WANHEARTNEWS.COM - Hukuman pidana mati dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang menuai kritik ditanggapi santai Anggota Tim Perumus KUHP Pemerintah Yenti Garnasih.
Yenti menilai, semua pihak harusnya fair dengan memikirkan juga nasib para korban yang meninggal akibat perbuatan pelaku pidana tersebut.
“Kalau berbicara begitu, kita kadang-kadang khawatir ya, khawatir lebih banyak pespektif melihat 'pelaku jangan diini-inikan', tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan korban, bagaimana korban itu?” tegasnya dalam acara Diponegoro 29 Forum bertajuk “Mengurai Polemik KUHP Baru” di Kantor DPP Partai Perindo, Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 29, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/12).
Pakar Hukum Pidana ini juga menegaskan bahwa pihaknya tidak sependapat dengan anggapan yang menyebut hanya Tuhan yang bisa mencabut nyawa manusia, dalam hal ini dengan menjatuhkan hukuman mati.
Menurut dia, para pelaku kejahatan pun sebetulnya tidak boleh membunuh sesama manusia.
"Yang boleh mencabut nyawa manusia hanya Tuhan? Ketika dia melakukan pembunuhan dengan sangat keji, memang dia Tuhan? Boleh membunuh warga negara kita dengan sangat keji?" sesal Yenti.
Di sisi lain, Yenti juga mengungkapkan bahwa pemberlakuan pidana mati di beberapa negara masih berlaku. Oleh karenanya, dia meminta masyarakat untuk merasa kecil dan tidak ada negara lain selain Indonesia yang masih memberlakukan pidana mati.
“Pidana mati di sebagian Amerika, Asia Tengah masih ada. Kita gak menyendiri. Dari yang tercatat di PBB masih ada pidana mati, bahkan Amerika. Jadi, jangan kecilkan negara kita sendiri,” tuturnya.
“Ketika pembunuhan terjadi, dia tidak pantas lakukan pembunuhan. Tapi harus dipikirkan korban. Kalau pidana tidak kuat bisa ada pengulangan lagi. Awalnya kasihan sama korban, tapi belakangan kok malah kasihan sama pelaku?” demikian Yenti.
Hadir narasumber lain dalam diskusi tersebut antara lain dan Dosen Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, Ketua Bidang Hukum Internal DPP Partai Perindo Christophorus Taufik.
Sumber: rmol