WANHEARTNEWS.COM - Pernah aktif sebagai anggota Marinir AS, sosok ini pernah memendam kebencian yang mendalam terhadap Islam.
Bahkan, pria bernama Mike itu malah berencana mengebom masjid. “Banyak yang tidak percaya dengan kelakuan saya di masa lalu. Saya dulu sangat benci Islam, ”katanya, seperti dikutip dari situs All American Muslim beberapa waktu lalu.
Penyebab sikapnya itu adalah tak disangka. Ketika itu, Mike mengira bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan terorisme.
Mungkin, banyak warga Amerika Serikat yang memercayai stereotipe demikian karena pengaruh berita-berita yang menyudutkan Muslimin, terutama pascaperistiwa 9/11. Akan tetapi, lelaki asal negara bagian Indiana itu bukanlah pengamat dari kejauhan.
Saat masih aktif di militer, ia pernah dikirim ke negara-negara Timur Tengah, termasuk Suriah. Di medan perang, ia menyaksikan orang-orang Muslim berperang. Tidak sedikit dari mereka yang menyuarakan kebencian terhadap Barat.
Rasa nasionalismenya pun menebal. Dengan cepat, Mike ketika itu mengambil kesimpulan bahwa kaum Muslimin adalah liyan (the other). Mereka dipandangnya berbahaya bagi ketertiban dan kedamaian dunia Barat, khususnya Amerika.
Selama 25 tahun, Mike bertugas di dunia militer. Begitu kembali ke ranah sipil pada 2006, ia merasa negerinya perlu diselamatkan dari para pendatang yang liyan itu. Dalam pandangannya saat itu, orang-orang Muslim bukanlah kelompok yang mau melebur dalam identitas Amerika. Tidak ada cara selain mengenyahkan mereka.
Pensiunan tentara itu amat terganggu saat mendengar informasi, komunitas Muslim Indiana hendak mendirikan sebuah masjid.
Tempat ibadah itu direncanakan berdiri di Muncie, sebuah kota kecil yang dahulu dikenal dengan nama Buckongahelas Town. Mike berpikir, orang-orang Islam mulai berani menjajah kampung halamannya.
Indiana merupakan salah satu wilayah Amerika Serikat dengan populasi Muslim yang cukup signifikan. Tercatat, ada lebih dari enam juta orang pemeluk Islam di negara bagian tersebut. Keberadaan masjid menjadi suatu kebutuhan bagi mereka.
Beberapa bulan kemudian, Pusat Keislaman Muncie pun dibuka untuk umum. Sebagai pendukung Islamofobia, Mike saat itu merasa murka. Ia menuding pemerintah kota setempat sudah tidak berdaya dalam menghadapi lobilobi Muslim.
Selama beberapa tahun, Mike ikut serta dalam pelbagai aksi demonstrasi yang menentang pendirian Islamic center di Muncie.
Kampanye dilakukannya tidak hanya di jalanan, tetapi juga melalui platform-platform media sosial.
Bagaimanapun, ujaran kebencian yang disampaikannya hanya berwujud pada katakata atau unjuk rasa di jalan. Masih belum terlintas di benaknya untuk melakukan kekerasan fisik.
Momen kesadaran
Di suatu hari Jumat pada 2009, Richard Mike McKinney tidak lagi mampu menahan diri. Ia memboyong beberapa bahan peledak (im provised explosive device, IED) dari rumahnya.
Dengan mengendarai mobil, lelaki bertubuh tegap itu langsung menuju Islamic Center of Muncie. Tujuannya adalah mengebom masjid tersebut sekaligus menghabisi seluruh Muslim di sana.
Murka sebesar itu ternyata dipicu persoalan sepele. Satu hari sebelumnya, Mike melihat putri kesayangannya, Emily, pulang dari sekolah.
Segalanya tampak biasa-biasa saja, hingga ketika anak perempuannya itu menuturkan kisah yang cukup menarik. Emily bercerita, dirinya suatu hari diajak untuk datang ke rumah seorang kawannya. Sesampainya di sana, tampaklah ibu temannya itu mengenakan niqab.
“Jadi, mereka adalah orang Muslim?” tanya Mike dengan nada tinggi. “Entahlah, tapi mereka ramah dan baik padaku,” jawab Emily singkat. Berkali-kali, Mike memperingati anak perempuannya itu untuk tidak lagi dekat dengan kawannya tersebut. Tentu saja Emily heran.
