GELORA.CO -BBM (Bahan Bakar Minyak) melonjak naik resmi diumumkan pada 3 Septemper 2022 akhir pekan lalu. Pemerintah menyebut kenaikan BBM dikarenakan selama ini BBM bersubsidi tidak tepat sasaran.
Pasalnya Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut angka 80 persen penggunaan Pertalite oleh orang-orang yang mampu, dan hanya 20 persen digunakan oleh orang-orang miskin.
Namun pertanyaan sederhana adalah, apakah dengan kebijakan BBM naik hingga mencapai angka 31 persen untuk Pertalite, 14 persen untuk Pertamax, dan Solar 25 persen ini tepat sasaran?
Bila merujuk pada tweet Pak Jokowi yang mengatakan bahwa Rp 502 triliun yang dialokasikan untuk BBM bersubsidi yang harusnya diprioritaskan untuk masyarakat kurang mampu.
Akan tetapi pada faktanya, 70 persennya justru dinikmati oleh masyarakat mampu. Namun anehnya lagi-lagi, apakah dengan menaikkan harga BBM adalah kebijakan yang tepat sasaran?
Menaikkan harga BBM sebagai solusi dari problem tidak tepat sasaran sebetulnya justru tidak nyambung, terkesan memaksakan, gegabah, bahkan tidak memikirkan efek domino yang justru hadir pasca kenaikan BBM.
Bila dilontarkan pertanyaan apakah dengan harga BBM yang melonjak tinggi, lantas BBM bersubsidi dapat dinikmati oleh orang-orang yang tidak mampu saja?
Jawabannya tentu saja tidak, sebab selama ini sistem penerimaan subsidi BBM di SPBU masih saja menggunakan sistem subsidi inklusif atau terbuka, hanya bersandar pada kesadaran dan inisiatif. Kesadaran bersifat relatif kadang dapat menjadi daya kontrol namun justru seringkali sebaliknya menjadi faktor utama kelalaian.
Bila merujuk 70 persen masyarakat mampu yang menikmati subsidi BBM, maka masyarakat mampu yang mana yang dimaksud oleh Pak Jokowi ataupun Menkeu? Bila berdasarkan data BPS tahun 2021 (Badan Pusat Statistik) masyarakat tidak mampu adalah mereka yang memiliki pendapatan 472.525 per bulan.
Artinya masyarakat yang menengah ke bawah di antaranya tukang ojek online, sopir truk, supir angkot dan sebagainya yang mereka memiliki pemasukan rata-rata perbulan Rp 500.000- Rp 1000.000 dengan tanggungan istri dan 3-4 orang anak yang masih sekolah tetap dibilang masyarakat mampu yang tak berhak menikmati BBM bersubsidi?
Tentu saja istilah tidak tepat sasaran adalah istilah yang menyakiti, artinya standar masyarakat mampu yang menikmati BBM bersubsidi dikonversikan hingga mencapai 80 persen pada keterangan Sri Mulyani bisa jadi di antaranya adalah mereka yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot, sopir truk, ataupun rakyat yang menengah ke bawah lainnya.
Selanjutnya apabila istilah tidak tepat sasaran kemudian digunakan sebagai dalil kenaikan harga BBM, maka ini alasan yang tidak nyambung bahkan terkesan terlalu memaksakan, mengapa?
Bila alasannya tidak tepat sasaran, maka yang dilakukan pemerintah bukan justru menaikkan harga BBM yang akan berimbas pada kenaikan harga bahan baku lainnya, akan tetapi memperbaiki sistem administrasi kependudukan guna mereduksi kesalahan alokasi bantuan/subsidi pada rakyat yang mampu, bukan justru menaikkan harga BBM yang mengakibatkan kemiskinan makin merebak.
Yang terdampak bukan saja pada masyarakat mampu, tentu saja yang terkena dampak termasuk mereka para ojek online, supir truk, kurir, serta angkutan umum lainnya.
Mirisnya istilah tidak tepat sasaran tidak digunakan pada proyek IKN dengan pengeluaran hingga mencapai Rp 486 triliun atau proyek kereta cepat dengan 114 triliun.
Apakah rakyat yang tidak mampu turut merasakan dampak dari IKN ataupun kereta cepat? Atau justru oligarki yang turut merasakan dan menikmati hasil dari proyek pesanan tersebut?
Mereka yang bukan saja mampu bahkan menunggangi otoritas pemerintahan lewat kebijakan yang menguntungkan mereka.
Lagi-lagi problem ini memang tidak lepas dari pengaruh kuat pada sistem ideologi rezim, contoh pada perkara tidak tepat sasaran misalnya lahirlah definisi rakyat mampu dan tidak mampu, definisi beban ataupun pengeluaran.
