WANHEARTNEWS.COM - Suksesi atau pemenangan peserta Pemilu Serentak 2024, baik capres dan cawapres maupun caleg dari tingkat pusat hingga daerah, akan diwarnai laporan dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Begitu prediksi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Puadi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (24/9).
Mantan anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta ini menjelaskan, maraknya dugaan pelanggaran netralitas ASN juga terjadi pada Pilkada Serentak 2020 lalu.
Menurutnya, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada pemilihan pemimpin daerah itu bisa menjadi satu tanda terkait potensi yang sama bisa terjadi pada Pemilu 2024 mendatang.
"Hal tersebut memberi gambaran persoalan netralitas ASN bisa terulang kembali pada pemilu dan pemilihan," ujar Puadi.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi ini menjelaskan, data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), pada Pilkada 2020 terdapat 917 pelanggaran netralitas ASN.
Rincian dari dugaan pelanggaran tersebut yakni, 484 kasus memberikan dukungan kepada salah satu paslon di media sosial. Sedangkan 150 kasus menghadiri sosialisasi partai politik.
"Kemudian, 103 kasus melakukan pendekatan ke parpol. Sebanyak 110 kasus mendukung salah satu paslon, dan 70 kepala desa mendukung salah satu paslon," ungkapnya.
Di samping itu, Puadi mengakui bahwa Bawaslu menemui kesulitan untuk menindak pegawai pemerintah non ASN yang kerap dimobilisasi oleh kepentingan politik tertentu saat pesta demokrasi.
"Hal tersebut merusak upaya Bawaslu dan pemangku kepentingan lainnya dalam upaya menegakkan netralitas ASN," cetusnya.
"Maka harus ada sinergitas kolaborasi bersama pemerintah, Komisi ASN, Kemendagri, KemenpanRB, BKN serta Pemda yang berkaitan. Hal itu demi menjaga kualitas pemilu yang integritas dari sisi proses dan hasil," sambungnya.
Lebih lanjut, Puadi memastikan sinergitas Bawaslu bersama sejumlah lembaga telah dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Netralitas ASN bersama Kemendagri, KemenpanRB, KASN, dan BKN, yang telah ditandatangi pada Kamis lalu (22/9).
"Mahasiwa bisa membaca pedoman tersebut, bahwa ASN tetap memiliki hak untuk memilih, tetapi haknya dibatasi. Harus menjaga dan menyalurkan hak politiknya. Tidak boleh umbar aurat politik sembarang tempat," tandasnya.
Sumber: rmol