Sunnah Para Anbiya
(Para Dai antara Kewajiban Berdakwah dan Mempunyai Pekerjaan Lain)
Oleh: Fauzan Inzaghi
Selama aku belajar di Damaskus, semua pengajian yang aku ikuti di Damaskus baik itu umum maupun privat tidak ada satupun ustad yang meminta honor, bahkan sama sekali tidak menerima bayaran, malah kami para pelajar yang sering diberi bantuan oleh para Syaikh yang dikenal dengan nama "tauzi" kadang-kadang tauzi ini menjadi godaan tersendiri bagi para pelajar untuk hadir di pengajian kalau lagi malas, apalagi kalau sudah liat anak-anak Afrika ngumpul rame-rame itu menjadi tanda-tanda "tauzi" hahah, enak banget ya, udah dikasih ilmu, dikasih buku, diberi duit lagi. 😀
Dan banyak dari guruku yang aku kenal bahkan tidak mengambil honor mengajar mereka di kampus. Padahal itu hak mereka, dan agama nggak melarang. Tapi ini masalah prinsip. Mereka sama sekali tidak mau mengambil uang dari agama.
Bahkan lebih dari itu, sebagian mereka kadang berbelanja di tempat orang yang tidak mengenal mereka agar mereka tidak dapat diskon -karena orang menghormati mereka ketika tau bahwa mereka ulama lalu dikasih diskon-. Gak ada masalah dengan orang yang memberikan (diskon dll), tapi itu bagian dari prinsip mereka, dimana mereka tidak mau mengambil keuntungan apapun dari agama.
Terus darimana penghasilan mereka untuk menghidupi keluarga? Nah ini dia yang menarik, hampir semua mereka punya pekerjaan masing-masing. Menjadi dai itu mereka anggap kewajiban bukan pekerjaan, sedangkan untuk profesi mereka akan mencarinya diluar itu tergantung keahlian masing-masing.
Dimana sebelum terjun kedunia dakwah, biasa mereka fokus menguasai profesi mereka terlebih dahulu untuk menjalani hidup, ini juga membantu memperpanjang masa belajar dan thalib ilm, jadi ketika terjun ke Dunia Dakwah itu ketika benaran sudah matang, dan ini sangat membantu agar mereka tidak terburu-buru untuk berdakwah.
Syeikh Hani Syaal misalnya ustaz fiqh muqoran dan beliau bekerja sebagai penerjemah bahasa Prancis di kantor PBB di Damaskus itu di luar bisnis lain yang beliau lakukan. Lalu Syaikh Khair Syaal, dosen hadits yang setiap harinya beliau meluangkan waktu sekitar 4 jam untuk bekerja sebagai dokter gigi di klinik pribadinya, dan selebihnya untuk umat.
Syeikh Ali Malla misalnya, seorang dosen fiqh yang punya profesi sebagai pengacara. Syeikh Rusydi Qalam faqih syafi yang juga seorang pedagang grosiran yang cukup sukses, bahkan punya pabrik untuk bahan baku alat kecantikan yang akan diimpor ke Eropa. Ada juga Syeikh Samir Annas, ulama Alquran dan juga dokter bedah lulusan UK (Inggris) yang disela-sela prakteknya tetap mengajarkan murid-muridnya.
Lalu Syeikh Hasan Al-khiyami pakar ilmu kalam yang mempunyai klinik dan pusat riset dokter gigi yang menjadi salah satu yang terbesar di Damaskus. Syeikh Rajab Dieb ulama besar yang punya bisnis dan dagangan yang kata seorang murid beliau kekayaan beliau milyaran lira suriah, Syeikh Riyadh Oghli ustaz fiqh hanafi yang punya pabrik pembuatan kancing baju dan masih banyak ulama lain lagi.
Itu mungkin yang aku sebutkan adalah yang punya pemasukan banyak. Sebagian mereka juga ada yang penghasilannya pas-pasan, seperti jadi tukang perbaiki jam, ada yang jadi tukang bangunan, dst, tapi dalam belajar juga sama, tidak mengambil biaya apapun. Jadi sedikitnya penghasilan sama sekali bukan alasan, mereka tetap semangat mengajar kita, seolah tidak butuh sesuatu yang duniawi, kita bisa merasakan keikhlasan mereka, hampir semua guruku seperti itu, dan tentu guru orang lain juga. Dan tentu saja aku ingin seperti itu, semoga bisa tercapai.
Memegang prinsip ini ada banyak manfaatnya. Salah satu manfaatnya adalah menjaga wibawa seorang dai, diantara manfaatnya, mereka tidak bisa di iming-imingi dengan duit, karena mereka tidak butuh apa-apa dari umat selain kalian mau belajar agama saja, gak ada kepentingan duniawi yang mereka dapatkan dari mengajar agama. Dengan begitu orang yang mengambil ilmu dari mereka bisa merasakan langsung keikhlasan dan pengorbanan mereka untuk mengajarkan umat perkara agama mereka.
Dan ini juga menjaga mereka untuk terjauh dari fitnah, dan kita jadi tidak akan mendengar fitnah seperti kata-kata "dia itu berfatwa kayak gitu karena dikasih duit banyak sama orang kaya itu atau presiden itu", ini tidak mungkin terjadi, dan tentu bukan hanya itu, tentu ada banyak manfaat lainnya.
Aku tidak anti dengan pengajar agama yang mengambil gaji dari mengajar mengaji, itu dibolehkan syariat, bahkan kadang diwajibkan dalam beberapa keadaan, tapi ini lebih pada belajar untuk menjauh dari fitnah.
Ini bukanlah hal baru dalam Islam, bahkan sudah menjadi Sunnah Anbiya, hampir semua Nabi punya pekerjaan sendiri padahal waktu mereka dihabiskan untuk dakwah. Nabi Idris menjahit, Nabi Daud pandai besi, Nabi Zakariya tukang kayu, Nabi Muhammad pedagang, dll.
Karena itu para dai perlu untuk mengikuti sunnah para nabi, karena mereka adalah imamnya para dai dan sebaik-baik qudwah untuk para dai, termasuk sunnah memiliki pekerjaan diluar mengajar.
Wallahua'lam.
(fb)