OLEH: FURQAN JURDI*
KONSTITUSI Negara demokratis tidak menjamin pemerintahan yang terbuka dan demokratis. Banyak contoh yang dapat kita lihat gejala kebangkitan otoritarianisme dalam negara demokrasi.
Sebuah buku yang menarik ditulis oleh Daniel Ziblet dan Steven Levistky yang berjudul "How Democracy Die?", membuka pikiran kita bahwa demokrasi bisa mati dari pemimpin yang dipilih secara demokrasi.
Kajian itu bermula pada orang baru yang muncul dan menjadi populer. Sosok populis ini menyulap citra menjadi angka elektabilitas. Kehadirannya menyingkirkan ketenaran politisi lama dan elite-elite mapan. Untuk pertama kalinya dianggap sebagai penyelamat, wong ndeso dan anak gorong-gorong.
Dengan komitmen demokrasi yang belum teruji, tokoh populis ini menaiki gelanggang politik. Para elite mapan gagal menangkap gejala otoritarianisme dibalik jubah pendatang baru ini.
Mereka mengira bahwa kemunculan orang baru itu mampu mereka kendalikan (seperti Boneka). Lalu dengan cepat mereka memberikan legitimasi politik dengan menyiapkan kendaraan politik.
Namun pada tahap selanjutnya kita saksikan, bahwa populisme telah menciptakan para tiran. Kita dapat belajar pada tiga pemimpin dalam penilaian yang sama: pembunuh demokrasi. Hitler, Mussolini, dan Hugo Chavez.
Mengapa mereka sama? Sebab mereka muncul dari kegagalan politisi lama. Dan ketiga orang ini memiliki kesamaan, yaitu: menolak aturan main demokrasi dengan kata dan perbuatan. Lalu menyangkal legitimasi lawan. Juga mendorong kekerasan. Dan terakhir membatasi kebebasan.
Tipe pemimpin semacam ini akan mudah saja untuk memberedel pers, menawan para kritikus, merusak lembaga-lembaga negara hingga mendeligitimasi panitia pemilu.
Tipe otoritarianisme yang seperti Hitler, maupun Mussolini, muncul agak lebih cepat dari operasi wacana perpanjang masa jabatan presiden. Otoritarianisme itu terlihat dari penutupan acara Indonesia Lawyers Club, bukti nyata adanya pemberedelan terhadap kebebasan pers. Pembungkaman terhadap aktivis terlihat secara nyata dengan ditangkap dan di penjaranya Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat.
Dalam rangka untuk menekuk para tokoh Islam, maka Habib Rizieq dipenjara. Semua langkah itu adalah sebagai kata pengantar untuk memperlihatkan kebengisan dan kekejaman.
Supaya apa? Supaya setiap orang yang mencoba ingin melakukan hal yang sama tidak berani melakukannya.
Apakah itu otoriter? Ya! Sebab pembungkaman kebebasan, represifitas terhadap aktivis dan Mahasiswa terjadi menyeluruh dalam berbagai aksi demonstram. Sehingga indeks demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang cukup signifikan pada 2021.
Indonesia mengalami penurunan Index pada angka 6,70 dari skor 1-10. Sementara pada tahun 2022 ada peningkatan, Indonesia meraih 6,30. Negara demokrasi ke 52 dari 167 negara.
Kondisi negara yang demikian merosot dengan tingkat ekonomi masyarakat yang semakin sulit mengingatkan kita pada suatu keadaan dimana para tiran akan rontok sekuat apa pun dia mengcengkram kekuasaan, kalau sudah terjadi gejolak maka akan berakhir jua.
Seberingas apa pun Dia, ketika krisis sudah tiba, muka kekuasaan beringas akan menjadi mainan kaum pergerakan.
Upaya Menyempurnakan Penguasa Tiran
Tetapi kita patut heran sekaligus geram, ketika situasi negara dalam keadaan yang cukup sulit, Relawan Jokowi justru mengajak Presiden untuk berkuasa lebih lama. Meskipun konstitusi sudah membatasi, tapi hasrat untuk menciptakan pemerintahan tiran terus digelorakkan.
