun tersembunyi.
Kewajiban untuk mundur dari majelis memang ada, baik berdasarkan norma hukum di dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun norma etikanya sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan MK Tahun 2006. Dari lima kewenangan mengadili yang dimiliki MK, saya berpendapat hanya dalam memeriksa perkara proses pemakzulan terhadap Jokowi saja (andaikata itu terjadi) yang menyebabkan Anwar Usman wajib mundur dari majelis yang mengadili dan memutus perkara itu.
Sekali lagi saya katakan bahwa meskipun telah tercipta persaudaraan semenda antara Anwar Usman dengan Jokowi sejak 26 Mei 2022, namun tidak ada alasan hukum maupun etik yang dapat digunakan untuk mendesaknya mundur dari jabatan hakim dan sekaligus Ketua MK.
Jakarta, 13 Juni 2022