WANHEARTNEWS.COM - Polarisasi yang terjadi pada Pemilu 2019, tampaknya bakal terulang kembali pada Pemilu 2024 mendatang. Pasalnya, politik identitas sudah mulai terlihat dilakukan oleh aktor-aktor politik demi mencapai kekuasaan.
Pengamat politik nasional, Yusfitriadi mencontohkan, Anies Baswedan sebagai calon presiden yang diusung oleh Partai Nasdem yang memanggungkan sejumlah tokoh nasional atau tokoh politik lainnya, baginya itu sudah masuk ke dalam politik indentitas.
Kemudian, sambung Yusfitriadi, aktor-aktor politik menyebut Anies sebagai antitesa dari Joko Widodo (Jokowi), di mana menurutnya itu bagian dari politik yang mendelegasikan orang.
"Jadi ketika Jokowi nasionalis, maka mereka itu identitasnya dan banyak hal yang mendelegasikan ke sana. Nah itu baru Anies, belum lagi yang lain, seperti yang beruban itu, begitulah kira-kira dan ini sudah terlihat," papar Yusfitriadi kepada Kantor Berita RMOLJabar, di Cibinong Kabupaten Bogor, Sabtu (24/12).
Dia menambahkan, pemilu di Indonesia itu kebanyakan para pemilihnya sangat kuat dengan prinsip-prinsip identitas, kesukuan, keagamaan, kemudian keberpihakan terhadap budayanya. Sehingga, dengan kondisi itulah banyak dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk mencapai kekuasaan.
"Padahal itu memberikan spirit pembodohan terhadap pemilu. Kemudian, sekarang banyak urusan pilpres Jawa, maupun non-Jawa dan ini sudah tidak menarik," ujarnya.
Selain politik identitas, lanjut Yusfitriadi, polarisasi yang akan muncul pada 2024 itu ada 4 poin. Yaitu pertama, integritas dan profesionalitas. Kemudian yang kedua yaitu adanya dominasi kekuasaan di tubuh orientasi partai politik. Ketiga politik transaksional, kampanye hitam, kampanye negatif.
Dan terakhir, transformasi digital yang mengganggu dan memberikan kontribusi yang negatif terhadap pemanfaatan di pemilu.
"Nah dalam konteks polarisasi yang mengarah kepada politik identitas, yang mengarah kepada politik transaksional itu saya pikir akan kembali dihadapkan seperti pemilu 2019," terangnya.
Masih kata Yusfitriadi, kemunculan politik identitas itu sering terjadi pada Pemilihan Presiden (Pilpres). Apalagi, pasangan calonnya head to head atau hanya dua pasangan calon di Pilpres.
"Saya pikir cukup rasional karena identitas itulah yang paling renyah digoreng untuk kepentingan kekuasaan," katanya.
Melihat adanya potensi polarisasi pada Pemilu 2024, Yusfitriadi pun menyarankan kepada penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemerintah untuk melakukan pencegahan dengan menggandeng semua stakeholder.
Menanggapi itu, Komisioner KPU RI, Parsadaan Harahap, mengakui potensi polarisasi di Pemilu 2024 pasti ada. Tetapi, pihaknya akan melakukan pencegahan-pencegahan dengan berkerja sama untuk melakukan dan mengintensifkan sosialisasi, agar potensi-potensi pelanggaran tidak terjadi.
"Tentunya ini menjadi bagian dari kawan-kawan kita di pengawasan untuk melakukan pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran pemilu, agar tidak terjadi dan tidak boleh dilakukan," kata Parsadaan Harahap saat menghadiri Harlah Vinus di Bogor.
Selain itu, KPU juga sudah berkoordinasi dengan Bawaslu untuk mencarikan rumusan-rumusan terbaik, dengan tujuan agar hal-hal tersebut tidak terulang kembali.
"Kita mengetahui politik identitas itu bisa memecah belah masyarakat, dan pencegahan itu masih kita lakukan bersama berbagai pihak, terlebih dengan Bawaslu," tutupnya.
Sumber: rmol