Bagaimana menghakimi seseorang dari busana yang mereka pakai? Kalaupun mereka beragama Islam, lantas apa masalahnya? Hingga malam hari, Mike tidak bisa tidur. Ia merasa cemas kalau putrinya akan dipengaruhi orang-orang asing itu. Mimpi buruk terbesarnya adalah suatu hari Emily akan menjadi Muslim.
Itulah yang mendorongnya untuk mempersiapkan bom rumahan, untuk kemudian diledakkan di tengah jamaah Islamic Center Muncie. Persiapan dilakukannya dengan rapi. Mantan marinir ini seolah-olah hendak berangkat ke medan pertempuran.
Tibalah ia di masjid tersebut. Siang itu, tempat ibadah Muslimin ini tampak cukup ramai. Beberapa jamaah masih berada di sana, sesudah menunaikan shalat Jumat. Beberapa orang melihat Mike turun dari mobil dengan memakai jas tebal dan ikat kepala.
Untuk sesaat, di pikiran Mike terlintas kata-kata putrinya: Setiap orang tidak dilahirkan dengan prasangka, rasialisme, atau kebencian. Karena itu, ia sempat mengurungkan niatnya untuk langsung melempari masjid ini dengan bom buatan.
Tidak ingin kedatangannya sia-sia, Mike memilih untuk memasuki bangunan Islamic center ini. Mulanya, ia merasa aneh.
Pemandangan setempat tampak biasa saja. Tidak ada di sana, umpamanya, spanduk-spanduk semboyan anti-Amerika atau dukungan pada Alqaidah seperti yang selama ini dibayangkannya.
Di dalam masjid itu, ia berdiri saja. Dirinya sedikit gugup karena merasa sebagai satu-satunya non-Muslim di sana.
Beberapa lama kemudian, seorang jamaah menghampirinya dan berkata, “Apakah ada yang bisa saya bantu?” Tidak tahu harus menjawab apa, Mike pun menyahut, “Saya ke sini karena ingin tahu tentang Islam.”
Inilah yang mengawali momen kesadarannya. Oleh jamaah tersebut, Mike dipersilakan untuk duduk dan menunggu. Beberapa saat kemudian, lelaki itu datang dengan seorang dai yang biasa mengimami sholat jamaah di masjid tersebut.
Terjadilah dialog di antara keduanya. Imam itu mempersilakan Mike untuk menyampaikan pertanyaan atau tanggapannya mengenai Islam.
Semula, mantan tentara ini mengaitkan agama tersebut dengan paham-paham terorisme dan ekstremisme. Sang imam mendengarkannya, tanpa sekali pun menyela.
Tiba giliran berbicara, dai tersebut mulai menjelaskan tentang fondasi ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Dipaparkannya pula mengenai rukun iman, rukun Islam, serta pengertian ihsan.
Ia antara lain menyampaikan salah satu pesan Nabi Muhammad SAW, yakni tidaklah beliau diutus oleh Allah SWT kecuali untuk menyempurnakan akhlak.
Seorang individu atau kelompok mungkin saja melakukan kekerasan ekstrem dan teror sembari mengatasnamakan agama.
Namun, tindakan pelaku kekerasan itu justru bertentangan dengan ajaran agama. Yang terjadi adalah mereka kurang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Islam.
Mike terlibat dialog yang intens selama beberapa jam di sana. Pada akhirnya, ia mengakui keterbatasan pengetahuannya mengenai Islam. Bahkan, lelaki itu mulai tertarik pada ajaran agama tauhid.
“Segalanya menjadi jelas bagi saya. Sesudah itu, saya pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Keinginan saya kuat untuk menjadi Muslim,” kata Mike mengenang salah satu momen terpenting dalam hidupnya.
Turut berdakwah
Sejak memeluk Islam, Mike memilih nama baru, yakni Omar Sayeed Ibn Mac. Sebab, dirinya ingin meniru jejak Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.
Lagi pula, kisahnya dalam menemukan hidayah mungkin tidak jauh berbeda dengan yang dialami al-Faruq. Semula membenci, tetapi kemudian hatinya lapang dalam menerima cahaya kebenaran.
Mike alias Omar Sayeed masuk Islam dengan komitmen yang penuh. Ia sungguh-sungguh menyadari salah satu ayat Alquran yang menegaskan tujuan kehidupan manusia: beribadah hanya kepada Allah SWT. Dan, ibadah itu dimaknai bukan sekadar ritual, melainkan praksis sehari-hari.
Sumber: hajinews