WANHEARTNEWS.COM -Kasus penembakan laskar Front Pembela Islam (FPI) yang terjadi pada Senin 7 Desember 2020 dini hari hingga kini masih menjadi misteri. Persoalan tersebut bahkan masih membekas bagi Habib Rizieq Shihab yang menjadi imam besar ormas tersebut, sebelum akhirnya dibubarkan.
Dalam peristiwa tersebut, tercatat ada enam pengawal Habib Rizieq yang tewas. Pun sejumlah kejanggalan sebelum peristiwa yang terkategori unlawfull killing tersebut masih terus dipertanyakan lantaran beberapa aparat yang diduga melakukan penembakan divonis bebas.
Terbaru, Habib Rizieq membeberkan, pihaknya telah mendapatkan mobil yang digunakan pengawalnya saat peristiwa tersebut. Ia mengemukakan, saat ini mobil tersebut disimpan pihaknya sebagai bukti yang nantinya bisa digunakan untuk proses peradilan.
"Insya Allah akan kita simpan dengan baik sampai keadilan ditegakkan,” ujarnya seperti disiarkan di kanal Youtube Islamic Brotherhood TV pada Jumat (11/11/22).
Rizieq kemudian menyinggung dua pelaku unlawfull killing yang divonisi bebas. Ia menilai putusan tersebut tidak adil. Kekinian, pihaknya sedang mengusahakan untuk membawa bukti tersebut ke pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Karena saat pengadilan HAM digelar nanti, mobil 6 syuhada ini jadi bukti penting tak terbantahkan, insyaAllah," katanya.
Ia juga menyampaikan, mobil tersebut menjadi bukti bisu kebiadaban dan kejahatan berat yang dialami Laskar FPI. Bahkan, ia menyatakan, jika tewasnya enam pengawal tersebut tak bisa dilepaskan dari andil seorang jenderal.
"Mobil enam syudaha ini menjadi bukti penting kebejatan, kejahatan, serta kesadisan genk KM 50 yang dipimpin seorang jenderal dan melibatkan Satgassus Polri. Ini sudah jadi fakta dan sudah jadi rahasia umum semua orang tahu,” katanya.
Peristiwa KM 50 di Tol Jakarta-Cikampek yang terjadi pada 7 Desember 2020 silam hingga kini dinilai masih penuh misteri. Dalam peristiwa tersebut, tiga polisi, yakni Ipda Elwira Priadi Z, Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yasmin Ohorella melakukan penembakan hingga mengakibatkan enam laskar FPI meninggal.
Namun, Ipda Elwira Priadi Z meninggal dunia sebelum disidangkan. Menurut surat dakwaan jaksa penuntut umum, Briptu Fikri dan Ipda Yasmin menembak karena anggota Laskar FPI yang saat itu ditangkap melawan dan mengancam keselamatan mereka.
Sebelum penembakan terjadi, mobil yang ditumpangi Laskar FPI dengan mobil yang ditumpangi polisi sempat terlibat pengejaran dan serempetan.
Saat peristiwa itu, Ferdy Sambo masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri. Untuk menyelidiki dan menginvestigasi kasus tersebut dibentuk tim khusus (Timsus) pencari fakta yang terdiri dari 30 personel untuk menyelidiki peristiwa itu.
Saat itu, Sambo menugaskan Hendra untuk memimpin Timsus pencari fakta Divpropam Polri terkait peristiwa Km 50.
Timsus itu diperintahkan melakukan penyelidikan prosedur operasi standar (standard operating procedure/SOP) anggota Polri dan peristiwa penembakan.
Berdasarakn hasil pemeriksaan, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yasmin Ohorella ditetapkan sebagai tersangka dan diajukan ke persidangan.
Dari hasil putusan sidang, kedua polisi itu didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Keduanya terbukti bersalah karena telah melakukan penganiayaan hingga membuat orang meninggal dunia.
Namun, keduanya tidak dijatuhi hukuman karena alasan pembenaran karena perbuatan terdakwa dinilai sebagai tindakan pembelaan.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP. Berdasarkan hal tersebut, hakim memutuskan melepaskan terdakwa. Putusan ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang ingin keduanya dihukum dengan pidana enam tahun penjara.
Sumber: suara