DI akhir tahun 2022, Presiden Jokowi memberikan sinyal akan melakukan reshuffle kabinet dalam waktu dekat.
Jokowi bahkan memberikan clue soal reshuffle kabinet saat ditanyai oleh awak media di Stasiun Manggarai.
Clue tersebut kemudian dilanjutkan saling sindir antara PDIP dan Nasdem.
PDIP sebenarnya telah melanggar fatsoen dan etika politik bahwa sesama internal koalisi tidak boleh mempengaruhi Presiden untuk meminta anggota koalisinya lain untuk didepak dari jabatan menteri.
Namun kekuasaan selalu menuntut lebih. Mungkin PDIP berharap kursi menteri Nasdem akan beralih kepada PDIP.
Nasdem sendiri sebenarnya cukup diuntungkan dari isu reshuffle ini. Begitu ada satu saja menteri Nasdem diganti, Nasdem akan mendapatkan windfall profit politik di mana pendukung anti koalisi Jokowi akan masuk ke-ceruk pemilih potensial Nasdem.
Nasdem bercita menjadi partai terbesar di Pemilu 2024 menggantikan PDIP. Jadi bukanlah tidak mungkin isu reshuffle sudah dirancang oleh Nasdem dan Presiden Jokowi.
Berbagai sumber mengatakan waktu reshufflenya pun sudah ditentukan jauh hari bersama Pak Surya Paloh dan Pak Jokowi.
Jadi apakah ini sandiwara politik semata?
Melihat perjalanan politik Indonesia di sepanjang tahun 2022 memang terlihat homogen di mana hanya satu entitas kekuatan yang mengendalikan berbagai macam kebijakan pemerintahan. Hampir seluruh keinginan pemerintah terlaksana well done tanpa pertentangan berarti dari parlemen dan partai politik.
Sebenarnya kebersamaan antara Nasdem dan PDIP di tahun 2022 sangat harmonis dan mesra. Keduanya bertemu dan saling mendukung untuk isu Pembangunan IKN, Isu Kenaikan Harga BBM, Isu pengesahan RUU KHUP, Isu kenaikan cukai rokok, isu kenaikan PPN sampai isu penguatan Kemenkeu dalam RUU P2SK saat ekonomi krisis.
Keduanya harmonis di tahun 2022 namun di tahun 2023 keduanya akan saling bertarung memperebutkan posisi partai politik terbesar di tahun 2024.
Mampukah Nasdem menjadi yang terbesar di 2024?
Nasdem harus berbeda dengan penguasa saat ini bila mau menjadi terbesar? sayangnya berbeda dengan pemerintah menurut nasdem itu memiliki cost yang besar.
Cost politik dan cost kekuasaan sepertinya tidak mungkin benar-benar akan ditempuh Nasdem.
Bisa jadi Nasdem melakukan kompromi dan deal tingkat dewa dengan Jokowi dan istana untuk mengantisipasi manakala kekuasaan di 2024 benar-benar jatuh ke entitas kekuasaan yang saat ini di luar istana.
Bila kekuasan 2024 jatuh di luar kekuataan istana, maka kepentingan ekonomi yang dinikmati oleh penguasa oligarki akan hilang bahkan mereka bisa jua berujung di Prodeo Penjara. Untuk menghindari hal tersebut kesepakatan dibuat.
Masing-masing kekuatan istana harus memainkan perannya agar kekuasaan 2024-2029 tidak benar-benar jatuh diluar kekuatan istana. Meskipun secara dzhohirnya berpindah namun esensi pengendalinya diusahakan tetap sama.
Publik telah melihat ini dan berfikir bahwa reshuffle akhir 2022 hanyalah dagelan dan permainan tingkat elit untuk melanggengkan niat kekuasaannya.
Di Balik Reshuffle Ada Skenario Jahat Mempertahakan Kekuasaan
Bagi yang jeli melihat, reshuffle kabinet Pak Jokowi diwaktu liburan akhir tahun 2022 ini tidak lebih dimaksudkan agar mendapatkan perhatian publik.
Waktu-waktu tersebut sangat tepat untuk mengiring opini publik.
Namun bukan opini untuk membangun kinerja pemerintahan lebih baik. Karena membangun prestasi pemerintahan lebih baik seharusnya tidak mengganggu para menteri yang sedang menjabat.
Isu reshuffle akan mengganggu menteri dan petinggi esssol di kementerian menjadi terganggu dan akhirnya bukannya malah memperbaiki kinerja malah merusaknya.
Apalagi bila menteri baru terpilih tersebut tidak dapat langsung bekerja memperbaiki kinerja namun butuh learning curve yang lebih panjang dan akhirnya publik juga yang dirugikan.
Jika bukan untuk memperbaiki pemerintahan, lantas untuk apa melakukan reshuffle?
Publik mudah sekali melihat reshuffle sebagai sangat diperlukan untuk membuat kesan ada perpecahan koalisi pemeritahan. Padahal reshuffle adalah strategi memasukan unsur istana ke unsur non istana untuk kepentingan 2024.
Atau mungkin kemungkinan lain, Jokowi ingin membesarkan Nasdem dan menjadikannya partai nomor 1 mengalahkan PDIP dengan melakukan sandiwara reshuffle kabinet ini.
OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
(Penulis adalah Pakar Kebijakan Publik)