Sejauh ini memang pemerintah belum secara resmi mengumumkan hari raya Idulfitri tahun 2023 karena masih menunggu sidang isbat.
Jika diambil dari penetapan 1 Ramadhan 1444 Hijriah, yang jatuh pada 23 Maret 2023, maka lebaran tahun ini jatuh pada 22 dan 23 April 2023 mendatang.
Namun, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sudah mengumumkan kapan Idulfitri atau 1 Syawal 1444 H melalui hasil hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah 1444 H pada Februari lalu. Hasilnya, Muhammadiyah menetapkan Lebaran Idul Fitri atau 1 Syawal 1444 H jatuh pada, Jumat, 21 April 2023.
Adapun penentuan tersebut didasarkan pada posisi geometris benda-benda langit seperti matahari, bumi, dan bulan.
Tokoh Nahdlatul Ulama atau NU, Prof Nadirsyah Hosen atau yang biasa disapa Gus Nadir menyinggung soal perbedaan waktu lebaran ini. Dosen di fakultas hukum, Monash University itu berpandangan bahwa dalam ilmu fiqih, Idulfitri diharuskan mengikuti keputusan pemerintah.
“Dalam fiqih, lebaran itu ikut keputusan pemerintah,” ujar Gus Nadir dalam unggahan di akun Twitternya dikutip Selasa (18/4).
Namun kata Gus Nadir, secara aturan bermasyarakat, pemerintah juga tidak diperbolehkan melarang yang lebarannya berbeda. Namun, ia juga mengingatkan yang berbeda waktu lebaran atau Idulfitri-nya agar bertenggang rasa dengan tidak memakai fasilitas publik alias milik pemerintah.
Sontak, unggahan Gus Nadir ini memicu Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni untuk berkomentar. Kader PSI sejatinya ingin mengatakan bahwa sebetulnya persoalan perbedaan waktu Idulfitri bukan hal yang harus dibesar-besarkan.
“Susah banget sih Gus. Dipakai 2 kali, berkahnya 2 kali. Kalau bisa 3 kali juga enggak apa-apa,” timpal Raja Juli.
Gus Nadir pun langsung membalas komentar Raja Juli ini dengan candaan. “Gak susah kok. Kan tidak dilarang lebaran lebih awal. Namun namanya mencuri start makan opor ayam duluan, ya kudu bertenggang rasa dong,” timpal Gus Nadir.
Terkait dengan penentuan hari raya Idulfitri sendiri atau penetapan 1 Syawal 1444 H perlu ditetapkan dengan berbagai metode. Ada dua metode yang umum digunakan yakni metode hisab dan rukyat.
Pemerintah RI melalui Kementerian Agama (Kemenag) menggunakan gabungan antara metode hisab dan rukyat dengan mengacu pada kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang kemudian ditetapkan melalui sidang isbat.
Sementara itu, Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal. Metode ini menitikberatkan pada posisi geometris benda-benda langit. Sedangkan NU menggunakan metode rukyatul hilal.
Sumber: rmol
Foto: Tokoh Nahdlatul Ulama atau NU, Prof Nadirsyah Hosen dan Wamen ATR/BPN Raja Juli Antoni/Repro