WANHEARTNEWS.COM - Sejumlah permasalahan yang terjadi di lembaga penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), justru mengundang kemunculan wacana penundaan Pemilu Serentak 2024.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, permasalahan yang terjadi di KPU saban hari ini tak sama sekali bisa dijadikan alasan untuk menunda Pemilu Serentak 2024.
Termasuk, menurutnya, ketika muncul dugaan kecurangan daam proses verifikasi partai politik (parpol) calon peserta Pemilu Serentak 2024, yang belakangan ditemukan ada oknum KPU yang mengatur kelolosan sejumlah parpol.
"Jadi tidak bisa dikaitakan antara proses kecurangan yang terjadi dengan upaya melakukan penundaan," ujar Feri saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (28/12).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini menguraikan, dalam UUD 1945 dan UU 7/2017 tentang Pemilu tidak dikenal terkait penundaan pemilu.
"Soal penundaan tidak masuk akal, karena konsitusi (UUD 1945) dan UU Pemilu tidak mengenal istilah penundaan," tuturnya.
Yang Feri tahu, dijelaskan lebih lanjut, dalam UU Pemilu hanya mengatur soal pemilu susulan dan pemilu lanjutan, itupun bisa diterapkan dengan syarat-syarat tertentu.
Norma terkait pemilu susulan dan pemilu lanjutan tertuang dalam Pasal 431 dan 432 UU Pemilu, yang pada intinya kedua hal itu bisa dilakukan jika terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
"Bahkan dalam keadaan bencana pun pemilu harus tetap lanjut di lokasi yang ada bencana, maka akan dilakukan pemilu susulan atau pemilu lanjutan," urai Feri.
"Jadi tidak ada istilah penundaan, dan pemilu harus berjalan berlangsung 5 tahun sekali sesuai kehendak konstitusi," sambungnya.
Oleh karena itu, jika ada oknum-oknum yang sengaja memanfaatkan masalah pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 oleh KPU sebagai alasan penundaan pemilu, itu sama dengan melanggar konstitusi dan juga UU.
"Kalau ada pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya itu, maka itu akan melanggar konstitusi dan akan menjadi permasalahan hukum yang serius," demikian Feri menambahkan.
"Rantai" isu penundaan pemilu
Isu penundaan Pemilu Serentak 2024 muncul kembali ke publik ketika sejumlah tahapan tengah dilaksanakan KPU, setelah sebelumnya membuat heboh publik di awal tahun ini karena disampaikan oleh sejumlah menteri Presiden Joko Widodo.
Yang baru-baru ini menggaungkan isu penundaa pemilu, salah satunya disampaikan mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono, menyusul pernyataan tunda pemilu dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Matalliti.
Akan tetapi, Arief Poyuono punya alasan yang berbeda dengan Bamsoet dan LaNyalla, mengapa pemilu harus ditunda. Yaitu menurutnya, karena pimpinan-pimpinan KPU RI yang menjabat saat ini, untuk periode 2022-2027, tidak kredibel, berintegritas dan independen, sehingga muncul masalah dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol calon peserta Pemilu Serentak 2024.
Salah satu contohnya, disebutkan Arief Poyuono adalah terkait keterbatasan akses publik hingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terhadap data parpol yang mendaftar ke KPU RI melalui sistem informasi partai politik (Sipol).
Sipol sendiri merupakan instrumen yang disediakan dan digunakan KPU RI dalam melaksanakan tahapan pendaftaran hingga verifikasi parpol calon peserta Pemilu Serentak 2024 yang berlangsung mulai Agustus hingga pertengahan Desember 2022.
Ibarat setali tiga uang, karena masalah keterbatasan Sipol yang dibuat KPU itu justru memunculkan protes dari sejumlah parpol calon peserta Pemilu Serentak 2024 yang tak lolos tahapan pendaftaran dan juga tahapan verifikasi administrasi.
Beberapa di antaranya ada yang melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor KPU RI. Serta, ada pula yang menggugat ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena diduga ada pelanggaran kode etik dilakukan oleh KPU.
Dugaan pelanggaran oleh KPU
Teranyar, Gerakan Melawan Political Genocide (GMPG) yang diisi 9 parpol yang notabene tak lolos tahapan pendaftaran dan verifikasi administrasi melaporkan dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPU RI Hasyim Asyari.
Mereka menduga, Hasyim Asyari telah melakukan gratifikasi seks untuk meloloskan Partai Republik Satu yang Ketumnya ialah Hasnaeni Moein atau dikenal sebagai "Wanita Emas" agar parpol ini bisa berlanjut ke tahapan verifikasi administrasi.
Menurut parpol barisan GMPG ini, Hasyim melakukan pelecehan kepada Hasnaeni, sehingga dianggapnya telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Di samping itu, juga terdapat laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilayangkan ke DKPP terhadap 10 anggota KPU dari tingkat daerah hingga pusat, dimana salah satunya ialah Koordinator Divisi Teknis Penyelenggara Pemilu KPU RI, Idham Holik.
Laporan terhadap 10 anggota KPU tersebut dilayangkan anggota KPUD yang dirahasiakan namanya, karena mengklaim telah diintimidasi oleh para anggota KPU yang dilaporkan ke DKPP untuk mengubah hasil verifikasi faktual sejumlah parpol yang tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi memenuhi syarat (MS), sehingga bisa lolos menjadi peserta Pemilu Serentak 2024.
Namun, Ketua DKPP Heddy Lugito menuturkan, dua laporan dugaan pelanggaran kode etik tersebut masuk dalam urutan belakang, karena pihaknya telah lebih dulu kemasukan puluhan pengaduan.
Kendati begitu, ia memastikan akan memproses laporan yang dimasukan anggota KPUD yang mengklaim diintimidasi KPU, dan juga laporan GMPG.
"Sekarang ada sekitar 40 pengaduan yang masuk dari berbagai daerah. Akan kita tangani sesui dengan urutan," demikian Heddy mengatakan kepada wartawan pada Jumat (23/12).
Sumber: rmol