WANHEARTNEWS.COM - Peneliti Pusat Studi Islam dan Pancasila, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Nazar EL Mahfudzi menanggapi Juru Bicara MK Fajar Laksono yang mengatakan dua hal terkait keputusan mahkamah mempertahankan presidential treshold karena hingga saat ini belum ada sesuatu hal yang dianggap perlu diubah dari putusan sebelumnya.
“Pertama, itu dikaitkan dengan penguatan sistem presidensial. Kemudian penyederhanaan partai politik secara alamiah,” Kedua alasan itu, sambung dia, membuat permohonan sejumlah pemohon terkait gugatan presidential treshold hingga saat ini belum mampu membuat MK mengubah keputusan yang ada. Pernyataan Fajar Laksono dalam sebuah diskusi virtual, dikutip dari berita Tribunnews.com, Rabu (13/7/2022),
Nazar menilai pernyataan Fajar Laksono sebagai sikap politik Mahkamah Konstitusi yang berpotensi melawan kedaulatan rakyat. Terutama kebijakan mengenai ambang batas keterwakilan DPD RI yang bisa melebihi kepentingan koalisi Partai Politik (Parpol). Menurutnya, kedaulatan rakyat dapat tercermin dari lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mempunyai peranan strategis dalam pembentukan sistem politik yang demokratis dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan daerah.
“Dalam teori perwakilan, disebutkan bahwa :Professional politician as representatives in so far as educated elite (Heywood, 1999) dapat dimaknai sebagai praktek representasi rakyat di beberapa negara secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga sistem perwakilan, yaitu. perwakilan politik, perwakilan territorial dan perwakilan sistem fungsional.Pembentukan DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah merangkum konstitusi kedaulatan rakyat kepada tiga sistem perwakilan tersebut,” ujar Nazar.
Ditambahkan Nazar, praktek kenegaraan melalui sistem pewakilan dapat mereduksi aktualisasi kepentingan rakyat. Walaupun keterwakilan rakyat secara politis dinyatakan dalam bentuk partai politik, namun banyak organisasi massa dan rakyat tidak secara nyata terwakili. “Praktek di parlemen selama ini lebih berkembang pada format sistem perwakilan politik atau tepatnya partai politik. Keterwakilan melalui Parpol telah mengalami perubahan format lembaga legislasi melalui amandemen UUD 1945, bahwa pembentukan DPD merupakan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD,” sambungnya.
Ditambahkan Nazar, dengan struktur bikameral ini diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. “Sebuah langkah penguatan sistem perwakilan rakyat yang secara nyata cermin kedaulatalan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” sambungnya.
Nazar memaparkan representasi rakyat melalui salah satu sistem perwakilan rakyat bila dijalankan dengan baik maka akan mencerminkan arti demokrasi yang sesungguhnya. Hal ini akan membawa dukungan luas dari masyarakat karena merasa kepentingannya terwakili, dapat dibuktikan dengan pemilihan anggota DPD yang dilaksanakan melalui pemilu.
Kondisi objectif saat ini terdapat permasalah ambang batas presiden sebesar 20 persen yang telah beralih fungsi bukan sebagai keterwakilan masyarakat melainkan koalisi Parpol berbagi kekuasaan. “Saya mempertanyakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan gugatan DPD RI yang mempunyai fungsi legislasi dan representasi keterwakilan kedaulatan rakyat. Penolakan gugatan ini menyebabkan hilangnya hak konstitusional DPD dalam sistem keterwakilan dengan aturan ambang batas presiden melalui Parpol. Hilangnya kedaulatan rakyat karena hak konstitusi keterwakilan rakyat melalui DPD berubah menjadi sistem kepartaian yang lebih menekankan berbagi kekuasaan untuk dapat mencalonkan sebagai presiden,” tandasnya.