Dewan Pers bisa melaporkan kasus ini ke DPR dan Presiden. Sebuah preseden buruk dalam kehidupan demokrasi, karena pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
SAYA melihat adanya keanehan dalam karier Iptu Umbaran Wibowo, Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah, yang namanya sedang viral dibicarakan dalam media sosial maupun media mainstraim.
Keanehan bisa dilihat di sini. Umbaran memulai karier di Kepolisian dengan pangkat Brigadir Polisi Dua (Bripda) pada awal 2008. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH UNNES) 2006 ini merupakan lulusan Bintara Intelijen Khusus.
Pada 2009, Umbaran naik pangkat menjadi Brigadir Polisi Satu (Briptu). Dia hanya butuh waktu satu tahun sudah naik pangkat. Bagaimana ceritanya? Padahal, kenaikan satu pangkat itu memakan waktu 4-5 tahun.
Kok dia bisa satu tahun? Ada apa? Kenaikan pangkat luar biasa? Selama 14 tahun jadi anggota Polri dari Bintara, kini sudah berpangkat Perwira: Iptu. Ini juga aneh. Kok bisa secepat itu?
Hitungan waktunya, sekarang ini mestinya baru Brigadir Kepala (Sersan Mayor, kalau di TNI).
Kalau pun kariernya cepat, mestinya juga baru berpangkat IPDA, bukan Iptu. Dan, bukan untuk posisi Kapolsek. Jabatan yang ditujukan untuk pangkap Ajun Komisaris Polisi-AKP (Kapten jika di TNI).
Jadi, sebentar lagi dia naik jadi Ajun Komisaris Polisi, hanya dalam waktu 14 tahun. Ini pembinaan karier yang aneh. Maka, jangan salah kalau ada yang tanya, “Siapa dia sebenarnya?”
Terbongkarnya kasus ini menandakan institusi Kepolisian tidak menghormati profesi wartawan. Sejak saat ini akan muncul kecurigaan sesama wartawan. Jangan-jangan teman kerjanya seorang Intelijen.
Pimpinannya mesti diusut. Siapa? Kabaintelkam Mabes Polri. Harus dimintai pertanggungjawaban institusi Badan Intelijen Keamanan Polri. Wartawan itu mitra strategis Polri. Mengapa merusak profesi jurnalis? Apa motifnya?
Kecuali proses penyamarannya dalam menghadapi ancaman Kamtibmas di daerah konflik, itu bisa dipahami. Jawa Tengah bukan daerah konflik sosial.
Dewan Pers dan PWI Pusat serta TVRI harus mencabut Sertifikat Kompetensi Wartawan Madya milik Umbaran. Sekaligus juga protes keras kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Jadi patut diduga ada “Umbaran-Umbaran” lainnya yang menyamar menjadi wartawan.
Kalau begitu MoU Polri dengan Dewan Pers dan organisasi profesi wartawan lainnya sama saja tidak dihormati oleh polisi.
Untuk apa MoU ini kalau tidak saling menghormati dan menghargai antar lembaga? Wartawan ini profesi yang sudah diatur Undang-undang. Bukan pekerjaan tanpa aturan hukum. Ada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sudah seharusnya Polri menghormati kesepahaman dengan Dewan Pers dan organisasi profesi wartawan lainnya. Untuk apa penandatanganan kerjasama jika ternyata polisi menempatkan aparat intelijen keamanan di lembaga pers umum? Bahkan di lembaga pers plat merah, TVRI milik pemerintah.
Dewan Pers bisa melaporkan kasus ini ke DPR dan Presiden. Sebuah preseden buruk dalam kehidupan demokrasi, karena pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ini sebuah kemunduran demokrasi dan kembali ke titik nadir seperti era Orde Baru Soeharto dan Demokrasi Terpimpin Sukarno.
Sejatinya, prinsip-prinsip demokrasi seperti penegakan hukum, menghormati hak-hak sipil, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (HAM) telah menjadi paradigma baru Polri.
Apa buktinya jika polisi mengacak-acak profesi wartawan? Sama saja tidak menghormati hak-hak sipil yang disandang profesi jurnalis.
Kepolisian merupakan alat negara, bukan alat pemerintahan. Karena itu, kepolisian harus melindungi hak rakyat, bukan semata-mata menjadi alat perintah atasannya.
Apa yang mau dilindungi jika polisi selalu memata-matai hak rakyat untuk mendapatkan informasi melalui kerja jurnalistik jika polisi terus menginteli wartawan? (*)
Oleh: Selamat Ginting
Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (Unas), Jakarta