OLEH: ZAINAL BINTANG
KETENTUAN presidential threshold atau ambang batas yang diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 mengharuskan jumlah perolehan suara partai atau gabungan partai yang digunakan untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2024 adalah 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional partai hasil pemilu legislatif periode sebelumnya (2019).
Ketentuan itulah belakangan ini menimbulkan berbagai gugatan di MK, namun mengalami kegagalan.
Seorang teman pakar komunikasi mengatakan, pasal itu adalah “kutukan”. Ambang batas tersebut dikualifisir sebagai “kutukan” karena telah membajak hak-hak konstitusional warga negara untuk berselancar di atas gelombang demokrasi yang disediakan reformasi. Kaku.
Malah berhasil membentuk kekuatan senyap khusus. Tidak terlihat, namun powerfull: oligarch (oligarki).
Diibaratkan sebagai praktik “shadow state” (pemerintah bayangan). Berkemampuan tinggi menentukan arah perjalanan demokrasi Indonesia secara politik maupun finansial (ekonomi).
Tradisi aneh itu bermula pada Pilpres 2019, dimana hasil kesepakatan fraksi-fraksi di DPR menetapkan perolehan suara partai yang digunakan untuk memenuhi ambang batas, wajib hukumnya, menggunakan jumlah perolehan kursi DPR hasil pemilu legislatif Pemilu 2014.
Alasannya, pelaksanaan pilpres dan pileg serentak pada April 2019. Oleh karena hari pemungutan suara Pilpres 2024 dilaksanakan (kembali lagi) serentak dengan pileg pada 14 Februari 2024, maka tradisi politik yang aneh itu kembali diperlakukan. Disebut “aneh” karena menggunakan “tiket” bekas pemilu sebelumnya.
Ruang kontestasi yang demikian sempitnya disambut gembira partai politik membentuk koalisi (kerjasama lintas partai). Koalisi adalah partai atau gabungan partai yang dibentuk dalam periode tertentu untuk tujuan politik bersama.
Di pemilu presiden, partai-partai politik berkoalisi untuk mencalonkan dan mendukung kandidat tertentu. Pada level pemerintahan koalisi merujuk pada partai-partai yang mendukung kerja-kerja pemerintah yang presiden dan wakil presiden terpilih melalui pilpres. Partai koalisi pemerintah bekerja dalam satu periode pemerintahan.
Koalisi terniscayakan sebagai saluran distribusi kekuasaan politik kepada presiden untuk membentengi diri dari gangguan pembantaian program pemerintah di parlemen (oposisi) namun sarat peluang terbukanya pintu transaksional: embrio pembusukkan demokrasi.
Ini adalah bagian tak terpisahkan dari tirani ranjau dari aturan ambang batas. Sebuah mekaniseme yang dinilai banyak pakar sama sekali tidak ada hubungannya dengan tujuan suci demkorasi.
Efek nikmat transaksional dari buah “kutukan” ambang batas itu, meninggalkan rakyat jauh dibelakang, di pinggiran tebing kebingungan. Sebaliknya memproduksi nikmat-nikmat sesaat tapi nyata, kepada semua elite politik di semua lini, eksekutif, legislatif dan yudikatif, wabilkhusus yang di naungi kubu koalisi.
Ditambah dua sang penikmat pendatang baru, -tapi sekaligus menjadi pelengkap penderita rakyat,- yakni tim relawan yang seringkali berganti kulit menjadi “buzzerr” alias pendengung. Plus lembaga survei spesialis pesanan.
Prof. Jimly Asshidiqie melalui percakapan WhatsApp mengatakan, ke depan ada efek yang berbahaya dari oligarki yang terlalu lama beroperasi dan seperti dibiarkan begitu saja oleh elite politik sebagaimana adanya.
“Ini bisa jadi 'the real oligarch' dengan tampilan baru”. Mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) itu menegaskan, kalau selama ini biasanya sang oligarch di mana-mana tampil di belakang layar. Kini di Indonesia”, katanya, malah muncul oligarch model baru.
Tampil di depan layar (televisi) dengan menggenggam empat cabang kekuatan sekaligus, yaitu (1) State, (2) Dunia Usaha, (2) Industri media dari hulu ke hilir dan (4) dengan mudah dapat menjadi ketua dewan pembina ormas-ormas civil society dengan cara menebar sumbangan.
Anggota DPD dapil DKI Jakarta itu mengatakan, “inilah yang saya namakan "new-totalitarianism" (totaliterianisme baru), - yang sejak 2016 sudah saya bahas dalam buku saya "Gagasan Konstitusi Sosial" (LP3ES, 2016) - sebagai "Quadru-Politica" dalam arti makro (outer structure of power) yang saya bedakan dari pengertian mikro “Quadru-Politica" (inner structure of power) yang meliputi cabang eksekutif, legislatif, yudikatif dan cabang campuran.
Lebih jauh Jimly mengatakan, “lihatlah betapa dia (totaliterianisem baru) itu, berhasil menyihir semua tokoh datang mengunjunginya, seolah dia saja yang kuat, penentu masa depan bangsa. Bayangkan seandainya presiden RI kelak sebagai kreasi oligarch depan layar (televisi) begini, akan tunduk cium kaki seminggu sekali selama 5 tahun”, tulis Prof. Jimly.
Dia pun menyebut sebagai perbandingan, dengan mengatakan dapat ditelaah juga mengenai pengusaha konglomerat lainnya. Sang konglomerat itu dalam pemantauan Jimly, juga telah berhasil menguasai industri media dari hulu ke hilir.
Sekarang juga membuat dan memimpin partai politik. Ujungnya dia tinggal sebar sumbangan ke ormas-ormas untuk jadi ketua dewan pembina. “Fenomena ini merusak demokrasi," tandas mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) itu.
Sebelum menutup percakapan itu, Prof Jimly berpesan, “mesti dikendalikan dengan kebijakan larangan konflik kepentingan dengan kuat. Agar 'neo-totalitarisme' semacam itu tidak berkembang makin luas. Ini lebih dahsyat bahayanya dari apa yang digambarkan Sheldon Wolin sebagai 'inverted totalitarianism' (totalitarianisme terbalik) dalam bukunya Democracy Incorporated, 2008," tegasnya.
“Totalitarianisme terbalik” adalah istilah yang diciptakan filsuf politik dan ahli teori politik Amerika dan penulis tentang politik kontemporer, Sheldon Wolin pada tahun 2003, - untuk menyebut bentuk pemerintahan Amerika Serikat masa kini. Wolin percaya bahwa Amerikat Serikat sedang berubah menjadi negara demokrasi illiberal.
“Totalitarianisme Terbalik” didefinisikan sebagai sistem demokrasi yang didominasi dan dipelintir oleh perusahaan, sehingga ekonomi lebih berkuasa daripada politik.
Sumber daya alam dan makhluk hidup mengalami komodifikasi dan eksploitasi, sehingga warga negara dapat dibodohi dan dimanipulasi agar menyerahkan kebebasan serta partisipasi politiknya melalui konsumerisme dan sensasionalisme berlebihan.
Ketika akan mengakhiri tulisan ini, kecemasan Prof. Jimly Asshidiqie memantul-mantul dalam pikiran.
Tidakkah kecemasan itu juga sudah menggenangi perasaan masyarakat Indonesia yang tengah kebingungan kehilangan pemimpin sejati yang Pancasilais, akibat tirani ambang batas: sumber mata air politik kegelapan demokrasi?
(Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya)