Anies, The Next Level -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Anies, The Next Level

Selasa, 04 Oktober 2022 | Oktober 04, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-10-04T08:56:27Z

OLEH: ROSDIANSYAH*

KETIKA dalam pidatonya saat deklarasi pencapresan Partai Nasdem, Senin, 3 Oktober 2022, Anies Baswedan menyebut frasa “continuity and change'' (keberlangsungan dan perubahan), spontan yang terbersit dalam benak saya adalah nama jurnal internasional yang diterbitkan Cambridge University Press (CUP). Jurnal ini sangat beken di kalangan peneliti internasional sejak pertama kali terbit tahun 1986.

Setahun jurnal itu terbit tiga kali. Isinya, mengupas masalah-masalah penting seperti hasil kajian atau riset berbasis sejarah, sosiologi, hukum, demografi, ekonomi atau antropologi, atau rentang disiplin keilmuan semacam itu. Tujuan utama jurnal ini adalah membuat perbandingan apa yang terjadi di masa silam dan segala yang sedang berlangsung saat ini. Kemudian, diproyeksikan ke berbagai kemungkinan di masa mendatang.



Selain jurnal di atas, sebenarnya frasa ''keberlangsungan dan perubahan'' juga lazim dijumpai dalam kajian-kajian sejarah. Evaluasi terhadap beragam peristiwa, mana yang bagus, dan mana yang buruk. Lalu, ditarik pelajaran dari peristiwa itu untuk menjadi rujukan ketika memproyeksikan berbagai kebijakan atau program untuk masa mendatang.

Alexander Gerschenkron sejarawan ekonomi Amerika kelahiran Rusia sekaligus gurubesar Universitas Harvard pada tahun 1962 menyatakan keberlangsungan muncul karena tidak adanya perubahan, artinya terjadi stabilitas.

Dalam konteks Indonesia pasca reformasi 1998, banyak yang melihat terjadinya era baru. Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie sering dilihat sebagai masa transisi. Dari era Orde Baru ke era Orde Reformasi. Walaupun Presiden BJ Habibie sering disebut-sebut sebagai pelanjut pemerintahan Presiden Soeharto, namun sesungguhnya tidak tampak keberlangsungan (continuity) itu, sebab suasana benar-benar berbeda. Beragam kebijakan Habibie justru kontras dari kebijakan Soeharto sebelumnya.

Perubahan drastis masa Habibie berlanjut pada masa kepresidenan berikutnya. Kebebasan sipil terus bertahan, tata kelola pemerintahan mulai beradaptasi dengan situasi baru, partai politik menjadi aktor utama dalam pemerintahan dan kemasyarakatan. Perubahan (change) signifikan kembali terjadi usai Sidang Istimewa (SI) 1999 memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Proses pembenahan birokrasi terus berlanjut sampai masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri.

The First Level

Perubahan signifikan berikutnya terjadi pada tahun 2004 ketika mulai diberlakukan pilihan langsung. Bukan saja calon anggota legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat pemilih, melainkan paslon presiden-wakil presiden dan juga calon kepala daerah pun dipilih secara langsung. Mandat diberikan langsung oleh rakyat kepada anggota legislatif terpilih, paslon presiden dan wakil presiden terpilih serta kepala daerah terpilih.

Dominasi Partai Golkar dalam pemerintahan mulai surut lalu berakhir usai pemerintahan Habibie. Tergantikan partai-partai lain. Presiden Abdurrahman Wahid diusung oleh berbagai parpol yang terhimpun dalam ''Poros Tengah'' di MPR di tahun 1999, sedangkan Presiden Megawati Soekarnoputri diusung oleh PDIP pada 2001. Dan sejak tahun 2004 Partai Demokrat yang mengusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menguasai pemerintahan.

Ketua umum (ketum) parpol menjadi figur sentral. Penentu berbagai program serta kebijakan internal partai. Bahkan restu ketum parpol sanggup meminggirkan aspirasi arus bawah kader di daerah. Ibarat pepatah, tidak boleh ada matahari kembar di dalam struktur kepemimpinan parpol. Loyalitas anggota, kader bahkan pengurus parpol hanya kepada ketum parpol. Walau fenomena ini agak berbeda dari Orde Baru, namun sesungguhnya budaya parpol belum berubah signifikan. Belum tampak budaya demokratis di dalamnya.

Namun demikian, tampak fenomena baru dalam budaya politik di Indonesia sejak 2014. Ketika PDIP mengusung Gubernur DKI hasil Pilgub 2012, Joko Widodo (Jokowi), menjadi calon presiden (capres) 2014. Sementara, Partai Gerindra masih mengusung ketua umumnya, Prabowo Subianto, sebagai (capres). Jokowi bukan elit PDIP ketika itu, namun ia mempunyai elektabilitas tinggi. Situasi ini menunjukkan perubahan signifikan dalam kontestasi politik di Indonesia karena ternyata elektabilitas seseorang belum tentu berkorelasi pada kedudukannya di internal parpol.

Publik bisa mendongkrak popularitas seseorang berlanjut ke elektabilitas. Ketergantungan pada parpol sebagai sarana pendongkrak popularitas mulai tergantikan oleh publik yang gampang jatuh hati. Apalagi kini media sosial juga menjadi sarana penunjang meraih popularitas. Situasi ini mengharuskan parpol berbenah diri, utamanya dalam melihat elektabilitas seorang calon. Popularitas elit di internal parpol tak lagi bisa menjadi tolok ukur popularitasnya di publik.

Bahkan popularitas parpol bisa ikut terdongkrak manakala parpol terkait mendukung figur non-elit parpol yang telah meraih elektabilitas tinggi di publik. Fenomena ''Coattail Effect'' (Efek ekor jas) ini terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019. Perolehan suara parpol bukan semata karena bekerjanya mesin parpol, melainkan juga tersebab berfungsinya efek ekor jas itu.

The Next Level

Anies mantan aktivis dekade '90an. Ia berada di negeri Abang Sam (AS) ketika reformasi 1998 sedang bergulir di tanah-air. Namun rekam jejaknya sebagai aktivis mahasiswa tak mungkin terlupakan bagi sesamanya. Ingatan yang melekat menyuguhkan kenangan bagaimana reaksi masif para mahasiswa melawan rezim Orde. Dan Anies menjadi bagian dari perlawanan terhadap Orde Baru itu, langsung di lapangan.

Anies sudah berhadapan lawan rezim Orde Baru ketika pada dekade yang sama ('90an) ada komisioner KPK kini, saat itu masih menempuh pendidikannya di sebuah kampus di Jakarta. Begitupula dengan komisioner KPK lainnya, yang pada dekade '90an masih menempuh pendidikan di Akabri. Artinya, Anies sudah merasakan pahit getir menghadapi kesemena-menaan sejak dekade itu. Ia bukan aktivis kaleng-kaleng. Itu fakta.

Saat ini, Anies menjadi satu-satunya mantan aktivis mahasiswa '90an yang telah dicapreskan parpol. Alasan Ketum Nasdem Surya Paloh yang tegas menyatakan ''Why not the best?'' menjadi petunjuk, bahwa pemilihan partai itu kepada Anies jelas tidak main-main. Nasdem punya rekam jejak lengkap siapa Anies. Partai ini tidak mencalonkan sosok dari internal, bahkan Anies sendiri belum menjadi anggota atau kader partai tersebut.

Situasi ini menjadikan arena politik sedang naik ke peringkat berikutnya. Bolehlah disebut 'The Next Level'. Dalam permainan video games, 'The Next Level' menandakan pemain telah lebih terampil, lebih tangkas, cepat sigap, ketika lolos dari peringkat sebelumnya. Mengusung capres non-parpol jelas bukan urusan gampang, apalagi di dalam parpol juga banyak tokoh, beragam figur, yang juga sudah dikenal publik.

Maka, ciri-ciri dari 'The Next Level' ini bisa dilihat ada beberapa. Pertama, ada parpol sudah terbuka, ada yang belum. Arena politik ibarat permainan games dengan parpol sebagai software, akan mengasyikkan jika software terbuka sebab bisa diketahui kelemahan algoritma software terkait.

Kedua, ketertutupan mengakibatkan terpaku pada pilihan internal parpol, lalu menyebabkan sempitnya pilihan. Dan pilihan yang sempit dalam permainan video games jelas membosankan.

Ketiga, pilihan langsung mendorong parpol harus benar-benar menyimak kemauan publik. Lagi-lagi, ibarat main games, lebih banyak pemain untuk bekerjasama, itu lebih baik. 

*(Penulis adalah pemerhati politik dan kebangsaan)
×
Berita Terbaru Update
close