Menurutnya, enam mahasiswa tersebut bukan ahli profesional. Mereka adalah mahasiswa yang sedang mengimplementasikan ilmu yang didapat saat kuliah dan masih perlu banyak belajar.
"Kalau dibawa ke ranah pidana terlalu berlebihan, karena konteksnya belajar. Kampus melihat bahwa mahasiswa boleh salah, tapi mereka tidak bohong dalam menyampaikan. Dalam rangka ini mereka tidak sedang korupsi, tapi tengah mempraktikkan ilmu yang didapat saat kuliah," kata Yusdiyanto, dikutip Kantor Berita RMOLLampung, Sabtu (16/7).
Lanjutnya, kasus pemalsuan tanda tangan terjadi saat empat mahasiswa tengah menyelesaikan revisi perbaikan permohonan gugatan UU IKN, sementara dua mahasiswa lainnya berada di luar kota.
Karena memerlukan tanda tangan, keempat mahasiswa meminta izin untuk mewakilkan tanda tangan dan semuanya telah menyepakatinya.
"Tapi hakim mengganggap mewakilkan tanda tangan itu tidak bisa diterima dan berpotensi pidana. Menurut saya, hakim terlalu intimidasi kepada mereka, sehingga mereka tidak diberikan ruang untuk menjawab pertanyaan hakim dan diminta untuk mencabut gugatan karena dianggap main-main," paparnya.
Padahal, kata Yusdiyanto, enam mahasiswa tersebut melakukan gugatan tanpa ada yang menyuruh atau memaksa.
Awalnya mereka mengikuti mata kuliah hukum peradilan Mahkamah Konstitusi, lalu mendaftarkan gugatan ke MK secara online dan diterima.
"Itu atas inisiatif mahasiswa. Kalau mereka ingin kembali melakukan gugatan maka kami akan mendukung. Namun harus lebih teliti lagi. Jangan sampai kesalahan kecil dapat menggagalkan kembali," jelasnya.
Sumber: RMOL.ID