Contoh pada klasifikasi rakyat mampu dan tidak mampu lahirlah kebijakan subsidi dan non subsidi, mengalihkan fungsi pemerintah yang seharusnya, bukan saja sebagai regulator, bahkan harusnya pemerintahlah yang menanggung kebutuhan pokok rakyatnya. Akan tetapi produk ideologi kapitalisme lagi-lagi membagi dua sisi mata uang berbeda, ada untung ada juga rugi.
Pada urusan ini bukan saja missfungsi pemerintah sebagai subjek yang kita anggap sebagai human error karena kelalaian belaka akan tetapi ada faktor yang lebih besar yakni sistem dan pemikiran yang membelenggu para pemangku kebijakan.
Pada hakikatnya, pemerintah menanggung kebutuhan rakyatnya, terlepas mampu ataupun tidak mampu. Dalam konsep kepemimpinan islam misalnya, seorang khalifah wajib menanggung kebutuhan pokok rakyatnya lewat kebijakan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyatnya, meliputi sandang, papan, pangan, juga pendidikan dan kesehatan.
Maka tak khayal pada masa kegemilangan peradaban islam banyak berdiri sekolah-sekolah gratis, rumah sakit gratis, hingga berbagai pelayanan publik lainnya secara cuma-cuma, tidak berbayar tidak pula mengejar profit. Karena pelayanan tersebut tidak lain adalah kewajiban negara.
Pelayanan tersebut tidak hanya untuk masyarakat yang tidak mampu akan tetapi masyarakat mampu juga berhak mendapatkan pelayanan yang telah disediakan oleh khalifah.
Selanjutnya mengenai istilah tepat sasaran, maka muncul klasifikasi lagi yang terbagi menjadi beban dan pengeluaran. Dalam penulisan jurnal pengeluaran perusahaan, misalnya terdapat biaya pengeluaran, biaya pengeluaran diidentifikasikan pada pengeluaran yang berdampak langsung pada pendapatan antara lain modal bisnis dan biaya proses bisnis lainnya.
Contohnya pembelian bahan baku. Berbeda dengan beban, beban sendiri identik dengan pengeluaran yang tidak berdampak langsung pada pendapatan bahkan mengakibatkan penyusutan nilai aset.
Sebutlah pembagian dalam konsep pengeluaran dan beban terbagi menjadi: pengeluaran yang menguntungkan ataupun pengeluaran yang merugikan.
Maka dari silmulasi tersebut, kita dapat proyeksikan dalam bentuk paradigma negara. Contoh pada kasus kenaikan BBM, Pak Jokowi menyebutkan bahwa Rp 502 triliun sebagai dana yang dialokasikan untuk subsidi BBM, termasuk gas dan listrk merupakan beban APBN.
Jelas sekali hal ini sama saja mengartikan rakyat adalah beban, mengapa? Karena bagi pemerintah Rp 502 triliun adalah pengeluaran yang mengakibatkan penyusutan aset yang terindikasi merugikan.
Berbeda dengan kereta cepat atau bahkan IKN, mereka tentu akan menyebut ini bukan merupakan beban, akan tetapi pengeluaran. Karena bagi mereka, proyek tersebut menimbulkan profit dan dinikmati oleh mereka para oligarki yang anggap tepat sasaran.
Lantas bagaimana dengan kompensasi guru honorer? Uang pensiunan? Apakah juga disebut sebagai beban? Tentu saja semua berangkat dari sistem ideologi yang dianut oleh negara.
Bila negara menganut sistem kapitalisme, maka mereka akan memandang tugas negara bukan tentang melayani rakyat, tapi tentang meraih profit. Bila mengurusi hak rakyat itu merugikan negara, maka tentu saja negara akan berdalih dengan istilah tidak tepat sasaran ataupun dalih-dalih lainnya.
Perkataan Pak Jokowi yang mengatakan bahwa biaya subsidi BBM selama ini adalah beban APBN membuktikan bahwa paradigma negara yang pemerintah yakini selama ini adalah negara milik oligarki. Kalau mereka meyakini bahwa negara milik rakyat, maka tidak mungkin biaya yang dikeluarkan untuk rakyat mereka sebut beban.
Maka kesimpulannya, selama ini pemerintah meyakini bahwa negara bukanlah miliki rakyat melainkan milik para oligarki. Mengapa? Pada nyatanya mereka menganggap biaya yang harus ditanggung negara untuk memenuhi hak rakyat mereka sebut beban sedangkan proyek-proyek oligarki mereka tidak akan menyebutnya sebagai beban.
Wallahu A’lam Bisowab.
(*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ)