OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
Dalam RDG Bank Indonesia pada Kamis 22 September 2022, Perry Warjiyo Gubernur BI mengumumkan bahwa suku bunga naik 50 bps menjadi 4,25%.
Kenaikan terjadi begitu cepat setelah sebulan sebelumnya BI pada 26 Agustus 2022 juga sudah menaikan 25 bps dari 3.50% menjadi 3,75%.
Total di tahun 2022 BI sudah menaikan 75 bps setelah sebelumnya BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dipertahanan di level 3.50 persen selama 17 bulan sejak Februari 2021 atau sejak Covid-19 Gelombang Varian Delta mengamuk.
Pengumuman tersebut menyebabkan shock di pasar karena kenaikan tersebut dinilai begitu tinggi dan begitu cepat.
Kenaikan harga BBM pada awal September 2022, telah menyebabkan sektor rill dan ekonomi publik porak poranda akibat inflasi terutama inflasi akibat kenaikan makanan minuman dan kenaikan administered priced. Kenaikan BBM 30.74% menyebabkan daya beli publik turun sekitar 5% dan inflasi diperkirakan sampai akhir tahun 2022 di level 8.0-9.5 persen.
Belum selesai beban inflasi karena kenaikan harga BBM, kini publik diwarnai dengan naiknya suku bunga BI. Dampak kenaikan BI rate di level 4.25 persen akan menaikan suku bunga kredit sampai di level 9-11 persen.
Kenaikan tersebut sangat memberatkan para pengusaha dan debitur retail perbankan seperti pemilik KPR, pemilik kredit konsumsi termasuk pemilik kendaraan bermotor dan kartu kredit karena mereka harus menanggung biaya cost of fund yang tinggi.
Alasan BI menaikan adalah sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0±1% pada paruh kedua 2023.
Namun Langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking terkesan terlalu over di level 50 bps dibandingkan 25 bps padahal Indonesia belum benar-benar pulih dari kemunduran ekonomi.
BI sepertinya menggunakan cara lama untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak tertekan lebih dalam. Posisi Rupiah terus melemah di level Rp15,033 pada kamis siang di pasar SPOT.
Namun pelemahan nilai tukar tersebut akan berlangsung persisten manakala fundamental ekonomi Indonesia tidak segera di benahi yaitu akumulasi utang yang tinggi dan ketergantungan impor yang tak terkendali.
Cara lama BI perlu direvisi karena melakukan pendekatan menjadikan BI rate memiliki spread "kompetitif" dengan Fund rate AS akan membawa ekonomi Indonesia ke arah rezim berbunga tinggi yang menyebabkan banyaknya terjadi distorsi ekonomi dan inaccuracy dalam mencapai pertumbuhan yang ditargetkan.
Ongkos kenaikan BI rate yang terlalu tinggi adalah publik dan sektor riil. Bagi pengusaha dirasakan berat dan bagi retail konsumen lebih berat lagi karena publik tidak mendapatkan kenaikan upah di tahun 2022.
Upaya BI memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui terus menjaga spread selalu "kompetitif" antara BI rate dan Fund Rate merupakan cara lama sebelum pandemi Covid-19 dimulai.
BI mulailah melakukan pendekatan cara baru, Covid-19 harusnya melahirkan cara-cara baru bagaimana manusia hidup lebih sehat termasuk juga bagaimana ekonomi dikelola lebih efisien.
Seharusnya bisa saja BI tidak perlu menaikan BI rate atau dengan kata lain memagari agar naiknya suku bunga hanya dilevel 4.00 persen sampai akhir tahun 2022. Dengan begitu mungkin kondusifitas pemulihan ekonomi bisa berlangsung dengan baik.
Patut diingat rezim ekonomi berbunga tinggi sangat tidak kondusif bagi pertumbuhan ekonomi di masa pemulihan saat ini.
Pelajaran dari Covid-19 harusnya menjadikan BI lebih berani melahirkan kebijakan-kebijakan BI dengan cara baru
Cara lama menggunakan tagline melampaui front loaded, pre-emptive, dan forward looking saat ini nyatanya tidak membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi daripada negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal II 2022 tidak cukup berkesan dibandingkan negara tetangga di ASEAN lainnya. Patut diingat Indonesia mencapai pertumbuhan 5,44 persen year-on-year (yoy) pada kuartal II-2022, menepati urutan ke-4.
Sementara itu, di posisi ke-1 ada Malaysia yang mencatatkan laju pertumbuhan yang menakjubkan yaitu 8,9 persen (yoy), posisi ke-2 ada Vietnam yang mencatatkan laju pertumbuhan 7,72 persen (yoy) disusul Filipina di posisi ke-3 mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,4 persen yoy.
Semoga policy makers sektor moneter di Bani Indonesia bisa jauh lebih kreatif menerapkan cara-cara baru daripada cara simple menaikan suku bunga untuk mengatasi persoalan nilai tukar dan inflasi. Kasihan publik karena rezim suku bunga tinggi akan semakin memberatkan kehidupan mereka.