Menanggapi Kembali Tanggapan Irjenpol M.Arief Pranoto atas Tulisan Gde Siriana Yusuf (GSY) di Koran Tempo edisi 1 September 2022 berjudul "Rekonstruksi Sambo dan Supra Power di Kepolisian
Saya sangat respek dengan tanggapan Irjenpol M. Arief Pranoto, meskipun saya perlu membaca berkali-kali agar dapat memahami cara berpikirnya terutama untuk mengetahui bagian mana yang relevan atau tidak dengan artikel saya. Setidaknya saya memahami standing beliau yang lama berpengalaman di Lemdiklat POLRI.
Berikut tanggapan saya menggunakan nomor agar mudah di tracing.
1. Menghadirkan film tentang polisi korup di bagian awal artikel saya bukan untuk merelavankan cerita film tersebut dengan kasus Sambo. Thema polisi korup itu bukan tentang polisi yang korupsi, tetapi tentang Bad Cop. Saya ingin mengkonfirmasi bahwa di masyarakat, di belahan dunia manapun, selalu ada persepsi negatif tentang polisi. Ini hal yang wajar dan alamiah. Semua institusi negara yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, yaitu misalnya Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, PLN, PAM, Rumah Sakit, Transportasi, pasti dengan mudah dan cepat dapat diamati dan dinilai oleh masyarakat. Misalnya sampai hari ini anekdot yang sering muncul di masyarakat seperti "Lapor kehilangan ayam malah hilang sapi" atau "Polisi baik hanya Hoegeng dan Polisi Tidur" merupakan internalisasi dari pengalaman dan pemahaman masyarakat selama berhubungan dengan institusi POLRI.
Film-film tersebut tentu saja bukan hayalan atau halusinasi sutradara atau produser film, tetapi terinspirasi oleh peristiwa nyata atau persepsi publik. Bahkan sebenarnya masih ada lebih banyak lagi film yang mengisahkan polisi korup di banyak negara seperti "Bad Cop" dan "Untouchable" yang mengisahkan hubungan transaksional antara polisi dengan kartel narkoba dan mafia Sicilia. Jadi angle film di awal artikel masih relevan dengan judul artikel saya.
2. Saya tidak pernah mengatakan Kepolisian dihancurkan atau dihilangkan jika itu maksud dari "lumbung padi dibakar". Tetapi dengan analogi yang disampaikan Irjenpol Arief, saya justru tertarik untuk menganalogikan perbaikan atau bersih-bersih POLRI dengan "Lumbung padi tidak perlu dibakar, tapi lubang2 tempat tikus keluar masuk mencuri padi perlu ditambal", yang artinya institusi mau tak mau, suka tak suka, memang perlu diperbaiki.
Dengan demikian masyarakat berharap kasus Sambo ini bukan berhenti di dalam sistem peradilan saja, tetapi menuntut improvement thdp POLRI. Mungkin Irjenpol Arief belum memahami otokritik Kapolri Sigit, "Ikan Busuk di mulai dari Kepalanya." Jelas ini menunjukkan bahwa persoalan bukan pada level oknum anak buah semata, tetapi pada pimpinan-pimpinan atau pengambil keputusan. Jelas ini merujuk perbaikan organisasi. Terkait itu tentu masyarakat mengharapkan Kapolri Sigit konsisten dan konsekuen dengan ucapannya sendiri.
3. Satgassus memang non-struktural, tetapi dijalankan dan dikendalikan oleh orang-orang struktural. Jadi melihat Satgassus jangan terpisah dari struktur Polri, seakan-akan tidak ada kepentingan di sana.
4.Saya tidak percaya Satrio Piningit seperti dipercaya Irjenpol Arief. Bagi saya, perubahan di tubuh Polri adalah hasil dari peran agen di dalamnya, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ini bukan saja pertarungan gagasan tetapi juga pertarungan kekuatan. Itulah mengapa Giddens menjelaskan bahwa antara agen/aktor dan struktur terjadi hubungan dialektis yang saling mempengaruhi dalam proses produksi dan reproduksi agen dalam sistem. Tentu saja kita boleh tidak setuju dengan pendapat Giddens, tetapi teori Strukturasi nya adalah hasil penelitian terhadap fakta empiris, bukan hasil penantian munculnya Satrio Piningit.
Dan saya menggunakan istilah Supra-Power untuk memperkaya gambaran tentang perilaku agen/aktor dalam pandangan Giddens. Supra-power ini berbeda dengan Super-Power. Dalam institusi POLRI, Kapolri sebagai agen yang memiliki kekuasan Super-Power. Sedangkan seorang Sambo yang mampu mengorganisir angota polisi lainnya di lintas divisi, atau bahkan mampu mempengaruhi institusi lain, dikatakan memiliki supra-power, yaitu kekuatan atau kekuasaan yang melampaui kewenangannya dalam posisi strukturalnya. Mohon maaf, jika diksi ini belum pernah ada di Google.
Selain pendapat Giddens, struktur atau organisasi juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Dunia hari ini sudah berubah. Bentuk-bentuk kejahatan juga berubah. Jadi mau tak mau organisasi kepolisian perlu melakukan improvement agar selalu dapat memenuhi dan menjalankan peran yang diharapkan masyarakat. Misalnya menjadi polisi yang profesional akan lebih mendapatkan simpati dibandingkan terseret dalam urusan-urusan politik.
Dan yang paling menentukan adalah situasi politik ke mana arah angin political will kekuasaan berhembus. Dicabutnya Dwi Fungsi ABRI, bergesernya kedudukan MPR adalah contoh perubahan organisasi akibat perubahan politik. Jadi apakah itu namanya bersih-bersih, perbaikan, atau reformasi POLRI (bagi saya tidak penting istilahnya) akan sangat ditentukan oleh situasi politik hari ini atau esok.
5. Yang terakhir, apapun yang saya sampaikan dalam artikel tersebut, semata-mata karena perhatian, dan keprihatinan saya, terhadap semua institusi negara bukan hanya POLRI, bilamana intisusi negara dijadikan alat untuk melakukan atau menutupi kejahatan terhadap kemanusiaan, siapapun korbannya. Dan tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Irjenpol Arief Pranoto, saya berharap ada diskusi publik yang lebih obyektif tanpa mengedepankan subyektifitas atau kepentingan sebagai anggota POLRI.
Wassalaam,