Jelas, tiga periode bukanlah wacana Demokrasi konstitusional. UUD 1945 sudah mengatur secara eksplisit bahwa masa jabatan presiden dan wakil Presiden hanya dapat dipegang selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Begitu ketentuan Pasal 7 UUD 1945. Tidak ada tafsiran lain. Jabatan itu oleh Mahkamah Konstitusi diperkuat lagi dalam putusannya yang mengatakan, bahwa baik berturut-turut maupun berjeda, Jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dipegang dua kali (dua periode) oleh seseorang.
Berdasarkan ketentuan itu, tidak ada celah konstitusional apapun untuk mengusulkan Presiden tiga periode sepanjang UUD 1945 hasil perubahan masih berlaku dan belum diubah.
Jadi wacana itu secara jelas dan terang menghina konstitusi dan demokrasi.
Namun sayangnya, keinginan untuk mewacanakan Jokowi tiga periode belum juga surut. Dan lebih gilanya, Presiden yang seharusnya mencontohkan ketaatan pada konstitusi justru mengatakan itu adalah demokrasi.
Tidak ada demokrasi tanpa hukum dan kehendak daulat rakyat. Jelas Relawan yang mengusulkan tiga periode adalah tindakan makar terhadap konstitusi. Relawan bukan satu-satunya entitas yang bisa mewakili rakyat. Dan relawan bukanlah konstitusi.
Konstitusi adalah apa yang telah menjadi kesepakatan yang tertuang dalam UUD 1945. Presiden yang meamini kata relawan sebagai bagian dari demokrasi adalah Presiden yang mengkhianati konstitusi.
Desakan kuat untuk mendorong Jokowi menuju tiga periode adalah upaya makar terhadap konstitusi dan kedaulatan rakyat. Sebab konstitusi tidak memberi peluang untuk itu, sementara rakyat menghendaki Presiden itu tidak menjabat terlalu lama.
"Kalau terlalu lama ia akan menjadi tiran", kata Dr. Margarito Kamis. Dan semua tiran di dunia, bekerja dengan dua cara, libas lawan dengan senjata dan hukum.
Kita tidak ingin ada tiran-tiran yang lahir dari proses demokrasi seperti sejarah Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia.
Dua tiran besar itu lahir dari sistem demokrasi dan mereka dipilih dengan konstitusi demokrasi. Tetapi karena mampu mencitrakan diri sebagai penguasa yang beringas dan kejam, maka mereka menggunakan itu untuk merubah aturan main konstitusi.
Kekuasaan telah membutakan mata para tiran ini. Mereka mencoba menulis ulang konstitusi sesuai kehendak mereka, lalu menjadikannya sebagai teks untuk melegitimasi kekejian dan kebringasan mereka.
Para tiran tidak selalu lahir dari juncta militer seperti di Myanmar. Otoritarianisme bisa lahir dari produk demokrasi.
Dan di Indonesia, produk demokrasi yang mencoba mengulangi sejarah itu adalah Relawan Jokowi. Mereka ingin menjebak Jokowi pada pikiran yang salah, yaitu memberikan pujian dan kekuasaan secara terus-menerus.
Entah apa di balik ini wallahu alam. Tapi apa yang mereka usulkan berbahaya bagi demokrasi dan berbahaya bagi konstitusi.
Sejarah kelam para tiran harusnya menjadi pelajaran. Karena ingin menjadi presiden seumur hidup Soekarno berakhir dengan tragis. Soeharto, karena berkuasa terlalu lama akhirnya dipaksa oleh rakyat turun. Itu sejarah yang terjadi.
Tetapi sejarah juga memperlihatkan bagaimana negeri para tiran hancur berantakan. Kekuasaan Hitler yang kelihatan abadi, binasa dengan ambisi. Begitu juga kekuasaan Mosalini dan banyak lagi para tiran yang terpelanting akibat ambisinya sendiri.
Apakah Relawan Jokowi ingin menjebak Presiden berkuasa panjang, menjadi tiran dan berakhir tragis? rmol.id
*(Ketua Umum Pemuda Madani)