SEPERTI kecelakaan jalan raya, bongkar makam Yosua besok, bakal ramai penonton. Kapolda Jambi, Irjen Rachmad Wibowo, mengingatkan: "Mohon, warga jangan datangi makam. Cukup baca di media,”.
Kapolda Jambi mengatakan itu kepada pers, Minggu (24/7). Karena kebiasaan masyarakat kita, memang begitu. Suka nonton hal-hal beginian. Bukan apa-apa. Sekadar selfi-selfi.
Sedangkan, banyaknya penonton pasti mengganggu proses otopsi. Repotnya, semakin dilarang, warga semakin kepo. Kalau tidak dilarang, tambah bebas berduyun-duyun.
Maka, Kapolda sudah menugaskan Kepala Biro Operasi (Karo Ops) Polda Jambi, Kombes Feri Handoko Soenarso mengamankan proses otopsi. Terutama membatasi warga penonton.
Kapolda Irjen Rachmad: "Saya koordinasi dengan pak Karo Ops. Pak Karo Ops mengatur rute yang akan dilewati. Juga, tempat untuk media sudah kita siapkan, sehingga nanti media juga tidak saling menghalangi diantara mereka."
Prosesnya begini. Pagi, kuburan Yosua di Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, digali. Jenazah diangkat. Dimasukkan ambulance. Diangkut menuju RSUD Sungai Bahar, Jambi.
Di sanalah jenazah akan diotopsi oleh tim ahli gabungan. Dari berbagai unsur, termasuk dari tim TNI, Polri dan RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Sementara itu, kabar dari kuasa hukum keluarga Yosua, selalu ada yang baru. Update terus. Terbaru, soal otopsi pertama jenazah Yosua oleh Polri. Diungkap kuasa hukum keluarga, Martin Lukas. Begini:
Ada tiga lembar surat, dokumen kematian Yosua. 1) Hasil tes antigen. 2) Pengawetan jenazah. 3) Permintaan visum et repertum. Satu surat berkop Polres Jakarta Selatan. Dua lainnya berkop Rumah Sakit Bhayangkara Polri.
Pihak keluarga Yosua menemukan kejanggalan di bagian data surat permintaan visum et repertum. Di surat yang ditandatangani oleh perwakilan Kapolres Jakarta Selatan, pekerjaan Yoshua disebut sebagai 'pelajar / mahasiswa', bukan polisi. Usia Yosua ditulis: 21. Seharusnya: 28. Penyebab kematian, kosong.
Martin Lukas: "Kejanggalan-kejanggalan itu. Juga, jenazah sudah divisum dulu, barulah kemudian memberitahu keluarga. Di mana-mana, visum itu, kan, dilakukan berdasarkan persetujuan keluarga. Bukan dilakukan dulu, baru kemudian izin."
Soal kejanggalan sudah dikatakan Menko Polhukam, Mahfud MD sejak awal. Tak kurang, Presiden Jokowi juga minta kasus ini diusut transparan. Dikatakan Presiden Jokowi sampai tiga kali ke publik.
Itu sebab, jenazah Yosua diotopsi ulang. Tapi, bagaimana kira-kira kondisi jenazah? Yang saat diotopsi, Rabu besok, sudah 19 hari dari saat kematian.
Dikutip dari The Guardian, 5 Mei 2015, bertajuk: "Life after death: the science of human decomposition", disebutkan: Jenazah bisa diotopsi kapan pun. Asal, pelaksana otopsi benar-benar ahli.
Otopsi, umumnya kurang disukai orang.Terdengar jijik. Mengerikan. Tabu. Baik orang di negara-negara Barat. Apalagi di Indonesia. Tapi, inilah terpaksa.
Artikel The Guardian memaparkan 'dekomposisi'. Atau penguraian. Atau proses perubahan energi dari suatu bentuk yang kompleks ke bentuk lain yang lebih sederhana. Intinya, proses perubahan jasad manusia menjadi tanah. Tujuan akhir kita semua.
Disebutkan, Agustus 2014, pakar forensik Prof Gulnaz Javan dari Alabama State University, Montgomery, Amerika Serikat, menerbitkan studi pertama tentang apa yang mereka sebut thanatomicrobiome. Kata 'thanatos' dari Bahasa Yunani berarti kematian. Prof Javan memimpin tim riset.
Prof Javan: “Semua sampel kami berasal dari kasus kriminal, atau yang diusut polisi. Ada bunuh diri, pembunuhan, overdosis obat, kecelakaan lalu lintas."
"Ini sulit. Sebab, harus seizin keluarga jenazah," ujarnya. Itu sebab, cuma dapat 11 mayat.
Diuji dalam dua cara. 1) Di tempat terbuka. 2) Dikubur. Pasti, di kedua tempat itu mayat sama-sama terurai.
Di tempat terbuka, mayat lebih cepat terurai. Karena faktor lalat. Bertelur. Telurnya jadi belatung. Dalam jumlah sangat banyak. Yang sangat rakus makan daging busuk.
Di dalam kubur, bakteri (mikroba) bersumber dari usus. Bakteri ini sudah ada (hidup) sejak manusia masih hidup. Aneka jenis bakteri. Belum pernah diteliti, berapa jenis bakteri di situ.
