WANHEARTNEWS.COM - Komisi III DPR tiba-tiba mengganti hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto dengan Guntur Hamzah dalam rapat internal Komisi III yang disahkan rapat paripurna Kamis (29/9).
Aswanto adalah hakim MK yang menjabat sejak 2014 atas usulan DPR. Komisi III menyebut, Aswanto diganti karena ada surat konfirmasi dari MK terkait status 3 hakim MK usulan DPR.
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) mengungkap alasan pergantian tersebut, yakni karena Komisi III kecewa dengan kinerja Aswanto.
Lebih rinci, Pacul mengungkap DPR kecewa karena Aswanto kerap tak meloloskan produk-produk DPR seperti UU. Meski ia tak menjelaskan produk DPR mana saja yang dimaksud.
Yang pasti, Pacul mengatakan seharusnya Aswanto berpihak pada parlemen, karena diusulkan oleh DPR.
"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh. Kalau kamu usulkan seseorang untuk jadi direksi di perusahaanmu, kamu owner, itu mewakili owner kemudian kebijakanmu enggak sesuai direksi, owner ya gimana? Kan kita dibikin susah," kata Pacul di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (30/9).
"Dasarnya Anda tidak komitmen. Gitu, lho. Enggak komit dengan kita ya mohon maaf lah, ketika kita punya hak, dipakai," ujarnya.
Dijelaskan oleh Pacul, sebelum memutuskan mengganti Aswanto DPR lebih dulu menerima surat dari MK soal hakim-hakim yang diusulkan DPR. Rapat internal Komisi III lalu memutuskan mengganti Aswanto dengan Sekjen MK Guntur Hamzah sebagai hakim MK dan disahkan dalam Rapat Paripurna, Kamis (29/9).
"Ada surat dari MK, untuk mengkonfirmasi hakim-hakim yang diajukan oleh DPR. Begitu juga MA, lembaga yudikatif juga eksekutif. Nah, DPR anggap konfirmasi ini kita jawab saja dengan kita mau ganti orang," kata Pacul di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (30/9).
"Ini keputusan politik, karena keputusan politik juga hadirnya surat MK toh? Kan gitu lho. Dasar-dasar hukumnya bisa dicari, lah. Tapi ini kan dasar surat MK yang mengkonfirmasi, tidak ada periodesasi, ya sudah," imbuh dia tak merinci isi surat MK tersebut.
Isi Surat MK
Juru bicara MK, Fajar Laksono, menyebut MK mengirimkan surat kepada DPR tanggal 21 Juli 2020, perihal adanya gugatan ke MK terkait masa jabatan hakim MK yang kemudian diputus dalam Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020.
Dalam pertimbangan putusan, MK berpendapat perpanjang masa jabatan hakim itu harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan yang menghubungkan agar aturan baru dapat berlaku selaras dengan aturan lama.
Namun, untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat hakim konstitusi, maka mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut.
"Isi surat (ke DPR) menyampaikan lengkap amar putusan dimaksud, yang kemudian mengharuskan MK melakukan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga yang mengusulkan dan mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat," ucap Fajar kepada kumparan, Jumat (30/9).
Kata Fajar, konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi, menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodesasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan MA).
"Diinformasikan dalam surat bahwa hakim konstitusi yang berasal dari usulan lembaga DPR yang saat ini menjabat untuk dikonfirmasi adalah keseluruhan (3 orang) hakim konstitusi yang diajukan DPR," lanjutnya.
Tiga hakim itu ialah Aswanto, Arief Hidayat, dan Wahidudin Adams.
Praktisi hukum Donal Fariz menjadi salah satu yang ikut menentang hasil rapat paripurna, yang merupakan tindak lanjut rapat internal Komisi III DPR tersebut. Menurutnya, penggantian Aswanto tak punya dasar hukum.
"Jungkir balik negara hukum. Hakim MK diganti tanpa dasar hukum, diparipurnakan dalam proses yang tidak terjadwal," kata Donal Fariz di Twitter, Jumat (30/9). Donal telah memberi izin wartawan untuk mengutip.
Menurut Donal Fariz, keputusan mengganti Aswanto merupakan nasib nahasnya terkait putusan RUU Ciptaker. Ia juga menilai ini bagian dari kepentingan penguasa di Pemilu 2024.
Sumber: kumparan