WANHEARTNEWS.COM - Krisis ekonomi global memberikan tekanan pada perusahaan di seluruh dunia. Perusahaan teknologi yang kerap dianggap lebih tahan terhadap tantangan ekonomi juga merasakan dampak kenaikan biaya dan inflasi.
Xiaomi, misalnya. Perusahaan yang berbasis di Beijing itu harus memangkas 10 persen pegawainya. Langkah tersebut berdampak pada divisi smartphone, layanan internet, dan bidang lainnya. Berita PHK itu muncul hanya beberapa hari setelah pendiri Xiaomi Lei Jun meluncurkan Xiaomi 13 yang jadi andalan baru perusahaan.
’’Perusahaan menerapkan optimasi personel rutin dan perampingan organisasi,’’ bunyi pernyataan perwakilan Xiaomi, Selasa (20/12), seperti dikutip South China Morning Post.
Di Tiongkok, PHK massal sering dilakukan atas nama optimasi bisnis. Hal itu untuk menghindari pengawasan otoritas ketenagakerjaan. PHK yang memengaruhi lebih dari 20 bidang pekerjaan harus mendapat izin dari pemerintah dan diproses menurut Undang-Undang Perburuhan Tiongkok.
Berdasar laporan finansial kuartal III Xiaomi pada 30 September lalu, perusahaan tersebut memiliki 35.314 pegawai. Sekitar 32 ribu berada di Tiongkok. Artinya, PHK itu akan berdampak pada sekitar 3.500 pegawai.
Penjualan yang terus menurun sebagai imbas lockdown, ditambah belanja konsumen yang lebih lambat, memengaruhi Xiaomi. PHK besar-besaran itu menjadi pembicaraan di media sosial Tiongkok seperti Weibo, Xiaohongshu, dan Maimai. Mereka cemas akan masa depan sektor teknologi di Tiongkok.
Xiaomi merupakan vendor smartphone terbesar kelima di Tiongkok. September lalu, ia menguasai 13 persen pasar smartphone. Namun, pada Juli–Septemter terjadi penurunan pendapatan sebesar 9,7 persen menjadi CNY 70,47 miliar (Rp 157,7 triliun) dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Laba bersih mereka turun 59,1 persen menjadi CNY 2,21 miliar (Rp 4,9 triliun).
Berdasar data yang dirilis Canalys, pengiriman smartphone global di kuartal III turun 9 persen menjadi 297,8 juta unit jika dibandingkan periode yang sama tahun 2021. Pada periode yang sama, pengiriman di Tiongkok turun 11 persen menjadi hanya 70 juta unit.
Penjualan ritel di Tiongkok pada November juga turun 5,9 persen ketimbang tahun sebelumnya. Barang konsumsi turun 6,1 persen di periode yang sama. Dua hal itu bisa menjadi indikator melemahnya daya beli di negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut.
Sumber: jawapos