Diperkirakan ada puluhan jenis bakteri. Masing-masing jenis berjumlah miliaran. Total 10 triliun mikroba. Yang ketika manusia masih hidup, bakteri ini tidak menggangu kesehatan. Sama-sama hidup dengan manusianya. Makan dari makanan yang sama dengan manusianya.
Tapi, sejak empat menit dari saat manusia dinyatakan mati, bakteri mulai memakan jasad manusianya. Tentu, berawal memakan usus.
Tim peneliti menggambarkan, jutaan mikroba itu bekerja secara konsisten dan terukur. Memakan jasad. Mikroba bergerak serempak, harmonis dan ritmik. Tim peneliti menyebutnya: "Jam mikroba".
Dari situlah (juga) pakar forensik bisa memperkirakan waktu kematian jasad tersebut.
Tim peneliti menganalisis sampel organ dalam mayat, pada rentang waktu antara 20 sampai 240 jam (10 hari) sejak dari saat kematian. Bandingkan dengan kondisi jenazah Yosua, besok, sekitar 456 jam pasca kematian.
Ternyata, gerakan mikroba sudah keluar dari usus, kemudian memakan liver pada 20 jam pasca kematian manusianya. Liver, organ pertama di luar usus yang disasar mikroba.
Javan: “Tingkat penguraian (disebut juga pembusukan) tidak hanya bervariasi dari individu ke individu lain, melainkan juga berbeda pada organ tubuh yang satu dengan lainnya.”
Dilanjut: “Usus, liver, limpa, dan rahim, lebih awal membusuk. Sedangkan, ginjal, jantung, dan tulang lebih lambat membusuk.”
Proses mikroba memakan jasad, sekaligus otomatis memfermentasi glukosa (semula ada di dalam darah, kalau kebanyakan disebut diabetes). Proses fermentasi menghasilkan aneka gas: Metana, hidrogen, sulfida, amonia, semuanya menimbulkan tekanan otomatis.
Itu menyebabkan beberapa bagian tubuh melembung. Perut dan seluruh kulit. Gas mencari jalan keluar, dan yang terdekat, juga terempuk, adalah anus. Keluar dari situ. Kayak kentut.
Tapi volume gas masih banyak. Tidak bisa keluar semua lewat anus. Pada kurun waktu sekitar 1.440 jam, atau sekitar dua bulan, dari saat kematian, perut meletus.
Setelah perut meletus, proses penguraian jadi lebih cepat. Sebab 10 triliun mikroba itu dibantu oleh bakteri yang sudah ada di tanah. Jumlahnya tak terbatas. Persisnya, tak bisa dihitung manusia.
Meski disebut proses urai lebih cepat, tapi tidak setahun-dua tahun. Dijelaskan, tubuh manusia punya 200 tulang dan 37 triliun sel. Proses dekomposisi masih harus menempuh jalan panjang.
Tim pimpinan Javan tidak meriset sampai jasad berubah jadi tanah. Tidak. Cuma sampai setahun dari saat kematian manusianya.
Selewat setahun dari saat kematian, tim Javan mengurai begini. Berbentuk prediksi:
Satu tahun. Sejak saat kematian sampai setahun kemudian, segala sesuatu yang “menyelimuti” mayat di dalam kubur, seperti pakaian atau kain kafan, akan hancur dan hilang. Dimakan mikroba dan bakteri tanah.
Sepuluh tahun. Dengan kelembapan di lingkungan yang basah (karena tanah menyerap air hujan), serta rendahnya oksigen, akan muncul reaksi kimia yang mengubah lemak di paha dan bokong mayat menjadi zat seperti sabun. Warna kuning. Disebut "grave wax".
Lima puluh tahun. Jaringan tubuh mencair dan menghilang. Meninggalkan kulit serta tendon, yang seiring berjalannya waktu, juga akan musnah.
Delapan puluh tahun. Tulang pecah, karena kolagen mengalami korosi. Tersisa kerangka rapuh, mudah patah.
Seabad. Tulang-tulang rapuh yang tersisa, lebur jadi tanah. Tinggalah gigi dan sisa grave wax yang sudah kering.
Seratus sepuluh tahun. Musnah semuanya. Menjadi tanah.
Ada deviasi. Pada kondisi tanah tertentu, pemusnahan jasad lebih lambat dari 110 tahun. Terjadi pada penemuan fosil. Usianya bisa ribuan tahun. Tapi belum pernah ada riset gabungan geosains dan arkeologi, mengapa bisa begitu?
Prof Javan menutup dengan kalimat begini: "Tubuh manusia, bagaimanapun hanyalah sebentuk energi. Terperangkap dalam gumpalan materi. Yang menunggu untuk dilepaskan ke alam semesta, yang lebih luas."
Jenazah Yosua, pasti masih utuh. Cuma, bagaimana tim forensik meneliti, kemudian menyimpulkan, kemudian mengumumkan hasilnya. Bagaimana tim menjaga obyektivitas penelitian.
Terpenting, bagaimana hasil penelitian tim forensik itu, dikaitkan dengan bukti-bukti hukum lainnya, selain otopsi. Yang harus menghasilkan hubungan kausalitas obyektif.
OLEH: DJONO W OESMAN
Penulis adalah wartawan senior
Sumber: rmol