Oleh Gde Siriana Yusuf
Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) dan penulis buku Keserakahan di Tengah Pandemi
Rekonstruksi kasus pembunuhan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J pada Selasa, 30 Agustus lalu telah menyedot perhatian publik. Rekonstruksi adegan per adegan itu mengingatkan kita pada kisah polisi korup yang banyak digambarkan di berbagai film layar lebar di berbagai negara. Hollywood, misalnya, memproduksi film The Departed (2006) yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Matt Damon. Bollywood punya film terkenal Zanjeer (1973) yang dibintangi Amitabh Bachchan. Hingga drama Korea Taxi Driver yang viral pada 2021 yang menceritakan korban salah tangkap oleh polisi berdasarkan kisah nyata.
Dunia film Indonesia tampaknya masih terlarang untuk mengangkat kisah-kisah nyata yang terkait dengan institusi negara yang korup, meskipun itu nyata ada dalam keseharian kita. Tetapi, dalam hampir dua bulan terakhir kita disuguhi reality show yang menjadi tontonan menarik di seluruh pelosok negeri.
Drama pembunuhan Brigadir Yosua berpusat pada mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI (Polri) Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, beserta ajudannya. Mereka bagaikan pemain utama dan pemain pendukung dalam sebuah film genre drama-thriller, kisah pembunuhan yang disertai bumbu-bumbu asmara.
Episode awal yang menampilkan adegan tembak-menembak mampu mengecoh pikiran penonton tentang kematian seorang ajudan bernama Brigadir Yosua. Di episode berikutnya penonton akhirnya mengetahui bahwa Brigadir Yosua mati terbunuh dieksekusi atasannya beserta para ajudan lainnya. Rekonstruksi adegannya memikat publik, meskipun dari 78 adegan yang ditampilkan tidaklah memperjelas apa motivasi sesungguhnya yang mengakhiri hidup Brigadir Yosua. Ini seperti halnya plot hole dalam film-film horor yang seringkali ada adegan yang hilang sehingga penonton menjadi penasaran dan menunggu hingga akhir film.
Drama-thriller kasus Sambo dapat dikatakan ingin memindahkan apa yang dikatakan Anthony Giddens dalam teori "strukturasi" ke dalam format audio-vizual dengan obyeknya institusi kepolisian. Kemampuan Sambo dalam mengorganisasi polisi-polisi di berbagai divisi untuk mendukung skenario kejahatan menjadikan perannya sebagai tokoh antagonis yang sentral.
Teori strukturasi menekankan pentingnya aktor atau agen (Giddens, 1984). Aktor bukan semata menjadi mesin yang dikendalikan struktur tetapi juga memiliki dorongan besar dari motivasi si aktor. Dengan demikian, aktor memiliki kemampuan untuk mempengaruhi atau bahkan menentukan struktur untuk diri mereka sendiri. Misalnya, ungkapan "mabes di dalam mabes", seperti yang disinggung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD soal kasus Sambo, barangkali cocok dengan penjelasan Giddens tersebut. Adanya Satuan Tugas Khusus Merah Putih, yang memiliki keistimewaan di antara subsistem Polri lain, merupakan akibat dari campur tangan agen atau aktor dalam proses produksi dan reproduksi sistem. Agen tidak saja menafsirkan perilaku aktor lainnya tetapi juga menyesuaian diri terhadap situasi tertentu serta melakukan rasionalisasi dan memberikan alasan atas tingkah lakunya.
Dalam hal ini, seorang polisi, dan juga pejabat negara lain, dapat disebut memiliki "supra-power". Istilah ini saya gunakan dalam disertasi yang sedang saya susun untuk menggambarkan kemampuan aktor yang melampaui batas kewenangan dalam posisi strukturalnya.
Dalam praktik birokrasi di Indonesia hari ini, kemampuan supra-power juga ditunjukkan oleh beberapa pejabat teras yang sangat dikenal oleh masyarakat. Aktor atau agen yang dibesarkan oleh sistem yang korup akan memiliki kemampuan supra-power dan cenderung akan mengkoptasi sistem, ibarat memelihara anak macan di dalam kandang sapi.
Giddens (1984) juga menjelaskan bahwa agen atau aktor diproduksi dan terus menerus direproduksi setiap hari dalam ruang dan waktu. Proses reproduksi tersebut dapat dilihat dari perilaku oknum dalam aktivitas sehari-hari, mulai dari menerima suap tilang di jalan raya hingga merekayasa kasus kriminal. Hal itu telah menjadi pengetahuan umum masyarakat dan diinternalisasi ke dalam suatu sistem sosial. Masyarakat juga memandang perilaku tersebut telah tersebar di semua struktur organisasi kepolisian.
Persepsi dan pengetahuan publik terhadap sisi negatif polisi barangkali sudah mengalami internalisasi di masyarakat. Ini tidak saja terjadi di Indonesia tapi juga di banyak negara, terutama negara-negara yang penegakan hukum dan masyarakat sipilnya masih lemah.
Dalam ruang dan waktu, kekuatan struktur dalam sistem kemudian diteguhkan dan dijalankan dalam praktik yang mengukuhkan sistem tersebut. Misalnya, polisi muda, yang di masa pendidikan diajari tentang nilai-nilai pelayanan masyarakat, barangkali akan mengalami kebingungan jika sejak perekrutan telah menempuh cara-cara tidak jujur seperti menyuap agar diterima di pendidikan kepolisian. Lalu, dalam perjalanan karirnya, dia mungkin akan mencontoh perilaku buruk para senior dan atasannya.
Drama-thriller Sambo ini masih menanti episode berikutnya. Penonton menunggu pengungkapan berbagai hal yang masih menjadi misteri. Barangkali misteri dari adegan yang hilang itu pun tidak akan terungkap di dalam persidangan pengadilan. Atau, cerita hanya berhenti pada pergantian aktor dalam sistem, seperti pergantian god father dalam organisasi mafia Sisilia. Aktor berganti tetapi sistem dan struktur tidak berubah. Jika demikian halnya, maka cerita drama pembunuhan ini layak diberi judul Turn Back Cops, yang hanya menyisakan kesedihan panjang bagi keluarga korban dan pelaku tanpa perbaikan total institusi Polri.
(sumber: koran.tempo.co)