OLEH: SALAMUDDIN DAENG
KATA orang tua di kampung, air itu jernih di hulunya tapi makin ke hilir makin keruh, karena perilaku manusianya.
Ini adalah pengibaratan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana negara awalnya mengatur semua yang berkaitan dengan ketenagalistrikan, tetapi seiring perjalanan waktu semua dirusak oleh para pengurus negara, pemerintah, dan legislatif.
Pada 37 tahun yang lalu, Indonesia memiliki UU No 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan. UU ini dengan baik mengatur bagaimana negara memastikan rakyat berdaulat atas ketenagalistrikan. PLN sebagai perusahaan negara diserahkan tugas untuk menjalankan layanan ketenagalistrikan nasional. Demikian juga pelaku usaha yang ingin berpartisipasi dalam layanan ketenagalistrikan diberikan peluang.
Sistem kelembagaan yang dibangun dalam UU no.15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yakni (1) Integrasi dalam penyediaan ketenagalistrikan mulai dari pembangkit listrik, Transmisi hingga Distribusi. (2) pengadaan listrik dimulai dari titik pembangkitan sampai masyarajat. Kaidah ini yang selalu mau dirongrong oleh berbagai kepentingan. (3) Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (KUK) diberikan peluang usaha. UU ini mempersilakan berbisnis, yang penting tidak merugikan negara dan ada dalam integrasi layanan listrik yang dijalankan oleh negara.
Namun sejak era reformasi yang semangatnya liberalisasi ekonomi terjadilah pergeseran filosofi, strategi, melalui regulasi pelembagaan liberalisasii dalam sektor ketenagalistrikan. UU ketenagalistrikan dibongkar secara total.
Strategi pengusahaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi diutamakan. UU ketenagalistrikan era reformasi memang bermaksud menyerahkan bisnis listrik kepada oligarki modal.
Ora Kapok
Di bawah sikap takluk pada agenda liberalisasi ekonomi yang disponsori modal asing bekerja sama dengan konglomerat busuk dan oligarki nasional maka disahkanlah UU Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. UU ini mempreteli hak menguasai negara dalam penyediaan ketenagalistrikan melalui pasal pasal unbandling pengelolaan PLN baik secara vertikal maupun horizontal. Usaha penyediaan listrik oleh PLN selaku perpanjangan tangan negara hendak dipotong-potong untuk sebagian diserahkan ke pihak swasta atau agar sebagian menjadi bisnis yang dikuasai swasta.
UU ini dinyatakan bertentangan dengan pasal 33 UUD 45, sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Keputusan MK disampaikan oleh majelis hakim MK dalam sidang pembacaan putusan atas permohonan judicial review UU 20/2002 terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh BHI, Serikat Pekerja PLN, dan Ikatan Keluarga Pensiunan Listrik Negara (IKA PLN) di kantor MK, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (15/12/2004).
Amar putusan ini dibacakan oleh 9 hakim, termasuk Ketua MK Jimly Ash-Shiddiqie, secara bergiliran. Dalam amar putusannya, MK menetapkan bahwa pasal 27, 28, 33, dan 54 UUD 45 telah dilanggar oleh ketentuan di dalam UU 20 Tahun 2002.
Pelanggaran itu, terutama pada pasal yang menyatakan bahwa listrik merupakan komoditi yang dapat dikompetisikan dan ditingkatkan harga jualnya dan listrik merupakan cabang usaha yang cukup dikuasai oleh negara dalam konsep perdata
Lima tahun kemudian disahkan UU 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Sama dengan UU sebelumnya yang membawa konsep penyelenggaraan ketenagalistrikan secara unbandling. Skema yang dibangun UU ini adalah pengelolaan ketenagalistrikan secara terpisah pisah baik secara horizontal maupun vertikal atau keduanya secara bersamaan.
Tentu saja maksudnya agar listrik yang dipisah-pisah itu dapat diambil alih oleh swasta atau diserahkan bagian bagiannya secara utuh 100 persen kepada swasta. UU yang sudah mati dibangkitkan lagi oleh oligarki Indonesia.
Lagi-lagi UU No 30 tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah MK. Dari pasal-pasal yang diuji itu, ada 2 pasal yang akhirnya dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1.
"Menyatakan Pasal 10 ayat (2) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," demikian bunyi salinan putusan MK.
MK juga menyatakan, "Pasal 11 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
Oligarki Indonesia memang enggak bisa tobat. Kegagalan dua kali tidak menjadikan mereka kapok. UU ketenagalistrikan kembali dimasukkan ke dalam Omnibus law yakni UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU ketenagalistrikan yang sudah mati dua kali dihidupkan kembali.
Dalam klaster ketenagalistrikan UU cipta kerja konsep liberalisasi ketenagalistrikan dibangkitkan lagi dari dalam kuburnya. Lagi lagi UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kali ini yang dibatalkan adalah proses formalnya dan memberi tenggang waktu kepada pemeirntah dan DPR untuk memperbaiki UU ini.
Pokrol Bambu
Namun bukanya memperbaiki kesalahan formil dalam UU ciptaker, akan tetapi malah menjadikan UU ciptaker sebagai dasar bagi pemerintah menerbitkan peraturan turunan dari UU cipta kerja dalam sektor ketenagalistrikan. Oligarki Indonesia seperti orang kebelet pipis tidak tahan untuk mempercepat liberalisasi PLN atau bahasa lainya bagaikan agar aset-aset PLN segera bisa dipreteli, sehingga bisnis listrik ke depan tidak didominasi PLN.
Wah ini adalah main pokrol bambu. Pemerintah bergerak bagaikan hantu membuat berbagai agenda privatisasi PLN yakni melalui subholding PLN. Anak anak perusahaan PLN dipisahkan dari induknya, agar bisa dilepas ke swasta. Usaha melepaskan ke swasta melalui subholding dilanjutkan dengan IPO, lease back, strategic partner, hingga pengalihan aset.
Baru-baru ini Pemerintah mengalihkan aset PLN kepada PT. Bukit Asam, BUMN tambang batubara yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak swasta. Alasannya untuk mempercepat penutupan pembangkit batubara tersebut, dengan alasan mencapai target Net Zero Emission (NZE).
Kok kayaknya enggak nyambung antara tujuan dan tindakan. Apakah PT BA kesulitan jual batubara sehingga diserahkan pembangkit PLN? Atau apakah PT BA kesulitan uang sehingga diajak jualan listrik PLTU dengan sistem take or pay dengan PLN?
Untuk memperlancar pengalihan aset ini maka digunakan seabrek istilah dalam bahasa asing, tapi kesannya asal comot. Lah kok rasanya saya tau siapa konsultannya.
Saya pernah dengar dia orang yang suka deception dengan bahasa asing itu ceramah tentang taktik seperti begitu. Gunakan istilah asing yang banyak dalam menjual aset negara. Pertama dialihkan ke BUMN Tbk, setelah itu dialihakan ke swasta murni.
Kalau ini sudah jual aset namanya. Ngono Mas.
(Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)