OLEH: AHMAD HANAFI*
DPR telah mengesahkan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) sebagai RUU usulan DPR pada Rapat Paripurna 14 Juni 2022.
Setelah melalui penyusunan sejak 2019 oleh Komisi VII dan harmonisasi oleh Badan Legislasi, RUU yang awalnya berjudul Energi Baru dan Terbarukan berubah menjadi Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Kehadiran RUU EBET ditunggu oleh seluruh stakeholders yang diharapkan nanti hadir sebagai undang-undang pelengkap dari kebijakan energi yang telah seperti UU Mineral dan Batubara, UU Minyak dan Gas, UU Ketenaganukliran dan UU Ketenagalistrikan.
Sementara itu, UU Energi yang ada memberikan kerangka hukum perencanaan energi nasional dalam instrumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED).
Sebagai calon dasar hukum bagi pengembangan energi terbarukan, EBET bermakna besar bagi masa depan Indonesia. Publik berharap semakin cepat disahkan oleh DPR, semakin lengkap pula kerangka hukum energi di Indonesia.
Sayangnya, dalam RUU EBET masih terdapat sejumlah materi yang mengganjal sehingga dapat menjebak Indonesia untuk tidak memprioritaskan energi terbarukan dalam rencana energi.
Energi baru dalam RUU EBET memunculkan problem karena memasukkan sumber energi nuklir dan batubara tercairkan/tergaskan sebagai bagian dari transisi energi terbarukan.
Kontroversi penggunaan nuklir sebagai sumber energi sudah muncul sejak pemerintah memutuskan hendak membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria pada 1985.
Hingga saat ini, masyarakat di wilayah Jepara dan Kudus, Jawa Tengah menolak rencana tersebut mengingat resiko yang sangat tinggi.
Kita seharusnya dapat belajar dari insiden kegagalan PLTN di sejumlah negara. Insiden di Fukushima, Jepang (2011), Kashiwazaki Kariwa, Jepang (2007), Forsmark, Swedia (2006), Chernobyl, Uni Soviet (1986) dan Three Mile Island, Amerika Serikat (1979), adalah bukti tak terbantahkan yang menunjukkan bahwa PLTN adalah teknologi yang berisiko tinggi.
Kegagalan pengoperasioan PLTN bersumber dari kesalahan manusia/human error (Chernobyl), kegagalan rancang bangun (Three Mile Island), dan bencana alam yang tidak mampu diprediksikan sebelumnya (Fukushima). (WALHI: 2011)
Tragedi Chernobyl adalah salah satu bencana lingkungan terburuk yang pernah terjadi, tidak hanya dihitung dari segi biaya, tetapi juga dari segi berbagai dampak yang ditimbulkannya. International Nuclear Event Scale (INES) mengukur bencana nuklir Chernobyl berskala 7, atau skala maksimum yang pernah terjadi. (DLHK Yogyakarta: 2022).
Secara ekonomi, sumber energi nuklir juga diperhitungkan tidaklah efisien. Indonesia memiliki cadangan uranium sekitar 70.000 ton dalam bentuk yellow cake (U3O8) yang kebanyakan berada di Kalimantan Barat, Papua, Bangka Belitung dan Sulawesi Barat.
Dari cadangan uranium terukur 1.608 ton yang dimiliki Indonesia hanya dapat memasok secara penuh kebutuhan bahan bakar PLTN selama 3 tahun. Jika hanya mengandalkan cadangan terukur, maka pada tahun keempat operasi PLTN harus mulai mengimpor uranium untuk memenuhi kebutuhan operasi PLTN. (Bastori dan Birmano: 2017).
Pembangunan PLTN sangatlah mahal. Dewan Energi Nasional merilis investasi untuk membangun PLTN berkapasitas 5.000 MW membutuhkan sekitar Rp 500 triliun atau setara dengan 35 miliar dolar AS (DEN: 2021). Meskipun nantinya pembangunan dan pengoperasian PLTN mengandalkan investasi swasta, namun dalam RUU EBET juga menuntut kontribusi pemerintah untuk mengelola limbah radioaktif dari PLTN (pasal 14 RUU EBET). Pemerintah tetap harus berkontribusi dalam skema pembangunan PLTN di atas.
Sementara itu, batubara dikenal sebagai sumber energi yang tidak ramah lingkungan. Institute for Essential Services Reform (IESR) melaporkan bahwa Selama 20 tahun, sektor energi menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia yakni sebesar 32 persen.
Dari jumlah tersebut, sektor pembangkit listrik terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara merupakan kontributor terbesar dari sektor energi. (IESR: 2021)
Adalah sebuah tantangan tersendiri bagi negara yang sedang mendorong transisi energi, seperti Indonesia, untuk mengatur bagaimana beralih dari energi fosil menuju energi terbarukan secara keseluruhan.
Langkah yang biasanya dilakukan oleh sejumlah negara adalah dengan efisiensi energi fosil, yaitu mengurangi penggunaan energi batubara untuk secara perlahan diganti dengan energi terbarukan.
Sementara itu, dalam draf RUU EBET masih mengandalkan energi fosil yang bersumber dari batubara sebagai energi baru dengan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO).
Perubahan dari batubara menjadi gas, cair dan metana dianggap setara dengan energi terbarukan. Upaya memasukkan jenis energi baru turunan batubara ini dianggap tidak sejalan dengan semangat untuk mencapai target dalam mengurangi emisi.
Perusahaan yang melaksanakan alih energi batubara (dari padat menjadi cair atau gas) memperoleh insentif fiskal beruba 0% royalty. Diperkirakan investasi gasifikasi batubara sebesar Rp 40 Triliun. Sementara nilai keekonomiannya rendah, karena mahal.
Pengolahan alih energi batubara berkalori rendah, minim peminat di luar negeri. Pasar terbesarnya ada di dalam negeri (TrenAsia: 2021). Jika tidak diantisipasi, subsidi akan terus membengkak di masa yang akan datang. Tapi bukan untuk energi terbarukan.
Dari sudut pandang dampak lingkungan dan efisiensi ekonomi di atas telah cukup memberikan gambaran, betapa energi nuklir dan batubara berbeda jenis dengan energi terbarukan. PLTA yang mengandalkan air untuk memutar turbin listrik, tentu lebih beresiko rendah secara lingkungan dibandingkan dengan energi nuklir.
Disamping itu, kerangka kebijakan bauran energi nasional juga didukung dalam UU Energi. Masuknya energi nuklir dan peralihan materi energi batubara ke cair dan gas tentu akan membuat kerangka hukum yang rancu dan berpotensi menimbulkan masalah hukum dan implementasi di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, sebaiknya DPR dan Pemerintah mempertimbangkan untuk menyelesaikan dua isu kontroversi itu secara partisipatif dengan mengajak berbagai kelompok kepentingan ke dalam perdebatan.
*(Penulis adalah Direktur Indonesian Parliamentary Center)