WANHEARTNEWS.COM - Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2/ 2022 tentang Cipta Kerja dinilai tidak sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menghendaki pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya.
"Selain terbatasnya pelibatan publik, sejumlah elemen masyarakat sipil juga mengeluhkan terbatasnya akses terhadap materi UU selama proses revisi,” kritik Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melalui keterangan yang diterima Redaksi, Selasa (3/1).
AHY juga menilai proses yang diambil tidak tepat dan tidak ada argumen kegentingan yang tampak dalam Perppu tersebut. Bahkan, tidak tampak perbedaan signifikan antara isi Perppu dengan materi UU sebelumnya.
“Setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, jelas MK meminta perbaikan melalui proses legislasi yang aspiratif, partisipatif, dan legitimate. Bukan justru mengganti UU melalui Perppu," tegasnya
Sehingga, AHY memandang terbitnya Perppu Cipta Kerja ini adalah kelanjutan dari proses legislasi yang tidak aspiratif, pun tidak partisipatif.
“Lagi-lagi, esensi demokrasi diacuhkan. Hukum dibentuk untuk melayani kepentingan rakyat, bukan untuk melayani kepentingan elite. Janganlah kita menyelesaikan masalah, dengan masalah,” tegas AHY.
Perppu Cipta Kerja memang sudah memunculkan masalah. Pascaterbitnya Perppu ini, masyarakat dan kaum buruh berteriak. Mereka kembali menggugat soal skema upah minimum, aturan outsourcing, PKWT, aturan PHK, TKA, hingga skema cuti.
"Mari terus belajar. Janganlah kita terjerumus ke dałam lubang yang sama,” demikian AHY.
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2020, UU Cipta Kerja inkonstitusional dan harus direvisi dalam waktu dua tahun. Namun bukan revisi yang dilakukan pemerintah, melainkan mengeluarkan Perppu agar UU Cipta Kerja tetap berlaku.
Sumber: rmol