WANHEARTNEWS.COM - Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi meruncing. Ini dikarenakan Riyadh yang tidak mau menuruti permintaan Washington untuk menambah produksi minyaknya.
Dalam wawancara dengan CNN, Presiden AS Joe Biden menganggap respons Saudi ini merupakan bukti bahwa pihaknya perlu memikirkan kembali hubungan kedua negara. Pasalnya, di tengah ketegangan geopolitik antara AS dan Rusia, Saudi justru kompak dengan Moskow dan negara OPEC+ untuk memangkas produksi minyak.
"Saya sedang dalam proses, ketika DPR dan Senat kembali, mereka harus - akan ada beberapa konsekuensi atas apa yang telah mereka lakukan dengan Rusia," kata Biden, dikutip Rabu (12/10/2022).
Keputusan kartel minyak OPEC+ pimpinan negeri Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud ini juga memicu kemarahan di sekitar pejabat AS. Para pejabat mengatakan Biden secara pribadi kecewa dengan apa yang mereka sebut keputusan "pandangan sempit".
Langkah ini dirancang untuk memacu pemulihan harga minyak mentah, yang telah turun menjadi sekitar US$ 80 per barel, setelah sempat mencapai US$ 120 per barel pada awal Juni.
Langkah tersebut, yang dilakukan tiga bulan setelah Biden mengunjungi Arab Saudi dan bertemu dengan pemimpin de facto Putra Mahkota Mohammed bin Salman, berpotensi menaikkan harga gas dalam beberapa minggu menjelang pemilihan paruh waktu pada November.
Adapun, setelah mencapai level tertinggi selama musim panas, harga gas terus menurun, memberikan Biden dan para pembantunya poin pembicaraan yang kuat menjelang pemilihan.
Namun, kombinasi sejumlah faktor, termasuk meningkatnya permintaan dan pemeliharaan di beberapa kilang AS, telah menyebabkan harga mulai naik kembali. Keputusan OPEC+ siap untuk memperburuk faktor-faktor tersebut.
Bagi Biden, keputusan itu merupakan penghinaan khusus karena upayanya selama musim panas untuk memperbaiki hubungan dengan Arab Saudi, terlepas dari catatan hak asasi manusia kerajaan yang menyedihkan dan peran Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
Sebelumnya, senator AS Richard Blumenthal dan anggota Kongres Ro Khanna menuding Arab Saudi berkolusi dengan Rusia. Hasil keputusan OPEC+ diyakini akan meningkatkan pendapatan energi Moskow.
Keduanya meminta penjualan senjata AS ke Riyadh dihentikan. UU bahkan diusulkan ke Senat dan DPR AS.
"Amerika seharusnya tidak memberikan kendali tak terbatas atas sistem pertahanan strategis seperti itu kepada sekutu musuh terbesar kita, pemeras bom nuklir (Presiden Rusia) Vladimir Putin," tegas mereka dalam sebuah pandangan yang ditulis media Politico, dikutip Russia Today.
Hal sama juga dikatakan Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Bob Menendez. Ia pun meminta pemerintah AS untuk membekukan semua aspek kerjasamanya dengan Arab Saudi.
"Tidak ada ruang untuk memainkan kedua sisi konflik ini," katanya.
"Tidak akan memberi lampu hijau kerjasama dengan Riyadh sampai Kerajaan menilai kembali posisinya sehubungan dengan perang di Ukraina," tegasnya.
Senator lain Chris Murphy, dari negara bagian Connecticut, juga mengatakan akan ada konsekuensi yang di dapat Arab Saudi. Mengutip CNN, ia mengungkit pembunuhan jurnalis Jamal Ahmad Khashoggi yang diyakini pelapor PBB, melibatkan Pangeran MBS.
"Pasti ada konsekuensi untuk itu. Apakah itu mengangkat kekebalan kartel atau apakah itu memikirkan kembali kehadiran pasukan kita di sana, hubungan keamanan kita, saya hanya berpikir inilah saatnya untuk mengakui bahwa Saudi tidak memperhatikan kita," tegasnya.
"Kita akan mengetahui ketika chip turun, ketika ada krisis global, apakah Saudi akan pilih kami daripada Rusia," tambah Murphy.
Sumber : lawjustice