WANHEARTNEWS.COM - Pencopotan Hakim Konstitusi, Aswanto dari jabatan sebagai Hakim Konstitusi oleh DPR RI dinilai melanggar UU dan independensi hakim serta Mahkamah Konstitusi (MK).
Penilaian ini disampaikan Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani lantaran sesuai dengan UU MK, mekanisme pemberhentian jabatan Hakim Konstitusi dilakukan saat masa jabatan yang bersangkutan telah habis atau telah mencapai usia 70 tahun sebagaimana norma yang dibuat sendiri oleh DPR dalam revisi ketiga UU MK.
“Pencopotan Hakim Konstitusi, Aswanto adalah peragaan politik kekuasaan yang melanggar UU dan merusak independensi hakim dan kelembagaan MK,” katanya kepada wartawan, Sabtu (1/10).
Ismail Hasani mengurai, jika pun pemberhentian dilakukan di tengah masa jabatan, karena tersandung pelanggaran etik atau melakukan tindak pidana, maka pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui Keputusan Dewan Etik MK.
“Dengan mengabaikan seluruh ketentuan yang termaktub dalam UU MK, DPR RI sebagai salah satu dari tiga lembaga pengusul hakim MK, menarik dukungan, mencopot Aswanto, dan menggantinya dengan Guntur Hamzah,” tegasnya.
Menurut Ismail Hasani, satu alasan Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto yang menyebut adanya aduan masyarakat dan tindakan Aswanto dalam memutus perkara yang tidak sejalan dengan kehendak DPR, sebagai pembentuk UU dinilai keliru.
“Argumen ini bukan hanya keliru, tetapi mempunyai daya rusak bagi institusi MK,” kata dosen hukum tata negara, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Ismail Hasani menambahkan, desain ketatanegaraan pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni DPR, Presiden, dan MA, bukanlah ditujukan untuk mewakili kepentingan institusi-institusi tersebut. Tetapi untuk memastikan independensi, integritas dan kontrol berlapis eksistensi Mahkamah Konstitusi, karena posisinya sebagai peradilan konstitusi yang menjaga prinsip supremasi konstitusi.
Atas dasar itu, Ismail Hasani menilai bahwa pencopotan Aswanto jelas menggambarkan penggunaan nalar kekuasaan yang membabi buta.
“Peragaan nalar sebagaimana diadopsi DPR akan membonsai kelembagaan dan hakim-hakim MK, khususnya yang berasal dari jalur DPR dan Presiden, karena posisi DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU,” sesalnya.
Argumen DPR, masih kata Ismail Hasani, merupakan keputusan politik juga menyesatkan. Sebab sebagai institusi politik, DPR tetap terikat dan harus patuh pada UU MK dan seluruh prosedur yang telah ditetapkan dan menjadi kesepakatan politik dan dituangkan dalam bentuk UU.
Seharusnya, jika DPR hendak mengganti, maka yang harus dilakukan adalah mengubah batasan masa jabatan hakim MK dan kewenangan kocok ulang sebagaimana yang sedang diinisiasi melalui perubahan keempat UU MK. Rencana revisi UU MK baru disahkan menjadi inisiatif DPR pada Kamis (29/9), tetapi pada saat yang bersamaan DPR telah mempraktikkan norma yang masih berupa RUU revisi dimaksud.
“Jika dilacak, carut marut terkait jabatan hakim MK memang dimulai dari DPR yang pada perubahan ketiga telah mengubah ketentuan batas usia Hakim Konstitusi hingga 70 tahun atau maksimal 15 tahun menjabat tanpa ketentuan kocok ulang atau evaluasi dari lembaga pengusul,” tuturnya.
Masalahnya, hakim MK dengan penuh konflik kepentingan juga mengafirmasi perubahan itu dengan mencari dalil-dalil pembenar yang menguntungkan dirinya. Padahal, ihwal masa jabatan dan batas usia adalah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang bukan merupakan isu konstitusional. Artinya, pembangkangan-pembangkangan konstitusi juga dipicu oleh kinerja MK yang sarat kepentingan.
Namun demikian, betapapun marwah Mahkamah Konstitusi terus disorot, cara DPR memperbaiki MK juga keliru.
“Presiden Jokowi sebaiknya menolak pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah, kecuali DPR dan Presiden mengubah terlebih dahulu UU MK,” tegasnya.
Desain reformasi MK harus dituangkan dalam UU yang dibahas secara tidak tergesa-gesa. Demikian juga MK, secara kolektif meningkatkan kepatuhan pada asas-asas beracara, khususnya menolak setiap perkara yang berkaitan dengan kelembagaan, kewenangan, termasuk praktik tidak etis dan bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua saat mengafirmasi kehendak DPR yang memberikan masa jabatan hingga usia 70 tahun atau maksimal 15 tahun, melalui Putusan MK Putusan Mahkamah Konstitusi No. 96/PUU-XVIII/2020.
Sumber: RMOL